Sebuah club didatangi Samantha. Sesuai rencana, ia akan memulai aksi balas dendamnya malam ini. Club besar yang sering didatangi kalangan elite Log Angles juga dari berbagai negara. Banyak wanita penghibur terkenal yang menjadi bintang-bintang pengisi langit-langit club yang gelap juga penghangat malam yang dingin.
Beberapa diantara mereka ditawar oleh pria hidung belang dengan dompet yang cukup tebal lalu pergi untuk mencari hotel terdekat. Beberapa lagi diantaranya, menemani laki-laki hidung belang untuk sekedar minum-minum, berjudi atau menikmati kebersamaan dalam waktu yang pendek di beberapa kamar studio club tersebut.
Samantha duduk di salah satu sudut, mencoba berbaur dengan dengan wanita malam lainnya. Ia perlu mencari informasi tentang club ini. Mungkin saja masih ada informasi yang terlewatkan oleh para mata-mata Wilson. Penampilan Samantha yang menarik membuat beberapa wanita malam meliriknya dengan sinis. Wanita ini terlalu berkelas dengan tampilannya yang cantik.
“Apa dia akan menjadi dewi club selanjutnya?” bisik salah satu wanita yang menatap sinis pada Samantha.
“Entahlah, aku baru melihatnya. Mungkin saja dia tidak seterkenal yang kita pikir, karena dewi club tidak hanya harus cantik tapi juga harus memiliki banyak pelanggan dan mendapatkan pendapatan tertinggi dalam satu bulan terakhir,” timpal wanita lainnya.
Samantha mendengar perbincangan mereka dan memahami isi perbincangan itu sepenuhnya, tapi ia tidak tertarik untuk menimpali ucapan dua wanita itu. Biarkan saja mereka iri pada sosok Samantha yang menjadi pusat perhatian banyak pria. Toh ia tidak berminat menempati posisi dewi club yang katanya akan menjadi icon club malam ini.
“Tuan Paul datang,” ucap salah seorang wanita yang berlari dari arah pintu masuk.
“Nama siapa yang barusan disebut wanita itu?” tanya Alicia yang ternyata ikut menyimak.
“Paul. Apa nama itu ada pengaruhnya?” Samantha balas bertanya.
“Kamu beruntung Sam, dia orang kepercayaan Maximo. Sepertinya mala ini dia akan mencari wanita untuk tuannya. Bersiaplah, Sam. Jangan sampai kamu ketauan. Ingat jangan terlalu mencuri perhatian dan jangan melayani laki-laki manapun agar perhatian kamu tidak teralihkan.” Alicia berpesan.
“Iya, aku paham. Aku matikan sementara sambungan kita, aku tidak mau ketauan dan usahaku sia-sia.”
“Segera hubungi kami sesaat setelah kamu bertemu dengan Maximo. Dan tetap nyalakan pelacak di ponselmu.” Kali ini Wilson yang berpesan.
“Iya, aku paham.” Samantha segera memutus komunikasi itu, waktunya lebih penting untuk memperhatikan pergerakan laki-laki yang dimaksud oleh wanita malam tadi.
Tidak lama berselang, beberapa orang masuk ke dalam club. Ada sekitar empat orang yang datang dengan pakaian serba hitam dan topi khas mafia. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa, mendampingi seorang laki-laki yang berjalan di tengah. Penampilannya lebih rapi dibanding empat orang lainnya. Ia hanya mengenakan pakaian rapi biasa, tidak seperti mafia. Hanya kacamatanya saja yang terlihat dominan. Seperti kacamata biasa tapi memiliki kamera pengintai.
“Ayo kita harus segera ke sana. Kita harus jadi wanita yang terpilih untuk melayani tuan Maximo.” Seorang wanita terlihat begitu antusias. Entah apa alasannya sehingga mereka sangat ingin dipilih. Tidak takutkah mereka kalau kelak mereka tidak bisa kembali ke tempat ini? Bagaimana kalau mereka terjebak di sangkar sang mafia?
“Iyaa, ayo kita ke sana. Apa aku sudah terlihat cantik?” Wanita lainnya tidak kalah antusias. Sepertinya benar yang dikatakan oleh Wilson kalau sosok Maximo menjadi figure pujaan penjahat lain untuk memakai identitasnya juga sosok yang diidamkan banuak wanita. Mungkin hal itu juga yang membuat banyak wanita dengan senang hati menyerahkan dirinya dalam cengkraman Maximo.
