Malam semakin pekat dan sepi di dalam sebuah bangunan megah nan mewah milik seorang Maximo Cortez. Rumah mewah berlantai empat ini berada di tengah hutan sepi Los Angeles. Akses menuju tempat ini memang hanya satu dan mereka harus masuk ke dalam sebuah terowongan bawah tanah yang sengaja mereka bangun sebagai rute keluar masuk rumah itu.
Semakin lama Samantha merasa semakin terpenjara. Tidak ada jalan yang bisa ia tuju untuk keluar dari tempat yang sangat asing ini. Sekeliling rumah ini hanya ada tembokan tinggi menjulang di atas permukaan tanah sementara sebagian besar rumah ini berada di bawah tanah. Tempat yang sangat tersembunyi dan sulit dikenali. Dinding tebal yang didominasi oleh warna hitam dan abu menjadi ciri khas dari rumah ini. Pada beberapa sudut ada warna merah, tetapi tidak cukup membuat bangunan ini terlihat cukup berwarna.
Samantha ditempatkan di lantai empat. Sebuah kamar yang mirip dengan sebuah castil. Ia bisa melihat keluar jendela dari salah satu sudut kamarnya. Pengamanan ketat berada disekitarnya dan penjaga bertugas selama dua puluh emapt jam non stop.
Dengan sedikit keberanian, Samantha memilih membuka jendela kamarnya. Ia ingin merasakan udara bebas yang langka ia temui. Dihadapannya ada sebuah taman yang luas dengan berbagai macam tanaman liar yang berwarna warni. Rumah ini dikelilingi olh pagar yang tinggi lagi kokoh, tidak ada celah sedikitpun untuk melarikan diri. Benar yang dikatakan Wilson, bahwa siapapun yang masuk ke dalam sangkar Maximo, tidak akan bisa keluar begitu saja.
“Rupanya kita sama-sama terpenjara,” ucap Samantha pada bunga-bunga yang bergerak pelan karena terkena hembusan angin. Ia merenung beberapa saat, memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Menempel pada Maximo, hal itu yang sudah ia putuskan beberapa jam lalu. Namun hingga detik ini, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk melanjutkan misinya ini.
“Sepertinya aku harus segera membuatnya telanjang dihadapanmu dan mencari tahu passcode yang diukir ditubuhnya?” pikiran itu terlintas di benak Samantha yang melamun sambil memandangi cahaya lampu pijar. Rasa putus asa membuatnya lebih nekad dan berniat untuk tidak menyerah karena alasan apapun.
“Tapi, bagaimana caranya? Dia bahkan sudah membentengi dirinya dengan janji yang dia buat sendiri. Seolah dia paling berusaha mengendalikan diri padahal dia memang lemah secara se^^al. Apa aku harus lebih agresif? Akh tidak, itu terlalu menjijikan.” Samantha mengusap wajahnya kasar. Pikiran itu terlalu mengganggunya.
Apa yang ia lakukan beberapa waktu lalu saja, sudah membuatnya frustasi, apalagi kalau ia harus bertingkah lebih agresif dari itu. Pasti sangat memuakkan.
Berpikir di depan jendela ternyata tidak membuat Samantha bisa berpikir jernih dan menemukan ide. Ia berpindah ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya disana. Matanya menerawang ke langit-langit kamar yang tinggi dan seketika bayangan wajah Gerald muncul dibenaknya.
Samantha tersenyum kecil pada bayangan itu. “Aku sangat merindukanmu,” ucapnya. Ia mengambil satu bantal lalu memeluknya dengan erat seolah ia tengah memeluk sosok Gerald yang tak kasat mata.
“Apa yang aku lakukan sudah benar?” lagi ia bertanya bayangan Gerald didalam pikirannya. Ia memejamkan matanya beberapa saat sampai kemudian ia melihat sosok Gerald itu tersenyum padanya.
