Sangkar Asmara Sang Mafia
Sebuah mobil SUV melaju kencang dijalanan sepi Los Angeles pada dini hari. Mobil berwarna hitam itu menuju sebuah tempat rongsokan yang lebih di kenal sebagai kuburan mobil tua. Ban mobil berdecit di atas aspal yang licin oleh cairan lembab oli. Dua orang segera turun dengan langkahnya yang tergesa-gesa.
“Dimana lokasinya?” tanya seorang pria yang berbicara melalui sambungan earphone.
Dia adalah Wilson, seorang laki-laki berperawakan tegap khas agen federal. Di tangannya ia mengokang senjata api dengan tatapan waspada ke sekeliling tempat yang gelap gulita. Hanya lampu dari senjata apinya saja yang memberi penerangan ke arah yang ia tuju.
“Sinyalnya buruk, aku belum bisa menemukan lokasinya.” Seorang wanita menimpali. Wanita itu ikut turun dari dalam mobil dengan membawa senjata yang lebih kecil.
“Kita berpencar!” titah Wilson pada rekannya, Alicia.
Alicia langsung memahami perintah bosnya. Mereka berjalan mengndap-edap, waspada pada setiap sudut area yang luas dan gelap ini. Wilson pergi ke arah utara, sementara Alicia ke arah selatan. Matanya tetap waspada memperhatikan sekeliling tempat.
“Di sini area kuburan mobil tipe jeep. Material besinya bisa mengacak signal alat komunikasi kita. Susul aku saat lima menit kemudian kamu tidak mendengar suaraku,” pesan Alicia. Ia menghembuskan napasnya dengan tegang. Keringat bercucuran didahi juga punggungnya. Beberapa kali ia menghembuskan napasnya kasar untuk mengusir ketegangan.
“Kendalikan dirimu Alice, kita akan keluar dari tempat ini dengan selamat. Perhatikan ranjau di tanah, itu ciri khas Maximo.” Wilson menyebut nama seorang mafia yang ia yakini terhubung dengan masalah ini. Masalah hilangnya satu rekan kerja mereka.
“Apa kamu yakin kalau Gerald mengikuti Maximo sampai ke sini?” Alicia mulai ragu karena tidak menemukan petunjuk apapun.
“Itu yang dia laporkan terakhir kali. Jadi carilah yang teliti. Aku yakin Gerald masih bertahan di tempat ini.” Wilson begitu yakin.
“Akh!” tiba-tiba terdengar suara Alicia yang mengaduh. Suaranya terdenger jelas ditelinga Wilson.
“Ada apa?” Wilson segera berbalik. Dengan cahaya dari lampu senjatanya, ia menerangi arah berlalu Alicia. Matanya menyipit berusaha melihat sosok Alicia dikegelapan.
“Aku menginjak seekor tikus. Sangat menggelikan,” keluh Alicia yang bergidik jijik.
“Akh kamu masih sama. Takut dengan mahluk lemah itu.” Wilson mendengkus kesal pada bawahannya.
“Jangan meledekku Wilson. Kamupun takut pada kupu-kupu, itu lebih menggelikan.” Alicia balas meledek. Matanya menyalak kesal meski pria itu tidak ada dihadapannya.
Wilson tidak menimpali, ia hanya tersenyum kecut. Disaat seperti ini, ada saja yang mengalihkan pikirannya. Wilson kembali fokus dan masih tetap waspada saat melihat sekelebat bayangan seperti menghampirinya.
“Wilson, aku menemukan sesuatu.” Suara Alicia kembali terdengar.
“Apa?” Wilson terhenyak.
“Chip GPS milik Gerald.” Alicia memandangi benda kecil yang tidak sengaja terinjak olehnya. Tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam, menyamarkan benda kecil ditangannya.
“Tikus dan chip, tetap waspada Alicia. Kemungkinan akan ada sebuah gudang atau bangunan di dekatmu. Mungkin saja Gerald di sekap di sana.” Wilson beralibi.
“Aku mengerti.”
