NovelToon NovelToon

Sangkar Asmara Sang Mafia

SASM - Pencarian

Sebuah mobil SUV melaju kencang dijalanan sepi Los Angeles pada dini hari. Mobil berwarna hitam itu menuju sebuah tempat rongsokan yang lebih di kenal sebagai kuburan mobil tua. Ban mobil berdecit di atas aspal yang licin oleh cairan lembab oli. Dua orang segera turun dengan langkahnya yang tergesa-gesa.

“Dimana lokasinya?” tanya seorang pria yang berbicara melalui sambungan earphone.

Dia adalah Wilson, seorang laki-laki berperawakan tegap khas agen federal. Di tangannya ia mengokang senjata api dengan tatapan waspada ke sekeliling tempat yang gelap gulita. Hanya lampu dari senjata apinya saja yang memberi penerangan ke arah yang ia tuju.

“Sinyalnya buruk, aku belum bisa menemukan lokasinya.” Seorang wanita menimpali. Wanita itu ikut turun dari dalam mobil dengan membawa senjata yang lebih kecil.

“Kita berpencar!” titah Wilson pada rekannya, Alicia.

Alicia langsung memahami perintah bosnya. Mereka berjalan mengndap-edap, waspada pada setiap sudut area yang luas dan gelap ini. Wilson pergi ke arah utara, sementara Alicia ke arah selatan. Matanya tetap waspada memperhatikan sekeliling tempat.

“Di sini area kuburan mobil tipe jeep. Material besinya bisa mengacak signal alat komunikasi kita. Susul aku saat lima menit kemudian kamu tidak mendengar suaraku,” pesan Alicia. Ia menghembuskan napasnya dengan tegang. Keringat bercucuran didahi juga punggungnya. Beberapa kali ia menghembuskan napasnya kasar untuk mengusir ketegangan.

“Kendalikan dirimu Alice, kita akan keluar dari tempat ini dengan selamat. Perhatikan ranjau di tanah, itu ciri khas Maximo.” Wilson menyebut nama seorang mafia yang ia yakini terhubung dengan masalah ini. Masalah hilangnya satu rekan kerja mereka.

“Apa kamu yakin kalau Gerald mengikuti Maximo sampai ke sini?” Alicia mulai ragu karena tidak menemukan petunjuk apapun.

“Itu yang dia laporkan terakhir kali. Jadi carilah yang teliti. Aku yakin Gerald masih bertahan di tempat ini.” Wilson begitu yakin.

“Akh!” tiba-tiba terdengar suara Alicia yang mengaduh. Suaranya terdenger jelas ditelinga Wilson.

“Ada apa?” Wilson segera berbalik. Dengan cahaya dari lampu senjatanya, ia menerangi arah berlalu Alicia. Matanya menyipit berusaha melihat sosok Alicia dikegelapan.

“Aku menginjak seekor tikus. Sangat menggelikan,” keluh Alicia yang bergidik jijik.

“Akh kamu masih sama. Takut dengan mahluk lemah itu.” Wilson mendengkus kesal pada bawahannya.

“Jangan meledekku Wilson. Kamupun takut pada kupu-kupu, itu lebih menggelikan.” Alicia balas meledek. Matanya menyalak kesal meski pria itu tidak ada dihadapannya.

Wilson tidak menimpali, ia hanya tersenyum kecut. Disaat seperti ini, ada saja yang mengalihkan pikirannya. Wilson kembali fokus dan masih tetap waspada saat melihat sekelebat bayangan seperti menghampirinya.

“Wilson, aku menemukan sesuatu.” Suara Alicia kembali terdengar.

“Apa?” Wilson terhenyak.

“Chip GPS milik Gerald.” Alicia memandangi benda kecil yang tidak sengaja terinjak olehnya. Tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam, menyamarkan benda kecil ditangannya.

“Tikus dan chip, tetap waspada Alicia. Kemungkinan akan ada sebuah gudang atau bangunan di dekatmu. Mungkin saja Gerald di sekap di sana.” Wilson beralibi.

“Aku mengerti.”

Alicia melanjutkan langkahnya untuk menyisir tempat itu. Mengendap-endap dengan langkahnya yang pelan dan berhati-hati. Benar saja, dari kejauhan ia melihat sebuah bangunan kokoh yang bersiri di belakang tumpukan mobil sedan yang sudah menjadi rongsokan.

“Aku menemukannya Wilson, arah jam sepuluh.” Alicia terlonjak seraya menelan salivanya kasar-kasar. Jantungnya berdebar semakin kencang, menebak apa yang mungkin ada di dalam gudang itu.

Tanpa menunggu lama Wilson segera menyusul rekannya. Ia mempercepat langkahnya dan benar saja, di depan mereka ada sebuah bangunan penyimpanan onderdil mobil yang sudah lama tidak diurus.

“Sinyal Gerald mulai terbaca, sepertinya dia benar-benar ada di dalam.” Alicia melihat jam di tangannya dan lampu indicator menyala merah. Ia menghembuskan napasnya kasar, ada sedikit harapan kalau mereka akan menemukan rekan satu timnya.

“Tetap waspada. Lindungi aku, aku akan berada di depanmu.” Wilson maju lebih dulu dan Alicia di belakangnya.