“Aku akan mewujudkan mimpimu Gerald. Aku akan menghancurkan Maximo dan semua kerajaan bisnisnya hingga tidak akan pernah ada lagi Maximo yang lain yang bisa bertindak sesuka hati dan memisahkan seorang adik dari kakaknya terlebih seorang kekasih dari orang yang dia kasihi. Aku pasti akan melakukan itu, Gerald.” Samantha sudah bulat dengan keputusannya. Ia membuka kembali matanya dan menatap kamera CCTV yang terpasang di sudut kamarnya. Rasanya ia ingin memaki pemilik CCTV itu. Tanpa ia tahu, Maximo pun sedang memandangi sosok Samantha dikejauhan sana.
“Anda mau mandi sekarang, tuan?” tanya Paul yang mengusik lamunan Maximo. Entah sudah berapa lama Maximo duduk di kursi kebesarannya yang memperhatikan Samantha lewat kamera pengintai di kamarnya.
“Ketuk pintu sebelum kamu masuk!” suara Maximo terdengar tegas. Ia pun segera menutup laptopnya agar Paul tidak melihat apa yang sedang ia perhatikan dengan perasaan yang tidak menentu.
“Mohon maaf, tuan.” Paul mengangguk patuh. Ia tahu persis kalau Maximo sedang memandangi wanita asing yang baru masuk ke sangkarnya ini. Entah apa yang membuat Maximo terlihat begitu memperhatikan wanita tersebut. Padahal sosoknya bukan yang paling cantik dari wanita yang pernah masuk ke sangkarnya, tetapi sepertinya Maximo sudah tertaut.
“Jam berapa kita akan berangkat besok pagi?” Maximo berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tahu, Paul mulai menaruh curiga padanya.
“Jam enam pagi tuan. Kolega menunggu kita di dermaga. Transaksi hanya akan dilakukan dalam waktu dua menit,” terang Paul.
“Kamu sudah memastikan sekitar tempat itu aman?”
“Sudah tuan. Tidak ada tikus yang akan berkeliaran di sekitar sana karena kami sudah memasang beberapa perangkap keju di beberapa titik untuk mengalihkan perhatian mereka.”
Maximo mengangguk paham. Ia mengibaskan tangannya pelan sebagai isyarat agar Paul keluar dari ruangannya. Laki-laki itupun patuh dan meninggalkan Maximo seorang diri.
Sepeninggal Paul, Maximo melepaskan satu per satu kancing kemejanya, ia hendak mandi. Masuk ke bilik kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air shower. Ia mengusap wajahnya beberapa kali dan meniup air yang nyaris masuk kemulutnya. Percikannya memancarkan dari mulutnya saat menghembuskan napas kasar.
Di alam pikirannya, perlahan, sepasang tangan seolah mengusap punggungnya dengan lembut. Bulu kuduknya terasa meremang saat permukaan kulitnya merasakan sapuan lembut dari kulit halus yang bersentuhan denganya dan mengusap permukaan tubuhnya dengan nyaman.
“Aahh,…” Maximo melenguh seorang diri. Satu tangannya bertumpu pada dinding kamar mandi sementara satu tangan lainnya mengguyar rambutnya kasar seraya menengadahkan kepala merasakan desiran gairah yang tiba-tiba muncul setelah sekian lam tenggelam di alam bawah sadarnya.
Sentuhan itu terasa semakin intens memanjakan tubuh Maximo dan membuat rambut disekujur tubuhnya meremang nikmat. Ia juga merasakan beberapa kecupan lembut dan berulang disepanjang punggungnya yang membuatnya mengerang nikmat.
“Ah, Samantha….” Ucapnya lirih. Ia segera berbalik tidak tahan, tetapi ternyata tidak ada siapapun yang memeluknya dari belakang melainkan hanya imajinasinya saja.
“SIAL!” dengkus Maximo dengan kesal.
Padahal butiran air sudah membasahi sekujur tubuhnya, tetapi pikirannya masih diisi angan-angan bayangan Samantha yang begitu jelas dipikirannya. Entah sihir apa yang wanita itu punya hingga seisi pikirannya hanya dipenuhi segala hal tentang Samantha.
