Keesokan harinya ...
"Ada kemungkinan nggak kalau dosen telepon malam-malam cuma buat tanya kamu main sama siapa saja?" tanya Raisa begitu melihat batang hidung Khadijah di kelas.
Khadijah mengeluarkan benda persegi panjang berlipat di atas meja. Setengah sadar dia mendengarkan pertanyaan Raisa. Semalaman dia tidur di sofa dan tidak biasanya kepalanya pusing. Mungkin efek belum makan dan juga kesal yang menumpuk di kepala.
Lalu pagi ini, tiba-tiba perutnya sakit sekali. Dia hampir tidak bisa bangun dari tempat tidur. Setelah cukup lama mengondisikan tubuhnya, akhirnya wanita itu bangun dan berjalan ke kamar mandi.
Niat hati Khadijah tidak ingin mandi tapi melihat sesuatu yang mengucur beberapa tetes berwarna merah, membuat dirinya harus membersihkan diri. Dia lupa jika hari ini tamu bulanannya akan datang.
Kebiasaan Khadijah jika menyangkut hal-hal wanita, moodnya pasti akan berantakan sepanjang hari. Dia bahkan bisa mengomel pada semua orang.
Beruntung dia tidak terlambat bangun dan pergi ke kampus tepat waktu. Masih ada sisa tenaga untuk mendengarkan para orangtua itu berceramah.
"Nggak lah. Dia gila ya? Apa jangan-jangan dia suka sama kamu?" jawab Khadijah tanpa selera. Dilihatnya belum ada yang masuk, jadi wanita itu memutuskan untuk menenggelamkan kepalanya di atas meja.
Matanya terpejam sesaat, hanya sepersekian detik karena Raisa kembali memberondongnya dengan pertanyaan lain.
"Ngaco kamu, Dijah! Mana ada dosen suka sama mahasiswinya?"
"Emang ngaco. Perbandingan satu banding satu juta triliun kan?" sahut Khadijah dengan suara parau. Kesadarannya setipis tisu.
"Nggak begitu juga. Ada kok yang kasusnya sama. Di novel-novel banyak kan? Eh, di dunia nyata juga ada."
"Terserahlah."
Raisa hendak melontarkan pertanyaan susulan tapi pria paruh baya tersebut sudah muncul di ambang pintu. Refleks dia mengusap lengan Khadijah agar terbangun.
Khadijah mendesah samar. Dia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi hari ini.
°°°
"Aku pulang dulu ya? Kamu mau pulang bareng nggak?" tanya Raisa. Dia sibuk memasukkan barang-barangnya karena mata kuliah hari ini hanya satu jadwal. Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan Khadijah sendiri tapi dia ada janji lain.
"Pulang dulu aja, Sa. Aku sebentar lagi pulang," ucap Khadijah. Kondisi tubuhnya sudah separuh sadar. Dia belum bisa beranjak dari duduknya.
"Yakin? Kamu nggak mau aku belikan obat datang bulan?"
"Hm, nggak usah. Sebentar lagi juga sembuh."
"Bye, Dijah. Kabari ya kalau sampai rumah," ucap Raisa. Dia masih sempat mengecup pipi Khadijah sebelum keluar kelas.
Sementara Khadijah sibuk menahan perutnya. Dia tipe wanita yang bisa sampai pingsan kalau menyangkut datang bulan. Sakitnya bahkan melebihi sakit kepalanya saat ini.
Semoga ruangan yang dia pakai saat ini, tidak digunakan lagi mengingat dia belum bisa bangun.
Tiga puluh menit kemudian, Khadijah mencoba untuk menengadahkan kepalanya. Dilihatnya ruangan itu kosong. Dia ingin pulang tapi perlu berjalan sampai tempat parkir. Supir Khoirul menunggu di sana.
Wanita itu sudah bangkit, namun gerakannya terhenti. Kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati noda merah muncul di rok pendeknya.
"Sial," gumamnya.
Hal yang sudah bisa diduga tapi Khadijah tidak memprediksinya. Dia mengobrak-abrik tas tapi tidak menemukan benda yang dia cari. Dia juga tidak membawa jaket atau semacamnya. Bagaimana dia bisa melewati tempat-tempat yang biasanya ramai oleh para mahasiswa?
Tidak mungkin. Khadijah terpaksa kembali duduk dan menunggu sampai malam. Dia tidak akan meminta bantuan pada Khoirul. Dia masih kesal pada suaminya.
Khadijah merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dia menilik nama Raisa di kontak panggilan masuk. Sejenak dia ragu, takut mengganggu. Pilihan yang paling tepat adalah menghubungi orangtuanya.
Khadijah tidak peduli jika nantinya orangtuanya bertanya kenapa Khadijah lebih memilih menghubungi mereka dari pada suaminya yang jelas-jelas dalam satu gedung dengannya.
"Dijah? Ada apa? Tiba-tiba telepon mama bikin jantung mama mau copot saja. Ada masalah?" tanya Ratna dengan nada cemas.
