Satu bulan sudah Samantha tinggal di markas Wilson untuk mempelajari banyak hal, sebagai bagian dari agent di agensi ini. Ia dengan sukarela menyerahkan dirinya bergabung dengan tim Wilson demi tujuannya untuk membalas dendam atas kematain Gerald.
Setiap hari ia belajar mengintai, meningkatkan kemampuan bertarungnya hingga belajar menggunakan senjata tajam ataupun senjata api. Kemampuannya meningkat pesat karena semangatnya yang sangat tinggi untuk menghancurkan seorang Maximo. Kayu yang dibentuk menyerupai kepala itu, selalu menjadi sasaran tembak bagi Samantha. Ia menganggap titik hitam di tengah kayu itu adalah kepala Maximo yang harus ia hancurkan. Mungkin dengan begitu rasa marahnya akan hilang dan dendamnya terbalaskan.
Samantha menempati kamar yang dipakai Gerald sebelumnya. Ia tidak menghias kamar ini sama sekali, bentuknya tetap seperti saat terakhir ditinggalkan Gerald. Tidak ada ornamen hiasan apapun seperti halnya di kamar Samantha yang ia tempati di apartemen. Semuanya ia biarkan polos agar merasa ruangan ini seperti penjara yang harus segera ia tinggalkan setelah mendapatkan kemenangan atas usahanya menghadapi Maximo.
Satu kalender ia pasang untuk mengingatkannya pada hari-hari yang ia lalui tanpa Gerald. Entah di hari keberapa ia bisa membalaskan dendamnya secara tuntas.
Seperti saat ini, Samantha tengah bertarung dengan beberapa orang agent pria. Sekitar enam orang yang harus ia hadapi di atas ring. Mereka bergantian menyerang Samantha dan gadis itu tidak goyah sedikitpun. Kakinya tetap berdiri kokoh dan gerakannya tetap gesit untuk memberikan serangan dan sesekali menghindari serangan lawan.
Sejak pagi berlatih, tubuh gadis itu sudah dipenuhi keringat yang membasahi tubuhnya. Tubuh atletis milik Samantha hanya dibalut kaos tipis model croptop berwarna putih dan legging yang ketat. Meski begitu, beberapa bagian tubuhnya tetap indah untuk dipandang, sangat ideal.
“Jangan lemah terhadapku hanya karena aku adalah seorang wanita!” ucap Samantha pada para lelaki yang sedang meringis kesakitan. Masing-masing sudah terkena pukulan dan tendangan Samantha bahkan beberapa diantaranya kesulitan untuk bangkit setelah terkena tendangan dahsyat dari kaki Samantha yang kokoh meski berukuran kecil. Mereka terkapar tidak berdaya.
Samantha yang diliputi kemarahan, telah menjelma menjadi monster pembalas dendam yang tidak pernah merasakan sakit sedikitpun ditubuhnya meski ada beberapa luka lecet dipermukaan kulitnya. Ia tidak mengizinkan tubuhnya terluka lebih parah karena tubuh ini adalah asetnya yang utama.
“Mereka bukan lemah karena menghadapi wanita tapi mereka memang tidak mampu menandingimu, Sam. Kamu terlalu hebat Samantha, kemampuanmu sangat pesat!” Wilson bertepuk tangan pelan seirama langkahnya yang mendekat pada Samantha.
Ia mengulurkan tangannya pada Samantha untuk membantu gadis itu turun dari atas ring, tapi gadis itu mengabaikannya dan memilih meloncati ring tempat bertanding sambil melayangkan tubuhnya ke udara, melakukan salto. Wilson menarik kembali tangannya yang terulur sia-sia. Wanita itu tidak pernah menatapnya sedikitpun. Sosok Maximo yang ada dipikirannya sepertinya lebih menarik untuk diperhatikan.
“Aku akan melanjutkan latihan menembak, beri aku senjata yang baru yang dayanya lebih kuat. Aku ingin belajar menembak dari jarak jauh,” ucap Samantha seraya mengambil handuk kecilnya untuk mengusap peluh yang membasahi tubuhnya.