Mereka mengendap-endap masuk ke dalam sebuah gedung tua yang berdebu dan lembab. Deretan drum menjadi penghuni ruangan luas ini. Bau zat beracun tercium menyengat di seisi ruangan. Wilson dan Alicia sama-sama mengenakan maskernya karena nafasnya mulai sesak. Mereka bergerak cepat menyisir ruangan itu dengan tatapan waspada.

“Aku menemukannya!” seru Wilson saat melihat sesosok tubuh terlihat bersandar di jajaran drum yang berisi oli.

“Sial! Itu Gerald!” seru Wilson lagi yang segera berlari menghampiri Gerald. Alicia ikut menyusulnya dengan perasaan tidak karuan.

“Hati-hati, di sini banyak oli.” Wilson memperingatkan. Cahaya di senjatanya menyorot sesosok tubuh yang bersimbah darah bercampur oli. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya papan namanya saja yang masih terbaca dengan nama Gerald.

Wilson dan Alicia sama-sama terlihat tegang, ia tidak yakin kalau Gerald masih hidup. Tapi berharap saja perkiraannya salah. “Aku akan memeriksanya, kamu tetap waspada.”

“Ya.”

Wilson segera mendekat. Ia berjongkok di hadapan tubuh Gerald lalu memeriksa nadi carotis di lehernya. Tidak ada denyutan. Ia juga memeriksa napasnya, sudah tidak ada hembusan. Ia menyentuh tubuh Gerald dan tidak lama tubuh itu terkulai kaku.

“Agen Gerald, fall,” ucap Wilson dengan lemah, tertunduk lesu di hadapan Gelrald yang sudah menjadi jenazah. Lagi, satu anak buahnya kembali gagal dalam menjalankan misi mereka untuk menangkap Maximo, sang Mafia.

“Akh, sial!” dengkus Alicia. Ia mengusap wajahnya kasar juga melepas alat komunikasinya. Satu rekannya gugur dan ia kehilangan sahabat baiknya selama ini. ia hanya bisa menengadahkan kepalanya untuk menghalau air mata kehilangan yang menetes di sudut matanya.

*

*

Suara alarm mengusik seorang gadis dari tidurnya yang lelap. Pemilik mulut yang sedikit menganga dengan suara dengkuran halus yang ia dengkurkan itu segera terbangun. Tangannya mencari sesuatu di atas meja samping tempat tidurnya tapi tidak ada.

“Akh! Kemana perginya weker sialan itu?” gadis itu frustasi dan segera bangun walau matanya tertutup. Ia masih sangat mengantuk tapi suara itu terlalu menggangunya. Ia mencari di bawah selimut, tidak ada. Lalu mengecek di kolong tempat tidurnya juga tidak ada. Terpaksa ia membuka matanya lebih lebar untuk mencari weker itu.

“Di sana rupanya kamu, benda sialan!” gadis itu mengumpat kesal pada weker yang berada di atas computer tabung miliknya. Di belakang computer itu ada sebuah id card tergantung bertuliskan nama dirinya, Samantha.

Samantha segera mematikan weker dan kembali ke tempat tidur. Ia tidur terlentang di sana sambil memandangi langit-langit kamarnya.

“Akh sial, kantukku hilang gara-gara weker itu. Harusnya Gerald tidak menyetelnya sepagi ini.” Samantha merutuki tingkah sang kakak yang sering kali iseng.

Di apartemen ini, Samantha tinggal bersama kakak angkatnya, Gerald. Mereka adalah dua anak yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan yang sama dan memutuskan untuk pindah ke pusat kota Los Angles karena harus mencari pekerjaan.

Di mata Samantha, sampai hari ini, status Gerald masih pengangguran yang sering bepergian. Sementara Samantha bekerja sebagai guru taekwondo di salah satu sekolah. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum ia berangkat kerja, harusnya ia masih bisa bermalas-malasan tapi Gerald benar-benar merusak waktu malasnya.

Setelah kesadarannya penuh, Samantha memutuskan untuk bangun. Ia berdiri di depan wastafel, mengikat rambut panjangnya yang ikal dan berwarna gelap. Ia mencuci mukanya lalu menggosok gigi. Sambil memandangi wajahnya di cermin, Samantha tampak berpikir.

“Kemana saja perginya anak itu? Sudah empat hari tidak ada kembali? Apa dia menemukan pekerjaan atau menemukan wanita yang membuatnya terjebak?” Samantha berpikir seorang diri.

Suara bell kemudian terdengar di depan pintu. Ia segera berkumur-kumur, menyeringai ke arah cermin untuk mengecek kebersihan mulutnya. Setelah yakin bersih, ia segera pergi untuk membukakan pintu.

Saat pintu terbuka, Samantha melihat dua orang berpakaian serba hitam dan rapi, berdiri dihadapannya. Mereka juga mengenakan kacamata hitam dan topi. Penampilannya sangat tertutup. Hanya satu hal yang Samantha kenali, laki-laki itu memakai kalung yang mirip dengan milik Gerald.

“Kalian siapa? Mau bertemu siapa?” Samantha begitu waspada. Ia tidak membukakan pintunya lebar-lebar, hanya kepalanya saja yang terlihat di pintu.