*“Lipstickmu* terlalu pucat.” Sebuah lipstick dikeluarkan dari dalam tas tangan kecil. Lalu ia oleskan ke bibir tebal yang terlihat sensu4l itu. Setelah merasa siap, mereka segera pergi mengikuti para mafia itu.
Samantha tidak tinggal diam. Ia pun ikut menyusul para wanita itu di belakang. Beberapa orang memandanginya dengan penuh ketertarikan, tetapi Samantha mengabaikan semua pandangan itu. Ikan monster ada di depan mata, mana mungkin ia tertarik pada ikan teri.
Sebuah ruangan tertutup ada dihadapan mereka. Pria bernama Paul itu masuk lebih dulu sementara empat orang lainnya berjaga di depan pintu.
“Kapan kami boleh masuk?” tanya satu wanita yang sudah tidak sabar.
“Mundurlah, tuan Paul belum menyuruh siapapun masuk.” Laki-laki itu segera mendorong wanita itu untuk menjauh.
“Astaga, kamu brengsek sekali. Sengaja mendorongku untuk menyentuh dadaku. Kamu tidak tahu kalau dada ini untuk tuan Maximo? Lihat nanti, aku akan melaporkanmu saat aku berhasil bertemu dengan tuan Maximo,” cerca wanita itu dengan kesal.
“Simpan saja mimpimu.” Para penjaga itu hanya tersenyum kecut, seperti percaya diri kalau para wanita itu tidak akan bertemu dengan tuan mereka.
Beberapa lama menunggu, akhirnya pintu itu kembali terbuka. Seorang penjaga keluar, “Masuklah lima orang!” ucapnya dengan tegas.
Lima orang wanita berduyun-duyun masuk, saling mendorong seperti takut kehabisan jatah. Sementara Samantha memilih untuk diam dulu, ia menunggu giliran selanjutnya. Toh ia harus membaca dulu situasi yang ada.
“Heh, kamu, masuklah!” panggil seorang penjaga pada Samantha.
“Aku?” Samantha menunjuk hidungnya sendiri.
“Ya, masuklah.” Tiba-tiba saja laki-laki itu kukuh memanggilnya.
Samantha melangkah dengan percaya diri. Benar yang dikatakan Alicia kalau penampilan Samantha yang memukau, akan mempermudah Samantha untuk masuk ke dalam sangkar Maximo.
“Kenapa dia masuk lebih dulu? Kan kita yang mengantri di depan.” Satu wanita protes tidak terima.
“Sudah diam, dia lebih cantik dari kita. Sadari itu,” timpal wanita lainnya.
“Hah, menyebalkan! Harusnya aku mengganti tatanan rambutku,” keluh wanita tersebut dengan kesal. Andai rambutnya dibuat bergelombang seperti Samantha, mungkin ia bisa segera masuk.
Sebuah ruangan yang luas dan dingin menyambut Samantha dan kelima gadis lainnya. Laki-laki bernama Paul itu segera menghampiri dan memperhatikan satu per satu wanita itu.
“Siapa namamu?” tanya Paul pada wanita yang berdiri di ujung terjauh dari Samantha.
“Sa-saya Luisa.” Wanita itu sampai tergagap.
“Kamu?” pada gadis berikutnya.
“Ramona, tuan.” Gadis itu tersenyum menggoda sambil memainkan rambutnya yang ikal.
“Kamu?” Paul bertanya pada gadis berikutnya.
"Lola, tuan." Gadis itu menunjukkan dadanya yang berukuran besar, sayang Paul terlihat tidak tertarik sama sekali.
"Lalu, kamu?"
“Apa Anda yang akan membayar saya?” Samantha bertanya lebih dulu.
“Maksudmu?” Paul mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Baru kali ini ada seorang wanita malam yang berani balas bertanya padanya.
“Saya hanya ingin memberitahukan nama saya pada laki-laki yang akan membayar saya. Saya akan membisikkannya secara langsung. Jadi jika tuan bukan yang akan membayar saya, Anda tidak berhak tau, tuan.” Samantha bersikukuh dengan pilihannya.
Jawaban Samantha yang panjang itu cukup menyebalkan bagi Paul, tapi malah membuat seseorang tersenyum di dalam sana. Seseorang yang mengenal benar suara gadis itu.
“Kamu berani bertanya padaku? Kamu lupa siapa dirimu?” Paul mulai meradang.
“Tentu saya ingat. Saya harap, Anda juga ingat siapa diri Anda, tuan. Kalau masih sama-sama dibayar sepertiku, sebaiknya Anda tidak bertingkah angkuh, tuan.” Samantha menatap Paul dengan berani.
“Keluar!!” seru Paul dengan kesal. Ia tidak terima di tantang oleh gadis malam yang lancang ini.