“Sebelum berlatih, ikut dulu ke ruanganku. Ada yang harus aku tunjukkan,” ujar Wilson sambil memperhatikan Samantha yang terlihat seksi saat meneguk minumannya. Gerakan otot tenggorokan dan urat nadinya yang berkeringat, membuat Wilson ikut menelan salivanya kasar-kasar. Sepertinya ia memilih orang yang tepat untuk menghadapi Maximo. Gadis ini terlalu memikat.
Wilson segera mengalihkan pandangannya sesaat sebelum Samantha menolehnya. Ia melihat ke arah lain, demi menghindari pandangan tajam wanita itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Gerald hidup berdua dengan Samantha di apartemen yang sempit. Pantas saja lelaki muda itu memutuskan untuk tinggal di markas mereka walau hanya memandangi monitor CCTV yang mengintai setiap sudut kota Los Angles.
“Apa aku sudah bisa menghadapi Maximo?” lihat, semangatnya selalu saja besar.
“Kita lihat nanti.” Wilson beranjak lebih dulu dan Samantha mengikutinya di belakang. Ia menarik jaket yang tergantung lalu ia pakai begitu saja.
Di ruang rapat saat ini Samantha berkumpul dengan Alicia dan Wilson. Mereka memandangi sebuah peta lokasi yang ada di atas meja. Beberapa titik sudah ditandai oleh spidol berwarna merah, titik-titik ini yang dilaporkan para agent berdasarkan hasil laporan mata-mata yang tersebar.
“Club ini, kehilangan banyak wanita setiap malamnya. Tidak ada satupun di antara mereka yang kembali. Pengelola club adalah pemilik hotel bintang lima di salah satu distrik terkenal Log Angles,” ujar Wilson memaparkan penemuannya.
“Apa pemilik club itu mafia juga?” Samantha ikut penasaran.
“Bukan, dia pebisnis biasa. Kenapa kamu menanyakan itu?” Alicia menatap Samantha dengan tajam, tidak paham.
“Kalau dia Mafia juga, mungkin dia sendiri yang memakai wanita-wanita itu. Tidak mungkin menyerahkannya pada Maximo.” Samantha berargumen dengan ringan.
Alicia hanya mengangguk. Benar yang dikatakan Gerald kalau adik asuhnya ini seorang yang cerdas.
“Malam ini aku akan ke sana.” Samantha sudah bertekad.
“Jangan sembarangan Samantha, kamu terlalu tergesa-gesa.” Wilson segera melarangnya.
“Kenapa kamu selalu menghalangiku? Harus berapa lama lagi aku menunggu untuk bertemu dengan manusia biadab itu?” Samantha segera meradang. Ia bahkan memukul meja yang ada di tengah-tengah mereka.
“Aku paham Samantha, kamu ingin segera membalaskan dendam kakakmu. Tapi kalau tanpa persiapan, kamu bisa kalah saat berada di sana. Selain otot, kamu juga harus menggunakan otakmu. Kita harus mengatur strategi karena yang kita hadapi adalah seorang Maximo. Apa kamu paham itu?!” Wilson berusaha mengingatkan.
“Aku paham, tapi kalian terlalu lamban! Kita bahkan belum melakukan apapun saat ini, selain mengintai!” Samantha balas membentak.
“Pikirmu mengintai itu pekerjaan yang mudah? Kamu bilang kita belum melakukan apa-apa. Kamu lupa kalau Gerald juga mati saat dia sedang mengintai?!” Alicia balas meradang karena kesal.
“Arkh, sial!” Samantha hanya bisa mendengkus kesal karena ucapan Alicia benar.
“Dengar aku Samantha, saat ini tidak hanya kamu yang kehilangan Gerald, kami pun sama. Jadi jangan merasa kalau hanya kamu yang menderita di sini, kami pun sama.” Alicia berusaha membujuk Samantha dan Samantha hanya terdiam, ia paham akan hal itu sepenuhnya.
“Aku dan Wilson, aku menurunkanmu malam ini, tapi kamu akan tetap berada di bawah pengawasanku dan Wilson. Saat ini, cukup lakukan apa yang harus kamu lakukan termasuk menyembunyikan kemampuan bela dirimu. Jangan tunjukan itu didepan Maximo dan orang lain karena mungkin saja itu malah akan membuat mereka semakin waspada.”
