BACKSTREET YUK, PAK DOSEN!
Khadijah berjalan dengan tergesa-gesa menuju koridor universitas. Dia terlambat bangun dan harus masuk kelas lima menit lagi. Tampaknya hari ini akan menjadi hari tersial baginya.
Ah, bukan hari ini saja sebenarnya. Setiap hari juga hari tersialnya karena dia memang malas masuk kelas.
Deru napasnya memburu. Pakaian serba minim yang dia kenakan berkibar diterpa angin. Gerakan tubuhnya yang bak orang kesetanan membuat para pria menatapnya terpesona.
Khadijah, wanita yang penuh sensasi. Sering terlambat masuk kelas, memakai pakaian yang kurang bahan, tidak suka basa-basi tapi sayang sekali tidak mau punya hubungan serius dengan lawan jenis. Sampai di usianya yang hampir menginjak 25 tahun, Khadijah belum pernah punya pacar resmi. Teman tapi mesra sudah pasti banyak.
"Minggir, please! Duh, kakinya dong," keluh Khadijah sembari berlari. Dia yang salah tapi dia yang marah. Pria yang menjadi bahan injakannya tadi malah melambai. Rejeki nomplok karena bisa berdekatan dengan Khadijah.
Khadijah menghentikan langkahnya di depan pintu belakang. Dia mengintip dan menghela napas melihat wajah Khoirul -dosen killer yang selalu memberi nilai D minus pada mahasiswanya- yang sangat menakutkan.
"Duh, lebih dari D minus ini kayaknya," gumam Khadijah.
Wanita itu perlahan menggeser pintu dengan sangat hati-hati berharap tidak menimbulkan suara. Tapi pintu sialan itu justru berisik di tengah keinginan hatinya untuk diam-diam masuk. Sejurus kemudian, semua orang yang sibuk mendengarkan penjelasan sang dosen menoleh padanya.
Khoirul mendelik pada Khodijah, dia beralih ke meja dan mengetik sesuatu pada layar laptopnya.
Mampus aku, batin Khadijah.
Khoirul memberi isyarat pada Khadijah untuk duduk. Inilah yang wanita itu takutkan. Khoirul tidak perlu banyak bicara pada mahasiswa yang terlambat masuk atau tidak masuk kelasnya sama sekali, dia hanya perlu mengisi nilai mereka dengan D minus. Cukup dua ketikan kata. Skakmat!
Khadijah melangkah lemas ke arah kursi kosong yang paling belakang. Dia mulai mendengarkan penjelasan sang dosen yang sama sekali tidak ramah di telinganya.
Mulut wanita itu komat-kamit menyumpahi sang dosen. Hanya berselang lima menit, setelah itu, dia pura-pura sibuk mengetik karena Khoirul mengisyaratkan dirinya untuk fokus.
Menyebalkan!
°°°
"Ah, masih jaman jodoh-jodohan? Mama dan papa bercanda kan?" tanya Khadijah dengan semburat tawa penuh ejekan.
Pria yang telah menjadi tulang punggung keluarga hampir dua puluh tahun itu mendengus perlahan. Dia juga benci pada situasi ini. Dia yang sudah jarang mencari nafkah karena kekuatan kakinya sudah tidak bisa dijadikan patokan tidak bisa berbuat banyak ketika seseorang meminta putrinya untuk dijadikan istri.
"Papa minta maaf, Khadijah. Bukan papa ingin menjual kamu, tapi kami harus tahu balas budi. Kalau saja kamu bisa lulus tepat waktu, kami tidak akan sampai menjodohkan kamu," kata Burhan, Papa Khadijah yang saat ini menginjak usia empat puluh sembilan tahun itu.
Khadijah menjatuhkan mangkuk kecil yang berisi buah-buahan, "Papa? Maksudnya aku harus jadi alat balas budi?"
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menengahi, "Hush! Bicara kamu seperti tidak pernah sekolah saja. Bukan alat, Khadijah, tapi demi kebahagiaan kamu. Kalau kamu tidak bisa fokus kuliah, ada baiknya kamu menikah. Lagi pula jodoh yang kami tawarkan juga tidak buruk, malah lebih bagus."
Khadijah meradang, "Tawarkan? Memangnya pernikahan itu sebatas tawar menawar? Nggak! Khadijah nggak mau! Khadijah masih mau kuliah, masih mau bebas. Kalau punya suami ujung-ujungnya dikekang. Gimana dengan kelanjutan umur Khadijah sampai tiga puluh lima tahun nanti? Bisa-bisa nanti Khadijah hanya tinggal di dapur dan kamar. Ide pernikahan ini buruk! BIG NO! NO WEDDING!"