Alicia melanjutkan langkahnya untuk menyisir tempat itu. Mengendap-endap dengan langkahnya yang pelan dan berhati-hati. Benar saja, dari kejauhan ia melihat sebuah bangunan kokoh yang bersiri di belakang tumpukan mobil sedan yang sudah menjadi rongsokan.
“Aku menemukannya Wilson, arah jam sepuluh.” Alicia terlonjak seraya menelan salivanya kasar-kasar. Jantungnya berdebar semakin kencang, menebak apa yang mungkin ada di dalam gudang itu.
Tanpa menunggu lama Wilson segera menyusul rekannya. Ia mempercepat langkahnya dan benar saja, di depan mereka ada sebuah bangunan penyimpanan onderdil mobil yang sudah lama tidak diurus.
“Sinyal Gerald mulai terbaca, sepertinya dia benar-benar ada di dalam.” Alicia melihat jam di tangannya dan lampu indicator menyala merah. Ia menghembuskan napasnya kasar, ada sedikit harapan kalau mereka akan menemukan rekan satu timnya.
“Tetap waspada. Lindungi aku, aku akan berada di depanmu.” Wilson maju lebih dulu dan Alicia di belakangnya.
Mereka mengendap-endap masuk ke dalam sebuah gedung tua yang berdebu dan lembab. Deretan drum menjadi penghuni ruangan luas ini. Bau zat beracun tercium menyengat di seisi ruangan. Wilson dan Alicia sama-sama mengenakan maskernya karena nafasnya mulai sesak. Mereka bergerak cepat menyisir ruangan itu dengan tatapan waspada.
“Aku menemukannya!” seru Wilson saat melihat sesosok tubuh terlihat bersandar di jajaran drum yang berisi oli.
“Sial! Itu Gerald!” seru Wilson lagi yang segera berlari menghampiri Gerald. Alicia ikut menyusulnya dengan perasaan tidak karuan.
“Hati-hati, di sini banyak oli.” Wilson memperingatkan. Cahaya di senjatanya menyorot sesosok tubuh yang bersimbah darah bercampur oli. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya papan namanya saja yang masih terbaca dengan nama Gerald.
Wilson dan Alicia sama-sama terlihat tegang, ia tidak yakin kalau Gerald masih hidup. Tapi berharap saja perkiraannya salah. “Aku akan memeriksanya, kamu tetap waspada.”
“Ya.”
Wilson segera mendekat. Ia berjongkok di hadapan tubuh Gerald lalu memeriksa nadi carotis di lehernya. Tidak ada denyutan. Ia juga memeriksa napasnya, sudah tidak ada hembusan. Ia menyentuh tubuh Gerald dan tidak lama tubuh itu terkulai kaku.
“Agen Gerald, fall,” ucap Wilson dengan lemah, tertunduk lesu di hadapan Gelrald yang sudah menjadi jenazah. Lagi, satu anak buahnya kembali gagal dalam menjalankan misi mereka untuk menangkap Maximo, sang Mafia.
“Akh, sial!” dengkus Alicia. Ia mengusap wajahnya kasar juga melepas alat komunikasinya. Satu rekannya gugur dan ia kehilangan sahabat baiknya selama ini. ia hanya bisa menengadahkan kepalanya untuk menghalau air mata kehilangan yang menetes di sudut matanya.
*
*
Suara alarm mengusik seorang gadis dari tidurnya yang lelap. Pemilik mulut yang sedikit menganga dengan suara dengkuran halus yang ia dengkurkan itu segera terbangun. Tangannya mencari sesuatu di atas meja samping tempat tidurnya tapi tidak ada.
“Akh! Kemana perginya weker sialan itu?” gadis itu frustasi dan segera bangun walau matanya tertutup. Ia masih sangat mengantuk tapi suara itu terlalu menggangunya. Ia mencari di bawah selimut, tidak ada. Lalu mengecek di kolong tempat tidurnya juga tidak ada. Terpaksa ia membuka matanya lebih lebar untuk mencari weker itu.