“Tampillah sebagai wanita lemah yang bisa dengan mudah ditaklukan oleh mereka. Mereka tidak suka wanita yang terlalu liar dan sulit ditundukkan karena seperti itulah karakteristik orang-orang Maximo, suka membuat mangsanya menunduk pada mereka. Lagi pula, kalau kamu terlalu menunjukkan kemampuanmu, mereka akan curiga terhadapmu. Alih-alih memakaimu, mereka akan lebih dulu menghindarimu. Apa kamu paham?” Alicia memberikan pengarahan panjang.
Samantha tidak menimpali tapi sepertinya ia setuju. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Samantha akhirnya pasrah.
“Kita beli baju dan mengubah penampilanmu. Dari hasil penyelidikan, Maximo lebih suka wanita yang rambutnya ikal di banding lurus sepertimu.” Alicia menyentuh rambut Samantha yang lurus dan basah karena keringat.
“Hah, laki-laki itu banyak maunya!” dengkus Samantha dengan kesal.
Siang itu, Samantha pergi ke pusat perbelanjaan. Ia masuk ke dalam beberapa toko baju untuk memilih baju yang cocok untuk dirinya. Ia sengaja pergi sendiri dan Alicia mengawasinya dari kejauhan. Alicia ingin tahu sepatuh apa Samantha terhadap perintahnya dan perintah Wilson.
“Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?” sapa penjaga toko.
Toko itu tidak terlalu ramai, hanya ada seorang pembeli pria yang sedang mencoba bajunya di dalam bilik busana.
“Aku mencari baju.” Samantha berkeliling toko itu dan melihat baju-baju yang cocok untuknya. Ada banyak jenis baju yang cantik dan menarik.
“Baju model apa yang Anda inginkan?” pelayan toko itu segera menghampiri.
“Pakaian yang membuat laki-laki ingin membeliku,” sahut Samantha dengan acuh.
Pelayan itu sampai melongo kaget dengan jawaban Samantha yang apa adanya. Berbeda dengan pria yang berada di bilik kamar pas baju itu, ia tersenyum geli mendengar jawaban Samantha. Unik menurutnya. Ia memutuskan untuk mengintip sosok wanita yang berbicara sebebas dan selugas itu. Wajahnya tidak terlihat karena wanita itu membelakanginya dan sedang memilih baju. Hanya postur tubuhnya saja yang terlihat bagus, ideal untuk seorang wanita idaman.
Laki-laki itu keluar dari bilik pas. “Anda sudah selesai, tuan?” sambut pelayan.
“Aku mengambil semuanya,” sahut laki-laki itu seraya mengambil jas yang dipegangi pelayan toko tersebut. Memakainya tanpa mengalihkan perhatiannya dari wanita tersebut.
Setelah dirinya rapi, laki-laki itu menghampiri Samantha, ia mengambil salah satu baju yang tergantung. Baju berwarna hitam dengan sedikit kesan gemerlap.
“Baju ini akan cocok untukmu.” Ia menyodorkan baju itu pada Samantha.
Samantha menoleh laki-laki itu. Wajahnya tampan dan rambutnya tersisir rapi. Dari penampilannya Samantha yakin laki-laki ini minimal berprofesi sebagai pengusaha.
“Mau membayarkannya untukku?” Samantha mencoba trik pertamanya. Ia ingin tahu seberapa besar rasa ketertarikan laki-laki terhadapnya.
Laki-laki itu hanya tersenyum, menatap Samantha dengan lekat. Satu tangannya mengambil beberapa baju lalu menyerahkannya pada pelayan. “Bungkuskan baju ini untuk dia,” ujarnya tanpa melepaskan pandangannya dari Samantha.
“Baik, tuan.” Pelayan itu mengangguk patuh. Ia segera membawa baju itu pergi ke meja kasir dan mengemasnya. Banyaknya baju yang dipilih laki-laki itu membuat pelayan kepayahan.
Melihat royalnya pria ini, Samantha pun mendekat. Sayang rasanya kalau ia tidak menggodanya. Dimulai dari merapihkan dasi laki-laki itu sambil menatapnya dengan lekat, lalu segaris senyum diberikan Samantha pada laki-laki itu.
