Ungkapan kata, siapa takut? justru menjadi penyemangat dalam diri Wirasti. Ugh, nyatanya memang seorang Wirasti bukan tipe penakut.
Apa yang perlu ditakuti?
Wirasti? selama ini cukup pemberani menghadapi situasi dalam pandangan orang lain mungkin, serem? menakutkan? horor?
Bagi Wirasti dalam kamus hidupnya hampir ditekan hingga sedemikian minimnya perasaan tersebut, bagaimana mungkin Wirasti diliputi rasa takut?
Sementara hampir setiap hari walau tidak rutin sebetulnya Wirasti dipaksa menghadapi hal ganjil, itu pertanda bahwa dirinya memang telah dan mulai intens bersentuhan dengan mereka dari dimensi lain.
Seingatnya telah berlaku sejak dirinya bocil? entah bagaimana prosesnya tahu-tahu semuanya terjadi begitu saja, jika diruntut ke belakang sudah tidak terhitung mengalami suatu hal yang sebetulnya tidak diharapkan.
Tetapi, mana mungkin dirinya bisa menepis apalagi berkelit? semuanya seakan secara otomatis tanpa bisa ia bendung.
Ya, jika itu sebuah air bah! meluap tanpa ampun kemudian meluber kemana-mana tidak terkendali. Perumpamaannya begitu, hem?
Wirasti hanya bisa pasrah atas semua yang mendistraksi satu demi satu tanpa sanggup mengelaknya, sungguh bocil Wirasti kala itu hanya bisa terbawa keadaan tanpa mampu melawannya.
Semua itu, fitrah? seolah memang sudah digariskan dan dipersembahkan untuknya. Semuanya baru disadari sedikit demi sedikit ketika bocil Wirasti merasa semakin intens bersentuhan dengan vibes ganjil dari waktu ke waktu.
"Aku? lama-lama tertempa," ujarnya, memberi suatu gambaran keadaanlah yang menjadikan dirinya terus bertumbuh kembang menjadi sosok pemberani dimulai sejak usia bocil!
"Walau sebetulnya aku ingin menolak, ya menolak keadaan diriku kenapa tidak senormal orang lain?" pikirnya, begitu sadar sering mendapati dirinya tidak sama dengan orang lain.
Apalagi ketika itu masih usia kanak-kanak, ada yang selalu dirasakan berbeda dengan kemampuan yang menempel pada dirinya.
Ada semacam upaya memberontak, Wirasti sering harus mengalami kontradiksi semacam perang batin? yep kurang lebih begitu.
"Aku tidak menginginkan kemampuan berpenglihatan seperti ini," keluhnya.
Keluhan Wirasti kecil? hanya menampar dinding kamarnya, menguap begitu saja? atau, terbawa angin dan hanya menempel di pucuk dedaunan di luar rumah? tidak ada cara lain untuk melepas keadaan yang semakin membuatnya ngap dan hanya menimbulkan kecemasan.
Wirasti kecil hanya sanggup berkeluh kesah seorang diri, tanpa ada satu pun atau siapapun yang mendengarnya?
Ya, karena Wirasti sendiri memang tidak mau berkeluh kesah pada siapapun?
Tahukah? alhasil dari keadaan bertubi-tubi yang telah membuatnya jatuh bangun seorang diri, Wirasti pun tumbuh menjadi seorang anak berpenglihatan istimewa.
Tetapi memberi imbas lain, yaitu? membentuk suatu karakteristik dalam kepribadian Wirasti semakin menunjukkan bahwa introvert tersebut semakin melekat pada dirinya.
Ugh, introvert? yep, memang sudah sepantasnya begitu. Sejak itu? Wirasti lebih suka menarik diri, tahu bahwa dirinya tidak seperti orang lain.
"Bukan suatu ketimpangan," tunjuknya pada situasi atau keadaan dirinya menyerupai invalid misalnya, bukan! bukan! bukan!
Keadaan invalid jika dirinya cacat secara jasmani atau fisik, bukan? namun ini, tidak!
Wirasti merasa normal-normal saja. Suatu ketimpangan yang ia alami terletak pada dirinya memandang dengan cara lain terkait kemampuan anehnya yang semakin hari semakin meninggalkan ketumpulannya, padahal merasa ibaratnya sebuah mata pisau tetapi Wirasti sendiri merasa tidak pernah mengasahnya.
"Heran," decaknya, kerap dirinya berdecak sendiri dipenuhi kekaguman atas apa yang tengah berlangsung dan melanda dirinya. Ya, semua itu terkait entah apa yang tengah berproses dalam dirinya.
Suatu hari ketika masih sangat kecil? kedua ortunya mengajak dirinya berkunjung ke rumah kakek neneknya di pelosok DIY tepatnya di wilayah Kulon Progo, situasi rumah orangtua dari pihak bapaknya itu memang cukup luas apalagi dengan kebun di sekeliling rumah dipenuhi pepohonan besar. Membayangkan keadaan sekitar membuat Wirasti merasa bernyali ciut!