“Suruh dia masuk, Paul.” Suara bass yang tegas jelas terdengar di telinga mereka.
“Ya, tuan?” Paul sepertinya ragu dengar yang ia dengar.
“Suruh dia masuk.” Lagi suara itu memberi perintah.
“Baik, tuan.” Sahut Paul setelah ia yakin kalau ia tidak salah dengar. Menyebalkan sekali perempuan ini, pikirnya.
Samantha tersenyum tipis saat melihat raut wajah Paul yang kesal. Pria ini membukakan pintu berikutnya untuk Samantha yang melenggang masuk ke dalam sebuah Kamar. Tidak sampai satu menit, pintu itu kembali ditutup.
Saat ini, hanya ada Samantha yang ada di ruangan itu. Sebuah kamar yang luas dengan ukuran tempat tidur yang besar juga kelambu yang melingkupi ranjang itu. Ruangan yang didominasi oleh warna hitam itu memiliki satu set sofa, layar televisi yang besar, lukisan seorang laki-laki bersama seekor singa dan sebuah kamar mandi dengan kaca transparan.
“Apa kabar, Samantha?” sapa sebuah suara yang membuat Samantha terkejut. Rasanya tidak asing dengan suara itu. Lebih terkejut lagi karena suara laki-laki itu menyebut namanya. Apa mungkin penyamarannya terbongkar?
Samantha tidak lantas menyahuti, ia melihat ke sekeliling ruangan dan tidak lama, keluarlah seorang laki-laki dari sebuah ruangan di samping tempat tidur itu. Laki-laki berpakaian serba hitam dengan wajahnya yang tidak asing.
“Baju itu sangat cocok untukmu,” ucap laki-laki itu seraya tersenyum kecil dan menghampiri Samantha.
“Tuan pembayaran?” Samantha menunjuk laki-laki yang ia temui di toko baju siang tadi.
“Hem, Maximo.” Ucap laki-laki yang mengulurkan tangannya pada Samantha.
Samantha terhenyak kaget. Sorot matanya berubah tiba-tiba. Rasa kagetnya berubah menjadi rasa marah. Rasanya ia ingin menusukkan pedang yang terpajang di dinding itu ke tubuh Maximo, tapi sayangnya ia harus menahan diri. Ia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan amarah tertahan di rongga dadanya. Berani-beraninya laki-laki itu tersenyum pada Samantha selebar itu. Haruskah ia tetap terdiam di sini atau melakukan sesuatu?
Tanpa menunggu lama, Samantha tiba-tiba saja berbalik dan berjalan menuju pintu. Ia harus keluar dari tempat ini dan memberi tahu Wilson kalau dia sudah menemukan Maximo. Ia juga akan meminta izin Wilson untuk membunuh laki-laki ini. Pikirannya campur aduk saat ternyata Maximo ada disepan mata. Laki-laki yang sangat ingin ia singkirkan.
“Setiap yang sudah masuk ke sangkar ini, tidak akan pernah bisa keluar.” Maximo duduk dengan santai di kursi kebesarannya. Memandangi Samantha yang mengguncang-guncang pintu dengan keras dan kasar. Ternyata mentalnya tidak sekuat itu untuk menahan diri agar tidak membunuh laki-laki dihadapannya.
“Samantha!” panggil Maximo karena gadis itu tidak mengindahkannya.
“Jangan memanggil namaku!” seru Samantha tidak terima. Ia menyalak menatap Maximo dengan penuh kemarahan.
Maximo tidak tinggal diam. Ia menghampiri Samantha, memdorongnya dengan kasar dan mengunci gadis itu dibawah kungkungan tubuhnya yang tinggi menjulang. Tubuh Samantha samapi menempel ke dinding, tidak ada peluang sedikitpun bagi Samantha untuk kabur.
“Kamu sedang mencari orang yang akan membelimu bukan? Kamu sudah datang ke tempat yang tepat. Kenapa sekarang kamu ingin pergi?” tanya Maximo dengan tatapan tajam pada Samantha.
Samantha tidak menjawab, hanya matanya saja yang menyalak penuh kemarahan pada Maximo.
“Berapa harga yang mau kamu tawarkan? Aku akan membayar semuanya.” Maximo menyeringai seperti singa buas yang siap menyantap mangsanya.
Plak!
Tiba-tiba saja tangan Samantha melayang menampar Maximo hingga wajah Maximo berpaling dan sudut bibirnya berdarah. Maximo sampai kehilangan pikirannya beberapa saat. Berani sekali wanita ini menamparnya. Ia menatap mata Samantha yang menatapnya dengan penuh dendam.