“Mau tidur denganku? Karena aku tidak punya hal lain untuk membayar kebaikanmu,” tawar Samantha dengan berani. Suaranya sedikit berbisik seksi di telinga laki-laki itu, lalu ditatapnya sepasang mata elang itu dengan tatapan teduh namun menyimpan banyak kebencian.
“Sam, jangan macam-macam.” Alicia yang memperingatkan. Akh sial, Samantha lupa mematikan microphonenya.
“Tidak untuk sekarang.” Laki-laki itu meraih tangan Samantha yang mengusap dada bidangnya, entah untuk merapikan bajunya atau hanya untuk menggodanya. Yang jelas, ia menjentik-jentikkan jarinya di sana.
Alicia menghembuskan napasnya lega karena Samantha masih selamat.
“Baiklah. Kamu memilih melewatkan kesempatan bagus, sungguh laki-laki yang malang. Kamu harus tau, setelah satu kali penolakan, aku tidak pernah menawarkan sesuatu untuk kedua kalinya. Terima kasih atas baju-bajunya, tuan….” Samantha menggantung kalimatnya. Dengan sudut matanya ia seolah bertanya siapa nama laki-laki yang berbaik hati padanya.
Pria itu hanya tersenyum seraya menggeleng. Tidak berniat sama sekali memberitahukan namanya pada Samantha.
“Okey, tuan asing.” Samantha melepaskan genggaman tangan laki-laki itu dan menepuk dada pria itu pelan. Tidak lupa ia tersenyum manis pada laki-laki itu walau hanya senyum penuh kepura-puraan.
Mereka bertatapan beberapa saat sampai kemudian pelayan datang dan memberikan bill pada laki-laki itu. Laki-laki itu melirik nominal yang harus ia bayar, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam tas dan memberikannya pada pelayan itu.
“Biar saya hitung dulu, tuan,” ucap pelayan itu.
“Tidak perlu,” sahut pria bersuara bass itu. Sangat menggetarkan.
“Terima kasih, tuan.” Pelayan itu pun tersenyum girang. Ia segera memberikan tas belanja milik Samantha. “Silakan, nona,” ucapnya sambil mengangguk sopan.
“Terima kasih,” timpal Samantha, bukan pada pelayan tapi pada laki-laki yang sedang ia pandangi.
"Samantha," imbuhny seraya mengedipkan matanya dengan genit. Setelah itu ia pergi lebuh dulu meninggalkan pria yang mematung memandangi kepergiannya.
“Aku bertemu ikan kakakp, tapi aku lebih suka ikan monster,” cicit Samantha yang berbicara pada Alicia di sebrang sana.
“Kamu membuat jantungku tidak aman, Sam. Jangan sampai kamu membuatku mati berdiri.” Alicia dengan segala kecemasannya.
“Jangan khawatir Alice, aku bisa membela diriku sendiri. Tadi itu hanya uji coba dan rupanya aku cukup menarik untuk laki-laki itu. Tapi kenapa dia tidak mau tidur denganku?” Samantha masih terus berpikir.
“Mungkin dia tidak yakin dengan kemampuanmu. Kamu terlalu jal4ng. Wanita seperti itu biasanya hanya nyalinya saja yang besar dan tidak sebanding dengan kemampuannya. Atau mungkin dia laki-laki yang berkomitmen dan sudah punya hubungan. Alasan lainnya, dia tidak suka wanita.” Suara Alicia kembali terdengar.
“Okey, nanti malam aku akan tampil lebih berkelas, aku ingin lihat, apa maish ada yang berkedip dan tidak mimisan saat melihatku?” ucap Samantha.
“Iya. Segera kembali, semakin lama kamu berkeliaran, aku semakin pusing. Pulanglah, aku akan mendandanimu. Aku juga penasaran dengan baju yang dipilih pria itu,” timpal Alicia kemudian.
Samantha tidak menimpali, dia hanya tersenyum kecil. Tatapan laki-laki itu terlalu lekat padanya hingga bayangan wajahnya begitu jelas di benak Samantha.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Mommy QieS
Like, gift 🌹🌹 n vote
2023-08-21
1
Mommy QieS
jangan2 laki2 itu adalah Maximo?
2023-08-21
1
Utiyem
apa dia maximo?
2023-08-07
2