“Saya Wilson dan ini Alicia. Kita perlu bicara.” Kalimat laki-laki bernama Wilson itu terdengar cukup tegas.

“Aku tidak mengenalmu. Aku juga sudah membayar sewa apartemen ini sampai akhir tahun. Silakan pergi,” ucap Samantha. Ia berniat menutup pintu tapi tiba-tiba saja tangan kokoh laki-laki bernama Wilson itu menahannya.

“Beri kami waktu lima menit,” ucap laki-laki itu seraya menunjukkan kalung yang Samantha kenali sebagai milik Gerald.

“Siapa kalian sebenarnya?” Samantha semakin waspada. Tidak pernah sekalipun ia melihat kalung itu lepas dari leher Gerald tapi kali ini dua orang asing memilikinya.

Samantha hendak mengambil kalung itu dari tangan Wilson tapi laki-laki itu segera menghindar. Tangan Samantha tidak kalah cepat, ia tetap berusaha merebut kalung itu dengan menjepit tangan Wilson di sela pintu dan menarik paksa kalung itu.

“Akh!” Wilson mengaduh dan terpaksa melepaskan genggaman tangannya dari kalung itu.

“Ini kalung kakakku, bagaimana kamu bisa mendapatkannya?” Samantha menatap dua orang itu dengan heran.

****

SASM - Perpisahan yang sesungguhnya

Samantha masih duduk termenung sambil memandangi kalung peninggalan Gerald. Kalung yang ia kira hanya kalung imitasi dari para agent federal, tapi nyatanya ini adalah kalung agent federal sungguhan. Samantha tersenyum kesal pada dirinya sendiri saat ia mengingat bagaimana ia mengira kalau kakak asuhnya hanya seorang pengangguran yang hobinya bepergian tidak jelas dan hobi membual. Kepulangannya pun tidak nenentu dan jarang berada di dalam rumah, hingga Samantha tidak pernah merasa aneh.

“Gerald adalah mata-mata kami yang gugur dalam tugas,” ucap Wilson saat melihat Samantha hanya termenung di tempatnya.

Samantha semakin menundukkan kepalanya, saat kilatan bayangan Gerald melintas begitu jelas dibenaknya dan membuat hatinya hancur. Ia masih mengingat bagaimana besarnya kasih sayang Gerald terhadap Samantha yang hidup sebatang kara sejak ia terlahir ke dunia ini. Di dunia ini, Samantha hanya memiliki Gerald tapi kemudian laki-laki itu pergi untuk selamanya. Sungguh, langitnya ikut runtuh.

Buliran air mata menetes begitu saja dari kelopak mata sayu milik gadis tegar ini. Semua kekuatan yang ada pada dirinya, di mulai dari rasa percaya diri yang ia punya, hingga keberanian Samantha menghadapi dunia, adalah benih-benih yang Gerald tanamkan sejak ia kecil.

‘Siapapun kamu, tidak ada yang boleh mengecilkanmu. Kamu berarti Sam, terutama buat aku.’ Samantha mengenang kalimat itu, kalimat yang selalu diucapkan Gerald untuk menyemangatinya. Jika sekarang Gerald pergi untuk selamanya, lantas siapa yang akan menguatkannya?

Wilson dan Alicia melihat jelas kalau gadis muda ini sangat terpukul. Diamnya menunjukkan kalau ia sangat menderita. “Kalau kamu ingin menemui kakakmu untuk terakhir kalinya, kami akan mengantarmu sebelum dia dimakamkan.” Suara tegas itu adalah milik Wilson.

Samantha tidak menjawab. Ia hanya segera beranjak pergi ke kamarnya lalu mengganti pakaiannya. Ia juga mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Terakhir, ia memakai jaket dan topi berwarna hitam peninggalan sang kakak.

“Aku sudah siap!” Samantha berdiri tegak di hadapan Wilson dan Alicia. Ia menatap tajam pada dua orang itu dengan penuh kesiapan.

Mengarungi jalanan untuk menemui Gerald, hati Samantha diselimuti perasaan yang tidak karuan. Ia tetap berdiam diri di tempatnya menunggu saat mobil ini berhenti di tempat peristirahatan terakhir Gerald.

Sebuah bangunan yang mirip sebagai sebuah markas, didatangi oleh Samantha. Tempatnya sangat asing, dari luar, bangunan ini seperti sebuah perkantoran yang sudah sangat lama tidak dipergunakan. Sementara di dalam, gedung ini seperti sebuah markas rahasia bagi Wilson dan rekan-rekannya.

“Ini adalah markas kami dan Itu kamar Gerald.” Alicia menunjukkan sebuah ruangan yang berada di sudut ruangan ini.

“Boleh aku masuk?” Samantha meminta izin.

“Hem,” Alicia membukakan pintu kamar Gerald.

Jantung Samantha langsung berdesir saat yang pertama ia lihat adalah foto dirinya dan Gerald yang terpajang di dinding. Foto yang mereka ambil setelah berlatih taekwondo di tepi pantai. Wajah mereka sangat ceria dan tertawa dengan lebar.

Samantha mengusap air matanya dengan kasar. Wajahnya yang putih seketika berubah merah. Ia tidak terisak tapi hatinya sungguh hancur. Ia memeriksa seisi ruangan kamar minimalis itu. Hanya ada sebuah ranjang tidur kecil dengan lemari besi khas militer.