Khadijah melipir pergi. Dia tidak rela membagi masa mudanya secepat itu. Di balik sikap slengeannya ketika masuk dunia perkuliahan, dia masih ingin berjuang untuk menjajaki karir. Dia bukannya tidak suka kuliah, tapi takdirnya saja yang membuat dirinya seperti malas kuliah.
"Pokoknya aku nggak mau menikah sekarang! Titik!" seru Khadijah seorang diri.
°°°
Sifat keras kepala itu akhirnya melunak setelah beberapa hari kemudian Khadijah melihat Burhan terbaring di rumah sakit. Papanya tiba-tiba mengalami sakit jantung dan harus dirawat beberapa hari. Ratna, mama Khadijah, tidak marah pada Khadijah. Dia tahu bahwa Khadijah juga tidak bisa menerima keputusan itu dengan senang hati.
"Bagaimana kondisi Papa, Ma?" tanya Khadijah cemas. Melihat Burhan yang terbaring lemah membuat dirinya tidak enak hati.
"Kata dokter sudah lebih baik. Kamu jangan cemas," jawab Ratna.
Khadijah diam seribu bahasa. Setengah terpaksa dia melanjutkan, "Aku akan menikah, Ma. Aku akan menikah dengan pria yang kalian mau. Apapun itu akan aku lakukan asal setelah menikah aku nggak dilarang ke rumah kalian."
Rona bahagia jelas terlihat di mata Ratna. Wanita itu memeluk putrinya dengan sayang. "Terimakasih, Khadijah. Mama akan sangat bahagia melihat kamu bahagia."
Bahagia dari mana? Aku menikah juga karena terpaksa, batin Khadijah kesal.
°°°
"SAH?"
"SAH."
Satu kata yang membuat hati mencelos sudah terdengar. Khadijah yang berada di ruang pengantin, mendadak ingin lari dari kenyataan. Dia menghela napas berulangkali. Dia sudah resmi menjadi istri orang. Entah siapa yang dia nikahi saat ini karena dia tidak tahu apapun mengenai calon pengantinnya.
Khadijah dilarang bertemu langsung dengan calon suami bahkan fitting baju dilakukan terpisah. Wanita itu agak takut karena kalau sampai calon suaminya tidak memenuhi kriteria sebagai suami tampan, dia bisa malu.
Sebelum keluar dari ruang pengantin sebuah ballroom hotel bintang lima, Khadijah menoleh pada mamanya, "Mama yakin suamiku bukan orang yang kekurangan fisik kan? Dia bisa berjalan norma kan? Bisa melihatku dengan jelas kan?"
Ratna tersenyum simpul bercampur geli, "Semuanya lengkap, Sayang. Sudahlah! Apa yang kamu pikirkan tidak mungkin terjadi. Sebaiknya kita keluar, lihatlah suami kamu baik-baik. Mama yakin kamu tidak akan kecewa."
Janji-janji itu terdengar indah di telinga Khadijah. Wanita dengan gaun pengantin model simpel tanpa ekor yang panjang, mengeratkan pegangannya pada Ratna. Melihat tamu-tamu yang datang membuat dirinya semakin gugup. Memang tidak banyak orang karena pernikahan itu digelar private, hanya beberapa yang diundang.
Khadijah tidak mengundang siapapun karena dia tidak ingin teman-temannya tahu dia sudah menikah. Kalau bisa sebelum dia lulus, pernikahan itu tetap aman dalam pikirannya.
Langkah Khadijah terhenti di depan meja beralas taplak berenda putih dengan hiasan bunga. Di sana ada empat orang yang duduk manis, di hadapannya seperangkat alat shalat dan mas kawin berupa seratus gram emas sebagai saksi bisu pernikahan tiba-tiba itu.
Ternyata pernikahan ini berharga juga bagi calon suamiku, batin Khadijah. Dia terharu karena dia pikir akan mendapat mas kawin satu gram emas.
Salah satu orang yang memakai pakaian yang sama seperti Khadijah tampak tidak asing. Wanita itu tercekat, tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Astaga! Apa ini nyata? Muka dingin itu bertatapan dengan mata Khadijah.
"Pak Khoirul?"
°°°
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Tita Puspita Dewi
mampir.....
2023-09-28
0