“Brengsek!” ia meninju dindingnya dengan kasar, ia marah pada dirinya sendiri yang begitu sulit mengandalikan diri dari bayangan Samantha yang baru beberapa kali ditemuinya. Memperhatikan Samantha membuatnya kecanduan dan membayangkan sosok gadis itu membuat hatinya berbunga-bunga. Lihat, apa yang sudah dilakukan perempuan itu terhadapnya?
Di tempat berbeda, saat ini Wilson masih memandangi layar monitor besar dihadapannya. Ia dan Alicia masih mencari keberadaan Samantha yang menghilang seperti ditelan bumi. Pelacak yang dipasang diponsel samantha pun mati, tidak ada jejak sama sekali. Semua titik lokasi tempat ia menaruh mata-mata sudah ia sisir, tetapi tetap saja keberadaan Samantha tidak diketahui rimbanya.
“Dimana terakhir kali kalian melihat limousine itu?” tanya Wilson melalui sambungan telepon pada orang-orang yang ia perintahkan untuk mencari keberadaan Samantha.
“Mobil itu masuk ke basement hotel dan masih bisa kami ikuti. Kami bahkan berhasil masuk ke basement khusus tapi saat kami tiba di sana, mobil itu sudah tidak ada di tempatnya. Semuanya kosong, tidak ada jejak manusia di sana,” ujar salah satu mata-mata Wilson.
“Brengsek! Bagaimana bisa kita kehilangan jejak mereka dengan begitu mudah? Sudah beberapa kali hal semacam ini terjadi. Tidak mungkin mereka menghilang begitu saja. Memangnya mereka punya jalan rahasia?” suara Wilson terdengar bergema saking kesalnya. Ia juga memukul meja lebar yang ada dihadapannya.
Ia selalu kehilangan jejak Maximo padahal terkadang jarang pengintaian mereka tidak terlalu jauh. Seperti saat ini, mereka belum menemukan jalan yang mungkin dilewati Maximo dan anak buahnya.
“Kenapa baru terpikirkan sekarang?” Alicia balik bertanya.
“Terpikirkan apa?” Wilson balik bertanya.
“Jalan rahasia.” Alicia menatap layar dihadapannya semakin lekat. Ia menunjuk jalur merah dimana mereka pernah melihat keberadaan mobil Maximo, tetapi kemudian hilang setelah masuk ke dalam sebuah hotel, bar, club atau tempat lainnya.
“Maksudmu mereka punya jalan rahasia?” Wilson mengulang rasa penasarannya.
Alicia mengangguk dengan yakin. Ia membuka peta kota Log Angeles dan mencermatinya dengan seksama.
“Perhatikan titik-titik ini, titik-titik ini adalah titik hilangnya mobil yang kita yakini adalah mobil milik Maximo. Bentuknya selalu bangunan lama dan tidak terlalu terkenal. Mungkin saja ada jalan bawah tanah yang tidak kita ketahui dan menghubungkan tempat-tempat ini. Bukankah itu sangat mungkin?” kecurigaan Alicia mulai mengerucut.
Wilson berpikir sejenak, ia memandangi layar besar dihadapannya dan mencoba membayangkan titik-titik lokasi itu.
“Tapi titik terakhir yang kita ikuti adalah sebuah stasiun. Mana mungkin ada jalan yang lebih bawah lagi setelah kereta api bawah tanah.” Wilson dengan segala keraguannya.
Alicia dan Wilson sama-sama termangu, memandangi peta yang sudah memiliki banyak warna penanda.
“Tuan,” seseorang tiba-tiba datang dengan tergesa-gesa.
“Ada apa?” Wilson segera menyahuti.
“Kami menemukan sesuatu dilokasi kematian Gerald,” laki-laki itu berbicara dengan cepat.
“Sesuatu apa?” Alicia tampak begitu penasaran.
Pria bertubuh besar itu memberikan sebuah barang didalam plastik dan menunjukkannya pada Alicia.