“Di sana rupanya kamu, benda sialan!” gadis itu mengumpat kesal pada weker yang berada di atas computer tabung miliknya. Di belakang computer itu ada sebuah id card tergantung bertuliskan nama dirinya, Samantha.
Samantha segera mematikan weker dan kembali ke tempat tidur. Ia tidur terlentang di sana sambil memandangi langit-langit kamarnya.
“Akh sial, kantukku hilang gara-gara weker itu. Harusnya Gerald tidak menyetelnya sepagi ini.” Samantha merutuki tingkah sang kakak yang sering kali iseng.
Di apartemen ini, Samantha tinggal bersama kakak angkatnya, Gerald. Mereka adalah dua anak yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan yang sama dan memutuskan untuk pindah ke pusat kota Los Angles karena harus mencari pekerjaan.
Di mata Samantha, sampai hari ini, status Gerald masih pengangguran yang sering bepergian. Sementara Samantha bekerja sebagai guru taekwondo di salah satu sekolah. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum ia berangkat kerja, harusnya ia masih bisa bermalas-malasan tapi Gerald benar-benar merusak waktu malasnya.
Setelah kesadarannya penuh, Samantha memutuskan untuk bangun. Ia berdiri di depan wastafel, mengikat rambut panjangnya yang ikal dan berwarna gelap. Ia mencuci mukanya lalu menggosok gigi. Sambil memandangi wajahnya di cermin, Samantha tampak berpikir.
“Kemana saja perginya anak itu? Sudah empat hari tidak ada kembali? Apa dia menemukan pekerjaan atau menemukan wanita yang membuatnya terjebak?” Samantha berpikir seorang diri.
Suara bell kemudian terdengar di depan pintu. Ia segera berkumur-kumur, menyeringai ke arah cermin untuk mengecek kebersihan mulutnya. Setelah yakin bersih, ia segera pergi untuk membukakan pintu.
Saat pintu terbuka, Samantha melihat dua orang berpakaian serba hitam dan rapi, berdiri dihadapannya. Mereka juga mengenakan kacamata hitam dan topi. Penampilannya sangat tertutup. Hanya satu hal yang Samantha kenali, laki-laki itu memakai kalung yang mirip dengan milik Gerald.
“Kalian siapa? Mau bertemu siapa?” Samantha begitu waspada. Ia tidak membukakan pintunya lebar-lebar, hanya kepalanya saja yang terlihat di pintu.
“Saya Wilson dan ini Alicia. Kita perlu bicara.” Kalimat laki-laki bernama Wilson itu terdengar cukup tegas.
“Aku tidak mengenalmu. Aku juga sudah membayar sewa apartemen ini sampai akhir tahun. Silakan pergi,” ucap Samantha. Ia berniat menutup pintu tapi tiba-tiba saja tangan kokoh laki-laki bernama Wilson itu menahannya.
“Beri kami waktu lima menit,” ucap laki-laki itu seraya menunjukkan kalung yang Samantha kenali sebagai milik Gerald.
“Siapa kalian sebenarnya?” Samantha semakin waspada. Tidak pernah sekalipun ia melihat kalung itu lepas dari leher Gerald tapi kali ini dua orang asing memilikinya.
Samantha hendak mengambil kalung itu dari tangan Wilson tapi laki-laki itu segera menghindar. Tangan Samantha tidak kalah cepat, ia tetap berusaha merebut kalung itu dengan menjepit tangan Wilson di sela pintu dan menarik paksa kalung itu.
“Akh!” Wilson mengaduh dan terpaksa melepaskan genggaman tangannya dari kalung itu.
“Ini kalung kakakku, bagaimana kamu bisa mendapatkannya?” Samantha menatap dua orang itu dengan heran.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Ikha Ranni
alo author ni novelmu ke 4 yg kubaca maraton.. agak beda niihh mngandung mafia.. dan Ku sll suka cara penulisanmu...💝👍
2023-09-07
2
Clara Dasella
Mampir mak, semangat
2023-08-12
1
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
sabar, pekerjaan yg bgtu menegangkan
2023-08-11
1