Pintu lemari itu di buka Samantha. Ada beberapa baju Gerald di sana, salah satunya adalah baju kaos bertuliskan Miami yang dibelikan Samantha saat ia berliburan musim panas setahun lalu. Hah, rasanya baru kemarin ia melihat Gerald memamerkan tubuh atletisnya di balik kaos kebanggan yang dibelikan Samantha. Akan tetapi kali ini Samantha hanya bisa menciumi baju itu yang masih menyisakan wangi khas Gerald yang masih menempel di sana.

Hanya beberapa saat saja Samantha terdiam di kamar itu. Selanjutnya ia mengikuti langkah Alicia menuju tempat yang ingin segera ia tuju. Sebuah lorong gelap mereka lewati dengan lampu-lampu kecil yang menyala dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain. Warna lampunya putih, kontras dengan bangunan yang didominasi oleh warna hitam.

Jantung Samantha seperti berhenti berdetak saat ia tiba di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Ia masih berharap kalau yang akan ia lihat nanti bukanlah Gerald yang ia kenal. Mungkin saja itu Gerald yang lain.

“Waktumu tidak lama, hanya sekitar lima menit saja. kamu juga tidak diperbolehkan menyentuh tubuh Gerald karena dia terpapar zat beracun yang bisa membahayakanmu,” ucap Alicia seraya menyerahkan sebuah masker pada Samantha.

Samantha tidak merespon. Ia ingin segera masuk karena ingin memastikan kalau yang ada di dalam bukanlah Gerald kakaknya.

Berada di ruangan yang dingin itu, Samantha mematung seorang diri. Jenazah Gerald terbaring dihadapannya. Hanya selembar kain yang menutupi tubuh tinggi Gerald yang atletis. Wajahnya saja yang dibiarkan terbuka hingga Samantha bisa melihat jelas wajah pucat pasi itu.

Samantha terisak melihat wajah Gerald yang dipenuhi luka dengan darah yang sudah mengering. Luka terbesarnya ada di dahi Gerald, sangat menganga dan dikelilingi luka-luka kecil lainnya. Samantha bisa membayangkan kalau saat itu kepala kakaknnya pasti dibenturkan pada benda tumpul atau kokangan senjata.

Di lehernya ada luka tusukan, tidak terlalu lebar tapi cukup dalam hingga menembus nadi carotisnya. Samantha tidak bisa membayangkan bagaimana sesaknya napas Gerald saat meregang nyawa di tangan manusia biadab itu.

Tangan Samantha sudah terangkat untuk menyentuh wajah Gerald untuk terakhir kalinya tapi pesan Alicia membuatnya tidak bisa bertindak lebih jauh.

“Kenapa kamu meniggalkanku Gerald? Siapa yang akan mengganggu tidurku kalau kamu tidak ada? Siapa yang akan membuatkanku roti bakar gosong dan nasi goreng asin? Siapa yang akan menghabiskan susu dan cereal yang baru aku beli? Siapa yang akan selalu lupa menutup air hingga kamar mandi kita banjir. Siapa yang akan,….”

Samantha tidak bisa meneruskan kalimatnya, tenggorokannya terhalang banyak secret yang membuatnya sulit berbicara. Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu di balik masker yang membuatnya semakin sesak.

Kaki Samantha yang semula kuat, kini lunglai. Ia jatuh berjongkok di hadapan jenazah Gerald. Hanya tangannya saja yang menggantung dan berjarak sangat dekat dengan Samantha. Samantha sangat ingin menyentuh ujung jari Gerald yang sudah mulai membiru. Akan tetapi, lagi, ucapan Alicia mengingatnya.

Pada akhirnya Samantha hanya bisa menangis sendirian tanpa ada yang mengusap kepalanya dengan sayang atau memeluknya untuk menenangkannya. Gerald benar-benar pergi untuk selamanya, membawa semua kebahagiaan dan senyum ceria gadis manis itu. Mulai saat ini, ia tidak ada lagi lawan berdebat yang akan melarangnya keluar di malam hari. Tidak ada lagi yang melarangnya minum minuman beralkohol.

Gerald, kenapa kepergianmu begitu menyedihkan?

****

Sebuah pemakaman di hadiri Samantha dengan penuh duka. Tubuh Gerald sudah dibenamkan di dalam tanah bersama jasad-jasad lain yang menempati sebuah cluster pemakaman umum. Tidak ada yang istimewa dari kematian seorang Gerald. Ia dimakamkan secara biasa tanpa ada acara ceremonial karena Gerald meninggal sebagai mata-mata organisasi. Itu pun buka organisasi resmi milik pemerintah.

Wilson dan Alicia setia menemani gadis itu. Mereka berdiri di belakang Samantha dan melihat sendiri bagaimana gadis itu hancur dan berusaha bertahan sendirian.

Secarik kertas diberikan Wilson pada Samantha. Kertas itu berada di dalam sebuh amplop putih yang di rekatkan oleh potongan kertas berbentuk hati berwarna merah sebagai penguncinya. Dengan gemetar Samantha membuka surat itu. Surat yang selalu di tulis anggota agent sebelum menjalankan misinya. Seperti pesan terakhir yang ingin ia sampaikan pada Samantha.

'Hey, anak nakal.' Sapaan itu khas diberikan Gerald pada Samantha.

'Apa harimu indah?' dengar, dia menyindir.

'Ini adalah surat ke lima puluh dua yang aku tulis sebagai persiapan pesan perpisahan yang aku tulis untukmu. Setiap aku menulisnya, aku selalu berharap surat ini akan kembali padaku. Bodoh memang, karena aku sadar kalau misiku sulit tapi aku masih berani berharap kalau aku akan pulang dengan selamat dan mengganggumu saat tidur.'

'Samantha, di dunia ini hanya kamu yang aku miliki. Hal paling menakutkan yang selalu aku simpan dalam hatiku, adalah bagaimana keadaanmu jika aku pergi lebih dulu? Siapa yang akan menghabiskan nasi goreng asin dan roti bakar yang gosong buatanmu? Juga siapa yang akan membantumu saat penagih apartemen melecehkanmu? Kamu jago taekwondo tapi aku masih mencemaskan hal itu. Bodoh bukan?'

'Samantha, aku menjalani misi yang sulit. Sering kali aku hampir mati setiap kali berusaha mencari sosok yang begitu mengancam ketenangan banyak orang. Aku tidak mau melihat lagi para gadis dijual belikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya para orang tua dan keluarga yang kehilangan mereka. Dan aku takut, hal itu terjadi pada adikku yang paling cantik. Karena itu, aku tetap berusaha untuk memburu manusia itu.'

'Satu hal lagi yang ingin aku katakan padamu. Kamu bisa menebaknya?'

'Hahahha, ya, tentang wanita yang ingin kamu temui. Wanita yang membuatku mengigau dan menyatakan perasaanku. Kamu masih penasaran tidak?'

'Rasanya malu untuk mengakuinya tapi aku ingin mengakuinya sebelum aku pergi. Wanita itu sangat aku cintai. Tingkahnya menyebalkan dan sering membuatku sakit kepala. Dia wanita oaling cuek di antara banyak wanita lainnya. Tapi senyumnya sangat manis. Dia juga tidak bisa memasak. Jara berjalannya tegas seperti laki-laki. Tapi sungguh, aku jatuh cinta pada gadis itu. Bagiku, dia adalah wanita paling cantik yang ada di dunia ini. Saat ini dia pasti sedang membaca surat terakhirku. Ya Samantha, wanita yang aku cintai adalah, kamu.'

Samantha berhenti sejenak untuk membaca surat Gerald. Jantungnya seperti baru saja ditinju dengan sangat keras oleh Gerald. Sakit dan menyesakkan. Bagaimana mungkin Gerald baru mengakuinya sekarang? Sementara ia pun merasakan hal yang sama pada Gerald, hanya saja semuanya sudah terlambat.

'Aku punya satu mimpi besar di masa depan yaitu menikahimu dan hidup bahagia berdua denganmu. Hal itu akan aku lakukan setelah aku berhasil membunuh manusia itu. Memutus mata rantai yang membuat para wanita seolah tidak berharga. Apa kamu bersedia?'

'Akh tidak. Harusnya aku tidak bertanya di surat ini karena itu berarti, aku bertanya saat aku sudah mati. Bukankah tidak seru?'

"Ya, kamu bodoh Gerald." Samantha berdecak sebal.

'Samantha, hiduplah dengan baik saat aku pergi meninggalkanmu. Jangan sakit, jangan menangis, jangan lupa makan dan nikmati cereal sepuasmu, aku tidak akan memintanya lagi. Kali ini, tidak perlu berbagi dengan siapapun karena kamu cukup harus membahagiakan dirimu sendiri dengan banyak keinginan yang belum kamu capai.'

'Samantha, jika aku pergi, akankah kamu baik-baik saja? tidak, aku harusnya tidak bertanya itu. Aku hanya harus berkata, hiduplah Bahagia meski tanpa aku. Kamu harus tau kalau aku sayang menyayangi dan mencintaimu.'

Tangan Samantha sampai gemetar setelah selesai membaca surat itu. Berbagai perasaan bercampur aduk di dada Samantha. Satu hal yang jelas ia rasakan saat ini yaitu ia sangat marah. Diremasnya kertas itu dengan penuh kemarahan. Ia menatap nisan yang bertuliskan nama Gerald di sana.

“Siapa yang membunuh Gerald?” tanya Samantha pada Wilson dan Alicia.

****

SASM - Masuk ke dalam sangkar

Rasa sedih dan sakit seorang Samantha saat ini telah berubah menjadi sebuah kemarahan dan dendam yang bergejolak di rongga dadanya. Setelah Wilson memberitahukan nama pembunuh sang kakak, dipikirannya terus berdengung nama tersebut.

“Maximo,” nama itu yang terus ia ingat dalam hati dan pikirannya. Tangannya selalu mengepal saat nama sang mafia itu melintas dipikirannya.

Hingga malam hari, Samantha belum kembali ke apartemennya. Pikirannya masih sangat kacau. Kenangan tentang sang kakak terus mengisi setip sudut ruangan apartemen yang tidak terlalu luas itu. Ia semakin tersiksa setiap kali melihat wajah Gerald hampir di setiap lapang pandangnya.