"Emangnya kalau aku telepon harus ada masalah dulu, Ma? Em, tapi emang ada masalah sih," ucap Khadijah. Dia menarik napas panjang, lalu terdiam cukup lama. Rasa perih yang dia derita lebih sakit lagi. Dia menghela napas berat, matanya juga berair.
"Ada apa? Datang bulan?"
"Hm. Bisa tolong datang ke kampus nggak, Ma? Bawa baju ganti sama itu. Nanti aku kasih tahu aku ada di mana."
"Memangnya suami kamu mana?"
"Sibuk."
Orangtuanya tidak mungkin banyak bertanya kalau sudah diberi alasan sibuk. Khadijah tahu sifat sungkan mamanya jika sudah menyangkut Khoirul.
"Tunggu sebentar. Mama siapkan dulu."
"Iya, Ma. Terimakasih."
Khadijah menutup panggilannya lalu kembali menenggelamkan diri.
°°°
Empat puluh menit kemudian ...
Decitan pintu terbuka terdengar. Khadijah mengira Ratna yang datang karena dia mengirim pesan lokasinya saat ini. Wanita itu mengangsurkan telapak tangannya untuk menerima barang yang dia minta.
Tapi yang dia terima bukan barang melainkan sapuan telapak tangan yang menyambut uluran tangannya. Khadijah sudah yakin kalau yang datang bukan Ratna. Wanita itu menengadah dan mendapati Fattan menyeringai padanya.
Sontak Khadijah menarik lengannya. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Aku lihat Raisa tadi sendirian. Aku mengira kamu masih ada di kampus jadi aku mencari kamu di gedung ini. Ternyata benar. Menunggu siapa?" tanya Fattan. Pria itu masih berdiri di samping Khadijah.
"Pergilah! Aku sedang tidak mood bicara," ucap Khadijah malas.
"Kenapa? Aku antar pulang ya?"
"Makasih tapi nggak usah repot-repot."
Fattan tidak mau mengalah jika menyangkut Khadijah. Dia tetap bersikeras ingin mengajak wanita itu pulang. Dengan tarikan yang cukup kuat, Fattan memaksa Khadijah.
Khadijah sudah setengah berdiri, dia takut terlihat oleh Fattan. Bagaimana ini? Dia sudah mendorong pria itu menjauh tapi tenaganya jauh lebih kecil.
"Please, Tan, aku benar-benar nggak mau ikut kamu," tegas Khadijah. Dia menatap tajam pada Fattan, "kalau kamu masih begini, aku bakal teriak. Biar kamu diburu orang-orang."
"Biarkan saja. Mereka tahu kalau aku cinta sama kamu makanya aku berhak memberikan perhatian," elak Fattan.
"Ini bukan perhatian tapi paksaan," sungut Khadijah. Wanita itu meringis merasakan perutnya yang menggila. Sial!
"STOP!"
Teriakan itu membawa angin segar untuk Khadijah. Fattan menoleh dan melepaskan tarikannya pada Khadijah ketika melihat Khoirul berdiri di ambang pintu.
Dengan langkah tegas dan mantap, Khoirul menghampiri mereka. Melihat raut wajah Khadijah yang lelah membuat dirinya marah. Andai Fattan tahu apa hubungan mereka, Fattan tidak akan berani melakukan hal buruk pada Khadijah.
Lidah Khoirul terasa kelu. Ingin sekali dia mengumbar hal baik tersebut pada orang-orang tapi dia menghargai Khadijah yang menginginkan kerahasiaan pernikahan mereka.
"Tolong jangan memaksakan kehendak kamu pada Khadijah," ucap Khoirul dengan nada lebih tenang.
"Maaf, Pak, tapi saya ada perlu dengan Khadijah," sahut Khoirul berusaha menjelaskan.
"Benar begitu, Dijah?" tanya Khoirul pada istrinya. Dalam hati dia memaki Fattan yang berusaha berbohong. Dia melihat sendiri dengan mata kepalanya bagaimana kasarnya Fattan.
Khadijah menggeleng, "Bohong, Pak. Dia memaksa saya. Tolong usir dia!"
"Sudah dengar sendiri kan? Saya paling tidak suka ada kekerasan apalagi masih di lingkup kampus. Tolong pergilah! Dari pada orang lain melihat," jelas Khoirul. Sebagai dosen dia masih perlu bersikap baik.
Merasa terpojok, akhirnya Fattan keluar dari tempat itu. Sementara Khoirul menginginkan ucapan yang seharusnya dari mulut Khadijah.
"Masih sakit?" tanya Khoirul lembur. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ice bag yang diisi air hangat, "saya bantu."
Khadijah risih melihat perhatian Khoirul. Dia malu kalau ketahuan memiliki noda merah. Dia sedikit menjauh dari suaminya.
Khoirul sepertinya mengerti keresahan Khadijah. Pria itu melepaskan jaket yang dia sampirkan di lengan kanan. "Pakailah! Saya bawa baju ganti buat kamu, tapi nggak mungkin ganti di sini kan? Kita ke toilet dulu, lalu ke ruangan saya."
"Dari mana bapak tahu kalau saya butuh itu semua?"
°°°
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments