Selesai merias wajahnya dan berpakaian rapi, Samantha keluar dari kamarnya. Dengan diikuti seorang pelayan dibelakangnya, Wanita itu berjalan melenggak lenggok menuju ruang makan. Beberapa pengawal menatapnya dengan kagum, tetapi kemudian menunduk saat sadar Samantha bukan seseorang yang pantas untuk ia kagumi. Terlebih malam ini ia merlihat sangat cantik, mengenakan pakaian yang siang tadi dipesankan Maximo dari sebuah butik terkenal.
Sejak kedatangan Samantha, perhatian Maximo dari ujung meja terus tertuju pada wanita cantik itu. Karakter wajahnya yang dingin dan tenang dengan sorot mata yang tajam, terus memandangi Samantha dengan penuh kekaguman. Paul menarikkan kursi untuk Samantha dan wanita cantik itu duduk dengan Anggun dihadapan sebuah meja makan panjang yang memisahkannya dari Maximo. Sekilas ia membalas tatapan Maximo yang sedang memandanginya dengan penuh kekaguman. Meski ia tidak banyak berkomentar, namun sorot matanya jelas sangat memuji dan memuja Samantha.
“Hidungmu masih berdarah?” Samantha iseng bertanya, sambil memandangi plester tipis yang menutupi hidung Maximo. Sepertinya tandukan Samantha siang tadi cukup keras.
“Ini hanya sikap berlebihan Paul saja.” Maximo melepas plesternya, seolah tidak merasakan apapun. Gengsi, karena pertanyaan Samantha seperti sedang mengejek dan mempertanyakan batas kekuatannya. Jangankan untuk ditaklukan, seorang Maximo tidak akan sudi menunjukkan kelemahannya.
“Lain kali aku akan melakukannya dengan lebih baik lagi.” Samantha tersenyum tipis, meledek dan Maximo membalasnya dengan senyum tersungging.
“Nona, tolong jaga sikap, Anda.” Bukan Maximo yang merespon, melainkan Paul.
“Apa dia kekasihmu? Sepertinya kamu sangat menyayanginya.” Samantha melirik Paul dengan sudut matanya yang tajam lalu tersenyum tipis. Gadis cantik itu mengambil sepiring stick dengan daging yang sudah dipotong. Bentuknya agak kurang simetris, sepertinya dilakukan oleh seseorang yang bertangan kidal, yang mahir menembak salah satu pengawal hanya dengan tanan kirinya.
“Nona….”
“PAUL!” baru satu kata yang diucapkan Paul, Maximo menggantinya dengan sebuah perintah tegas. Sorot matanya yang tajam seolah meminta orang kepercayaannya untuk diam, jangan berdebat dengan Samantha.
Paul pun tidak berkutik, ia menurut lalu segera mundur menjauh dari Samantha yang tersenyum sinis sambil memainkan helaian rambutnya yang ikal. Posisi Samantha emang akan selalu unggul dimata Maximo.
“Nikmati makananmu,” ucap Maximo kemudian.
Samantha tidak menimpali, dengan garpu ia menyuapkan satu potongan stick ke mulutnya dan Maximo benar-benar memperhatikan saat sepasang bibir mungil itu terbuka dan menyuapkan stick ke mulutnya. Ia sampai melonggarkan dasinya yang terasa mencekik seraya menggigit bibirnya kelu. Gemas sepertinya dengan tingkah menggoda Samantha padanya.
Samantha meneruskan makannya tanpa merasa terganggu sedikitpun sementara Maximo hanya memandangi gadis itu sambil menikmati segelas wine yang beberapa kali ia teguk dengan perasaan yang tidak menentu. Sungguh, makan malam kali ini adalah ujian berat untuk Maximo.
“Mau kusuapi?” Samantha iseng bertanya. Menunjukkan potongan terakhir stick miliknya pada sang Mafia.
“Tidak.” Maximo menolak dengan tegas. Ia beranjak dari tempatnya dan membiarkan Samantha menyelesaikan makan malamnya. Ia tidak bisa lagi menemani gadis yang begitu menyiksanya secara perlahan. Ia perlu udara untuk menyegarkan kembali pikirannya.
Selesai makan, Samantha menyusul Maximo ke ruang kerjanya. Laki-laki itu tengah memeriksa dokumen yang berada di atas mejanya. Sedikit terkejut saat sosok Samantha mengetuk pintu ruang kerjanya dan membawakan sekotak obat yang ia tunjukkan pada Maximo.
“Masuklah.” Sambut Maximo. Ia segera menutup berkas dihadapannya dan memasukkannya ke dalam laci.
“Ada apa?” Maximo bertanya dengan penasaran pada gadis yang berjalan masuk ke ruangannya dan memperhatikan seisi ruangan yang luas namun terasa kosong dan hampa. Mungkin karena hanya ada satu foto besar yang terpasang didinding. Sepertinya itu foto Maximo saat muda.
Samantha duduk di salah satu sudut sofa. “Kemarilah.” Ia menepuk tempat disampingnya.
Maximo pun beranjak mendekat pada Samantha lalu duduk dengan gusar disamping gadis itu. Samantha mengeluarkan kapas dan cairan pengompres luka lalu mendekatkan tubuhnya pada Maximo yang terlihat tegang. Ia menempelkan kapas kompres diatas hidung Maximo yang sedikit bengkak karena tandukannya. Ia juga meniupi luka itu membuat Maximo bisa menghirup wangi nafas Samantha yang segar.
Maximo menatap lekat wajah dan sepasang mata indah yang ada dihadapannya. Bibirnya sedikit mengerucut dan membulat saat meniupkan udara untuk meredakan nyeri dihidung Maximo. Percayalah kalau tiupan itu tidak berefek apa-apa pada luka hidungnya, tetapi Maximo menikmati saat aliran udara itu menerpa wajahnya. pPia tampan itu masih tidak bisa menduka, alasan apa yang membuat Samantha mendatanginya hingga merawat lukanya. Bukankah gadis ini selalu berkata kalau ia ingin membunuh Maximo?
“Kalau sakit, mengaduhlah. Aku tidak akan menertawakanmu.” Sepasang bibir seksi milik samantha mengucapkan kalimat itu dengan ringan, membuat Maximo merasa kalau gadis ini bisa ia raih.
“Aku tidak merasakan sakit sedikitpun.” Maximo beralasan.
Samantha hanya tersenyum kecil lalu sedikit menekan hidung Maximo yang bangir. Tubuhnya juga semakin mendekat pada Maximo dengan jarak beberapa senti saja, membuat pria itu bisa melihat dada bidang Samantha yang memiliki dua buah tumpukan sintal yang padat itu, terlihat sangat menggoda.
“Eumh.” Baru kali ini Maximo mengaduh. Samantha sengaja menekan hidung Maximo lebih keras.
“Tidak perlu ragu. Lakukan sedikit lebih keras, akh... seperti itu.” Samantha memberi contoh sambil berbisik ditelinga Maximo.
Maximo sampai bergidik tertahan mendengar suara seksi Samantha. “Jangan menggodaku Sam,” Maximo semakin gerah. Sepertinya pilihan pertama untuk tidak merespon apapun adalah pilihan yang paling baik.
“Kamu selalu melakukan segala sesuatu dengan ragu dan setengah-setengah. Potongan stick yang tidak rata, lalu suara lenguhan yang membuatku geli, seolah menunjukkan kalau seorang Maximo pun memiliki kelamahan. Tapi, aku berterima kasih atas potongan stick yang cukup lezat dan pas dimulutku.” Samantha sengaja menjilat sudut bibirnya dengan ujung lidahnya yang berwarna merah muda.
Hah, Pria gagah itu menghembuskan napasnya kasar, tetapi tidak berkomentar apapun. Semua ini memang sengaja dilakukan Samantha untuk mencari tahu apa benar Maximo tidak pernah berhasrat menyentuh seorang wanita?
“Sudah cukup Samantha, ini sudah larut. Segera pergi tidur.” Laki-laki itu beranjak dari samping Samantha dan berbalik membelakangi gadis yang membuat jantungnya berdebar. Ia memilih memandangi kursi kebesarannya yang selama bertahun-tahun ia jaga dengan baik. Dalam benaknya, mana mungkin ia bisa ditundukkan oleh seorang wanita keras dan liar seperti Samantha yang ada dibelakangnya.
“Okey, lagi pula sudah selesai. Tidak usah berterima kasih.” Samantha balas beranjak. Ia menghampiri Maximo, berdiri dibelakang pria itu, Ia menaruh obat-obatan itu diatas meja kerja Maximo. Ia mengusap bahu kanan Maximo dan mencengkram tangan Maximo beberapa saat seraya menaruh tangan itu diatas kotak obat yang ia taruh diatas meja.
“Selamat malam, Max,” bisik gadis itu di telinga Maximo. Ia tidak menunggu jawaban apapun dan sekali lalu beranjak keluar dari ruang kerja Maximo.
“Akh, sial!” dengkus Maximo dengan kesal. Sebenarnya ia bisa melakukan apa saja, tetapi janji dan egonya menahan Maximo untuk melakukan apapun yang menunjukkan kelemahannya. Apalagi membuktikan kemampuan Samantha yang berhasil membuatnya bertekuk lutut.
“Brengsek!” Maximo mengumpat kesal pada dirinya sendiri seraya mengguyar rambutnya kasar. Sungguh, ia sangat gelisah.
Bukankah seharusnya ia pun mengucapkan selamat malam pada gadisnya?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
kamu kalah paul... bos mu skrg sangat nurut sama samantha 🤭🤭
2023-06-09
3
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
hahahaa...jangan mulai deh sam...
2023-06-09
3
N⃟ʲᵃᵃ࿐𝕴𝖘𝖒𝖎ⁱˢˢ༄༅⃟𝐐
😂😂😂😂 terpedaya juga
2023-06-09
3