Maka, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran kota Los Angles yang tidak pernah sepi. Ia berharap, ia akan berpapasan dengan orang yang membunuh sang kakak dan membuat pria itu mendapat perlakuan yang setimpal dengan perbuatannya.

Suasana kota Los Angles pada malam hari, memang tidak jauh berbeda dengan siang hari. Sama-sama ramai dan orang-orang masih beraktivitas seperti biasanya. Kehidupan malamnya juga begitu meriah. Banyak club besar yang menjadi pusat kehidupan di malam hari, dipenuhi orang-orang dengan berbagai macam aktivitas hiburan untuk mengalihkan rasa lelah dan penat dipikiran mereka. Hal itu juga yang dilakukan Samantha.

Ia masuk ke dalam sebuh club dengan pakaian tertutup. Pakaian yang sama yang ia kenakan sejak pagi tadi. Kepalanya masih mengenakan topi milik Gerald bertuliskan huruf S. Ia baru sadar kalau maksud huruf S ditopi ini bukan nama negara melainkan namanya, Samantha. Jaket tebal berwarna hitampun masih memeluk tubuh Samantha yang tinggi semampai.

“Mau minum denganku?” seorang laki-laki menghampiri Samantha yang tampak termenung kesepian sambil memainkan gelas minumannya. Ia duduk di meja bar sambil memainkan cairan berwarna kekuningan yang diberi sedikit es batu.

Samantha menoleh, seorang pria tampan tersenyum padanya. “Aku tidak sedang mencari teman,” sahut Samantha dengan dingin.

“Minum bersama tidak harus selalu sebagai teman, cantik.” Laki-laki itu tidak menyerah. Ia duduk di samping Samantha dengan susah payah. Mungkin karena sudah mabuk, ia sampai kesulitan. Namun, kendati demikian, ia masih bisa melihat kalau wanita yang duduk di sampingnya adalah Wanita yang cantik. Bisa terlihat dari dagu dan bentuk bibirnya yang begitu menggoda meski wajah dan matanya masih tertutupi oleh topi yang ia kenakan.

Samantha tidak menimpali, ia memilih meneguk minuman beralkohol yang jarang disentuhnya. Selama ini Gerald memang melarang Samantha untuk minum minuman seperti ini karena menurut Gerald, minuman seperti ini bisa membuat Samantha kehilangan control atas dirinya.

“Kamu sangat menarik. Aku punya banyak uang, mau ikut denganku?” laki-laki itu masih belum menyerah untuk menggoda Samantha. Gadis ini memang sangat menarik di banding gadis lain yang berpakaian minim seperti nyaris telanj4ng sehingga tidak membuat penasaran.

Samantha menaruh minumannya dengan kasar. Ia merasa sangat terganggu oleh pria di sampingnya. “Siapa namamu?” ia putuskan dengan bertanya.

Laki-laki tu mengulurkan tangannya setelah ia usap dan tiup agar tangannya bersih.

“Max,” ujar pria itu seraya menyeringai. Bau minuman tercium menyengat dari mulutnya.

Mendengar penggalan nama itu, jantung Samantha seperti berhenyi berdetak untuk beberapa saat. Ada rasa sesak yang menghujam ulu hatinya. “Max siapa? Maximo?” Samantha semakin penasaran.

“Bagaimana kamu tau? Apa karena kamu dan ayahku sama-sama memuja orang yang sama? Kamu seperti mengenal nama itu dengan baik, sama dengan ayahku yang mengenal benar nama itu hingga menyematkannya dinamaku. Maximo, hahaha… bedanya, dia Cortez sementara aku, Maximo Wallz.” Laki-laki itu tersenyum bangga.

Tanpa menunggu lama, Samantha membalas uluran tangan pria itu. Namun, bukan untuk dijabat melainkan untuk ia tarik lalu ia pelintir dan ditekan kuat di atas meja bar.

“AKH! Brengsek! Apa yang kamu lakukan?!” seru pria yang meringis kesakitan.

Samantha tidak menjawab, ia masih terlalu menikmati saat melihat wajah laki-laki bernama Maximo ini meringis kesakitan. Seperti berharap kalau laki-laki ini benar-benar Maximo yang membunuh kakaknya dan ia bisa leluasa menyiksanya.

“Lepaskan aku brengsek, kamu melukaiku!” laki-laki itu meringis semakin keras membuat beberapa orang menoleh Samantha dan pria bernama Max itu.

Satu dorongan kecil membuat laki-laki itu terjungkal dari kursinya. Ia meringis kesakitan di lantai sampai berguling. Tulang punggungnya seperti patah karena terbentur lantai.

“Akh, wanita sialan.” Lenguhannya terdengar sangat menyakitkan.

Samantha tidak peduli dengan hal itu. Ia memilih beranjak dari tempatnya, menaruh selembar uang bermata uang dollar yang ia tujukan untuk sang bartender, lalu pergi begitu saja dari hadapan orang-orang yang memandanginya dengan waspada.

“Perempuan sialan!” dengkus laki-laki itu, tapi Samantha mengabaikannya begitu saja. ia memilih keluar dari club itu karena suasana hatinya semakin memburuk.