“Kalau tidak ingin menjadi salah satu bintang dilangitku yang gelap, untuk apa kamu masuk ke dalam sangkarku?” tanya Maximo tidak mengerti.
“Tentu saja untuk membunuhmu.” Suara Samantha pelan namun penuh penekanan.
“Oh ya? Dengan apa? Dengan otakmu yang kecil atau tubuhmu yang kurus?” tanya maximo seraya mendongakkan dagu Samantha hingga menengadah menatap Maximo. Tangannya begitu kuat mencengkram dagu Samantha.
Samantha tidak bisa menjawab, hanya hembusan napasnya saja yang kasar berbalut emosi. Andai ia tidak ingat untuk menyerahkan Maximo pada Wilson dan organisasinya lalu menghentikan semua kejahatan yang dilakukan pria ini, maka mungkin ia akan menghabisi Maximo saat ini juga.
Lalu bagaimana jika ia gagal? Ia tidak mengenal benar tempat ini dan peluangnya untuk memenangkan pertarungan akan sangat kecil. Jika ia kalah, siapa yang akan membalaskan dendamnya? Bukankah ia harus mempersiapkan semuanya agar balas dendamnya terasa manis? Mental Samantha mengkerdil tiba-tiba. Benar adanya kalau sosok Maximo seperti memiliki sihir yang bisa membuntukan pikiran siapapun yang berhadapan dengannya.
Samantha berusaha mengatur napasnya hingga cuping hidungnya kempis kembung.
“Sepertinya kamu berubah pikiran. Kenapa, apa kamu mulai takut?” Maximo seperti bisa membaca garis wajah Samantha yang berubah melunak. Gadis itu memang sedang berusaha menurunkan tensi kemarahannya. Ia harus berpikir jernih dan ia sadar ini bukan waktu yang tepat untuk menyerang Maximo. Ia harus mendapatkan passcode di tubuh Maximo terlebih dahulu sebelum menghabisi laki-laki ini dengan kedua tangannya sendiri.
“Aku akan memberikan penawaran untukmu, kamu mau mendengarnya?” Maximo melepaskan cengkraman di dagu Samantha. Beralih mengusap rambut Samantha dengan lembut, tetapi tatapannya sangat menakutkan.
“Penawaran apa yang sebanding dengan hargaku yang sangat mahal? Aku rasa semua kekayaanmu tidak akan pernah cukup untuk membayarku,” tantang Samantha yang menyeringai kecil.
“Hahaha, kamu masih sangat berani menantangku padahal kamu sudah tersudut. Kamu sungguh menarik." Maximo menempatkan dahinya di atas dahi Samantha membuat jantung gadis itu berdeburan tidak menentu.
"Sayagnya, kamu salah. Aku tidak hanya memiliki kekayaan tapi juga kekuasaan. Kamu pergi kemanapun, aku bisa menemukanmu kembali jika aku memang menginginkannya. Dan tamparan tadi, membuatku ingin menguasaimu sepenuhnya, Samantha.”
Dengan hidung bangirnya Maximo menelusur garis wajah Samantha, berhenti sejenak di sudut bibir Samantha untuk mencium napas Samantha yang menderu lalu turun menelusur garis leher gadis itu dan berhenti di denyutan nadi carotis Samantha yang berwarna kehijauan. Samantha hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kemarahannya. Ia tidak bisa berkutik sama sekali.
“Mari kita bertaruh, kalau dalam tiga bulan aku gagal membuatmu menyerahkan dirimu sendiri, aku akan melepaskanmu. Sebagai gantinya, kalau dalam tiga bulan aku menyerah padamu, kamu bisa melakukan apapun terhadapku. Selama itu juga aku juga tidak akan menyentuhmu. Bagaimana?” tawar Maximo.
Samantha tidak lantas menimpali, ia perlu memikirkan keputusannya dalam beberapa waktu.
“Waktumu hanya satu jam untuk memutuskan Samantha. Aku tidak pernah memberikan penawaran kedua, jadi pikirkan itu baik-baik selagi aku masih bersikap lunak.” Satu kecupan diberikan Maximo di leher Samantha, membuat gadis itu terhenyak. Tidak ia pungkiri kalau perut bawahnya berdenyut lembut seperti ada kepakan kupu-kupu di dasar perutnya.
Keputusan apa yang akan Samantha ambil?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Marselina Lina
gerald
2023-11-03
0
Ririn
gw merasa gilbert bukan dibunuh sm maxim
2023-07-18
3
Ririn
ughhh abang maxim
2023-07-18
2