“Korek api?” Alicia menatap tidak percaya.
“Benar. Ini korek koleksi langka yang hanya diproduksi di Swiss. Jumlahnya hanya sekitar lima buah saja di seluru dunia. Dan salah satu pemiliknya adalah tuan Cortez. Ayah dari Maximo Cortez yang meninggal tiga tahun lalu, sebelum kita melakukan penyelidikan.” Pria itu menjelaskan dengan detail.
“Ini barang bukti. Biar aku yang menyimpannya.” Wilson segera mengambil benda itu dari tangan Alicia.
“Aku belum memeriksanya Wilson," protes Alicia.
"Aku sendiri yang akan memeriksanya." Wilson bersikukuh dengan pilihannya.
"Kamu berlebihan, lagi pula aku tidak akan memakainya.” Alicia berdecak kesal. Ia mengerlingkan matanya pada Wilson.
“Maaf Alicia, aku tidak maksud seperti itu. Aku hanya takut barang bukti ini terkontaminasi dan akan menyamarkan penyelidikan.” Wilson beralasan.
“Yaa, aku paham. Saranku, simpan benda itu di tempat barang bukti. Jangan menyimpannya sendiri.”
“Tentu, sudah pasti.” Wilson menjawab dengan santai.
Tidak lama terdengar sebuah panggilan telepon yang mengalihkan perdebatan mereka. Alicia segera menjawabnya.
“Ya, aku sedang bersama Wilson.” Kalimat itu yang langsung terdengar seraya menoleh Wilson.
“Ada berapa lokasi?” lagi Alicia bertanya. Sementara tangannya sibuk menampilkan beberapa tempat yang disebutkan mata-mata itu. Ada sekitar enam lokasi yang dimunculkan oleh Alicia dan Wilson mengamatinya.
“Baik. Segera laporkan saat ada perubahan. Jangan bergerak sendiri sebelum Wilson memberi perintah dan menurunkan tim.,” tandas Alicia sekali lalu menutup panggilan itu.
“Lokasi apa ini?” Wilson penasaran.
“Maximo akan melakukan transaksi obat-obatan di enam lokasi ini dalam waktu bersamaan,” ujar Alicia.
“Apa? Mana mungkin. Lokasi ini berjauhan.” Wilson langsung meradang.
“Apa mereka sedang berusaha mengecoh kita?” Alicia balik bertanya.
Wilson tidak lantas menjawab. Ia memandangi enam lokasi yang ditampilkan Alicia di layar monitornya.
“Satu dari lokasi ini sepertinya adalah lokasi yang benar sementara lima lainnya hanya untuk memecah konsentrasi kita.” Wilson berpikiran yang sama dengan Alicia.
“Iya, tapi tempat mana yang mereka pilih dengan sebenarnya?” Alicia balik bertanya.
Mereka berdua sama-sama berpikir. Mengatur strategi yang tepat agar sasaran mereka tidak meleset.
“Apa kita akan membaginya ke dalam tim kecil?” Alicia memberi saran.
“Itu terlalu berbahaya. Tim kita semakin sedikit dan kekuatan Maximo sangat besar. Kita harus berhati-hati jangan sampai ada agent lain yang gugur. Itu akan menyulitkan kita.” Wilson berpikir dengan serius. Terlihat jelas kegundahan di matanya.
“Aku setuju. Kita tidak bisa lagi membiarkan agent kita pergi satu per satu. Itu tidak boleh terjadi.”
Dua orang itu termenung beberapa saat, mencoba mengatur siasat yang tepat untuk mengikuti Maximo.
"Samantha, dimana kamu sekarang?" Wilson bertanya pada hatinya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
R yuyun Saribanon
yg ga abis pikir otak samantha..mau ngebunuh ngomong... ya jelas bikin waspada lawan
2024-10-07
0
Utiyem
ini kok wilson ada apa apanya. dan dia juga suka sam🤣🤣🤣
2023-08-07
1
Ririn
curiga sm wilson
2023-07-18
2