Berjalan menyusuri kota Log Angles yang dingin di malam hari, membuat Samantha kembali menghirup udara malam yang membekukan rongga dadanya. Sudah berulng kali ia mengatur nafasnya agar perasaannya lebih baik tapi rasa tenang itu malah semakin hilang bersamaan dengan uap napasnya yang hilang di udara bebas.

Disekitarnya, ia melihat sepasang kekasih yang sedang berciuman dengan mesra, seolah meledek dirinya yang baru saja kehilangan seorang kekasih di saat mereka bahkan belum menyatakan perasaan satu sama lain. Lihat, hidup ini menggelikan dan menyebalkan bukan? Ia bahkan begitu menikmati saat tanpa sengaja ia mencium Gerald ketika ia sakit, bulan lalu. Ia pikir itu hanya sebuah ketidaksengajaan tapi nyatanya itu bentuk awal ungkapan perasaan yang Gerald pendam.

Hah, ia bahkan masih merasakan manisnya pagutan Gerald yang mendalam hingga ia terengah nikmat untuk beberapa saat.

Brug!

Seseorang menubruk lengan Samantha karena berlari dengan pontang panting. Bayangan wajah Gerald pun pudar begitu saja.

‘Sorry!” seru wanita yang terlihat ketakutan itu. Wanita dengan pakaian minim berwarna merah menyala itu melajutkan langkahnya dengan tergesa-gesa.

Samantha tidak menghiraukannya sampai kemudian ia menoleh ke belakang dan ia melihat dua orang laki-laki bertubuh kekar berlari mengejar wanita itu.

“Berhenti kau jal4ng!” seru salah satu pria di antara keduanya.

Entah mengapa Samantha merasa tidak terlalu suka dengan panggilan pria pada wanita yang ketakutan itu dan ingin memberinya sedikit pelajaran. Setelah memperkirakan jarak dua laki-laki itu dengan dirinya, tiba-tiba saja Samantha berlari kencang lalu menolakkan kakinya ke cap sebuah mobil mewah yang sedang terparkir lalu berbalik untuk menghantamkan kaki itu pada satu orang pria yang sedang berlari.

“AKH!” laki-laki itu terhuyung dan terpaksa menghentikan langkahnya. Tendangan Samantha mengenai persis pipinya hingga wajahnya berpaling.

“Apa masalahmu brengsek?!” seru rekan laki-laki itu.

“Kalian masalahku!” Samantha balas menantang dua laki-laki itu. Tiba-tiba saja ia merasa ingin menghajar dua orang ini karena telah memburu seorang gadis yang berlari ketakutan.

Perkelahian pun tidak terelakkan. Samantha baku hantam dengan dua laki-laki bertubuh kekar itu. Beberapa tendangan dialamatkan Samantha pada dua orang itu dan berhasil memukul mundur dua laki-laki itu hingga terjatuh beberapa kali dan tergeletak di trotoar sambil memegangi perutnya yang sakit.

Tanpa Samantha sadari, seseorang memperhatikannya dari dalam mobil Limosin itu.

“Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya sang supir sekaligus assisten pria itu.

Laki-laki itu tidak menimpali, ia hanya memandangi aksi Samantha yang menarik untuk ia lihat. Beberapa kali tendangannya berhasil memukul mundur dua pria bertubuh kekar itu. Gerakan bertarungnya terlihat seperti sebuah tarian yang seksi dimata laki-laki tersebut. Ia kembali meneguk tequilanya dengan nikmat, waktu yang ia gunakan untuk menunggu ternyata tidak sia-sia. Sayangnya Ia tidak bisa melihat wajah wanita itu termasuk saat wanita itu menghampiri sang assistant untuk berkata,

“Maaf,” karena telah menjadikan kap mobil mewahnya sebagai landasan ia untuk berbalik menendang dua algojo itu. Suaranya saja yang terdengar samar dengan sedikit serak.

“Menarik,” ucap pria berwajah dingin dengan sorot matanya yang tajam. Ia sedikit tersenyum melihat gadis itu berlalu dan melewatinya tanpa menunjukkan wajahnya yang sembab sekaligus merah padam karena kesal.

“Perlu saya cari tahu tentang gadis itu, tuan?” sang assisten sepertinya paham benar dengan cara tuannya yang memperhatikan gadis tu dari jendela.

“Orang yang bertemu selintas biasanya akan menetap selamanya. Entah aku atau dia yang nanti akan menghampiri,” ucap laki-laki itu, sekali lalu meneguk minumannya dengan nikmat.

Pikiran Samantha yang tidak menentu, membawa gadis itu datang ke markas Wilson. Ia tampak kacau dengan kemarahan yang sedang menguasainya.

“Bagaimana caraku menemui pria itu?” tanya gadis muda yang menatap Wilson dan Alicia dengan tajam. Ia melepas topi yang menutupi wajahnya.

“Siapa yang kamu maksud?” Alicia menatap heran gadis itu.

“Maximo Cortez, laki-laki yang sudah membunuh kakakku.” Samantha menekankan kuat kalimatnya pada kata ‘membunuh.’

“Kamu mau menemuinya?” Alicia menatap tidak percaya pada sosok gadis muda ini. Nyalinya terlampau besar, menurutnya.

Samantha tidak menjawab, ia hanya menatap Alicia dengan tajam dan penuh kemarahan. Namun Alicia paham benar dengan tatapan Samantha yang menakutkan itu.

“Pria itu berbahaya Samantha. Sudah ada delapan belas agen kami yang gagal untuk memata-matainya apalagi untuk menemuinya.” Wilson mencoba mengingatkan.

“Gagal seperti apa, mati?” Samantha menatap Wilson dengan tajam. Pria itu mengangguk pelan.

Samantha tersenyum sinis. “Aku bahkan tidak merasa kalau aku masih hidup di dunia ini.” Ucapan Samantha sedang mengejek dirinya sendiri yang memang sedang dalam kondisi itu. Kematian Gerald telah membawa sebagian jiwanya pergi dan saat ini ia merasa kalau ia tidak benar-benar hidup.

“Mengejar Maximo, sama dengan kita mengejar bayangan kita sendiri. Semakin kita kejar, maka dia akan semakin menjauh.” Wilson memulai kalimatnya. Ia menyalakan layar besar dihadapan mereka yang menujukkan banyak wajah pria di sana.

“Wil,” Alicia berusaha menahan Wilson agar tidak melanjutkan kalimatnya tapi Samantha sudah lebih dulu menatap tajam pada Alicia. Matanya yang sedikit kemerahan itu mencegah Alicia untuk menghentikan Wilson.

“Okey, aku lanjutkan,” ucap Wilson yang paham dengan arti tatapan Samantha.

“Wajah-wajah ini adalah wajah orang-orang yang kami tangkap karena kami pikir dia adalah Maximo. Tapi rupanya, tidak ada satupun di antara mereka yang merupakan Maximo yang asli. Mereka sengaja mengaku-ngaku sebagai maximo dengan alasan hal itu merupakan kebanggan tersendiri. Atau bisa saja mereka mengaku sebagai Maximo karena diperintahkan oleh Maximo untuk mengecoh pencarian kami. Saat ini, kami belum menemukan foto wajah Maximo yang sebenarnya.” Wilson menatap Samantha penuh sesal.

“Lalu bagaimana kalian melakukan pengintaian? Bukankah kalian harus tahu dulu siapa yang kalian intai?”

“Ya, kamu benar. Tapi sampai saat ini kami hanya berhasil menemukan buah dari kejahatan Maximo. Kami tidak pernah bisa menemukan benih dan pohon yang tumbuh subur itu. Kami memasang banyak mata-mata dan mencoba menganalisa modus operasi dari tindakan sang mafia ini, tapi baru beberapa hal yang kami temukan.”

“Club besar, wanita malam, minuman, obat-obatan dan pencucian uang. Semuanya tersebar di seluruh dunia dibawah kendali, Maximo.” Wilson menunjukkan kembali banyak gambar di layar dan membuat mata sembab Samantha membulat untuk melihat dengan teliti apa yang tampil dihadapannya.

“Dia suka wanita malam?” tanya Samantha. Ia melihat prosentase kejatahan tertinggi Maximo adalah berhubungan dengan wanita malam.

“Ya, karena mereka adalah media penghubung semua bentuk kejahatan Maximo. Salah satu mata-mataku pernah melaporkan, kalau selain menjual para wanita ini, Maximo juga memakai sendiri jasa Wanita ini. Tapi sayangnya, bukan untuk ditiduri.”

“Maksudmu?” Samantha mengernyit tidak paham.

“Di balik sosok Maximo yang kuat dan berkuasa, laki-laki ini memiliki kelemahan. Yaitu, dia tidak bisa meniduri wanita. Wanita-wanita itu dia kumpulkan untuk dijadikan bintang di langitnya yang gelap. Satu rahasia lain yang aku temukan bahwa, Maximo ini memiliki passcode cetak biru untuk pencetakan semua mata uang di dunia dan passcode untuk membuka kotak pandora kejahatannya itu, ia tato di tubuhnya. Karena itu Maximo tidak pernah meniduri wanita manapun. Karena menurutnya, tidak pernah ada wanita yang bisa benar-benar dia percaya.”

Wilson menghembuskan nafasnya kasar, banyaknya rahasia tentang Maximo membuat ia begitu kesulitan untuk menangkap mafia itu.

“Jadikan aku salah satu bintang di langit gelapnya Maximo. Aku tidak hanya akan mengejar bayangannya tapi aku akan melekat di tubuhnya,” ucap Samantha dengan penuh percaya diri.

“Apa maksudmu? Ini berbahaya Samantha, yang kamu lakukan tidak ubahnya sebuah aksi bunuh diri. Mungkin saja kamu tidak bertemu dengan Maximo yang asli melainkan para pemujanya yang mengaku sebagai Maximo.” Wilson menatap Samantha dengan penuh rasa cemas.

“Carikan aku club mana yang kehilangan banyak wanita malamnya. Aku akan memulainya dari sana.” Ucapan Samantha terdengar kukuh dan tidak bisa dibantah.

Ia menatap layar monitor itu penuh dendam di waktu yang bersamaan ia seperti bisa melihat gambaran sosok Mazimo itu seperti apa. Tentu saja dari karakteristik orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Maximo. Rata-rata diantara mereka berkarakteristik seperti orang Spanyol. Maka satu benang merah itu yang akan Samantha ikuti.

Anggap saja, Samantha akan mulai masuk ke dalam sangkar milik Maximo.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!