Instingnya cepat bergerak, waktu rembang petang? seingatnya begitu. Wirasti bermaksud melintas dari ruang belakang menuju ruang depan tentu saja harus melewati ruang tengah yang begitu luasnya, karena di bagian ruang yang terhubung tersebut merupakan ruangan kosong biasa digunakan kakek neneknya konon untuk gudang dalam rumah sebagai penyimpanan hasil panen padi.
Langkahnya pun? sempat dihentikan oleh suara seseorang seakan tengah mengkode dirinya untuk berpaling?
"Ssshhh ...!"
Tentu saja, secara refleks Wirasti celingukkan mencoba mencari arah datangnya suara tersebut.
"Ssshhh," untuk kedua kalinya, dan Wirasti seketika menghentikan langkah kecilnya.
Insting Wirasti langsung menatap ke arah kolong meja makan ukuran besar di tengah ruangan. Apa yang kemudian terlihat olehnya?
Hah? Wirasti seketika menatap pias. Rasa kaget dan ketakutan yang luar biasa!
Apakah, itu? Wirasti bocil menatap lekat-lekat dari jarak walau tidak terlalu dekat?
Sosok yang memberi kode, sshhh? tersebut tengah dalam posisi seolah sedang jongkok.
Sialnya di saat sudah hampir petang tetapi lampu penerang di ruangan tersebut masih padam, sekalipun tidak terlalu jelas tetapi bisa terlihat oleh Wirasti.
Perkiraannya? mahluk yang tengah berjongkok di bawah kolong meja makan tersebut, persisnya?
Menyerupai semacam orang hutan? atau lebih mirip simpanse tetapi lebih kecil sedikit. Ya, seingatnya begitu!
Sadar bahwa dirinya tengah terancam, sedapat mungkin Wirasti bocil berteriak dan kemudian lari!
Ingatan tersebut ketika dirinya mulai berkemampuan lebih maksimal, baru ngeh?
Bahwa yang pernah ia lihat di masa dirinya masih sangat bocil tidak lain wujut pemunculan vortex berupa, genderuwo! ya, Wirasti memastikan begitu.
Pemunculan vortex demi vortex pun mulai pating brudul sejak saat itu, bayangkan gaes bocah kecil dipaksa untuk selalu berjumpalitan uji nyali melulu?
Netra bocil tersebut lama-lama terbiasa mengadaptasi visual dan interaksi intens dengan astral dari dimensi lain.
Apa yang tidak bisa dilihat Wirasti kecil kala itu? selain dirilis oleh si genderuwo, berturut-turut mata batin Wirasti mampu menangkap sekelibat silhuet entah? lalu si kunti kecil yang selalu menjadi kawan bermainnya.
Kunti sebocil dirinya? yep, dialah teman baiknya.
Muncul dari pojok kamarnya, awalnya Wirasti yang sama kanak-kanaknya kala itu?ketakutannya bukan main!
Kunti bocil tersebut muncul pertama kali dengan gaun putih lusuh dan rambut awut-awutan tidak jauh beda dengan kunti dewasa, dia memintanya jangan merasa takut.
"Jangan takut," ujarnya membujuk.
Karuan Wirasti awalnya girap-girap, merasa dicekam ketakutan yang menghebat. Tetapi, lama kelamaan perasaan keteror itupun sirna dengan sendirinya.
Perlahan akhirnya Wirasti bisa mengusir rasa takutnya, pertemanan dua mahluk beda dimensi itu pun berlangsung tanpa diketahui siapapun. Keduanya berteman secara diam-diam.
Di kamar ukuran 3 x 3 meter itulah Wirasti sering ditemani sobat kecilnya, bila larut malam tiba sekelilingnya sudah senyap. Kelihatannya Wirasti telah berangkat bobok tetapi sebenarnya, tidak!
Suara cekikikan kecil yang hanya bisa ia dengar sendiri telah begitu akrab menampar gendang telinganya, seakrab dirinya bermain boneka bersama teman mainnya. Boneka kain berambut kepang itulah kesayangan teman kecilnya.
"Boleh aku bawa nanti, akan kuperlihatkan pada ibuku!" pintanya suatu hari. Wirasti hanya bisa mengangguk.
Suatu hari itulah sahabat kecilnya tidak muncul sendirian, dari sudut kamarnya terlihat ibu dan anak menghampirinya.
Wirasti takut-takut ketika sahabatnya itu memperlihatkan sosok perempuan bergaun putih tidak menapak kaki, rambutnya terurai dan mukanya serem.
Astaga, shock terapi? sejak usia bocah itulah Wirasti sudah terlatih mentalnya menguat!
Tetapi ada lagi shock terapi lebih parah yang terpaksa ia alami, saat dirinya sudah masuk usia bangku sekolah SD.
Kehidupan Wirasti dengan keluarganya terbilang nomaden ketika usianya masih kelas 5 SD. Tinggal di rumah kontrakan tidak jauh dari areal perkebunan tebu milik PG Madukismo daerah DIY, setiap berangkat dan pulang sekolah Wirasti harus membelah areal perkebunan seluas itu.
Mana harus ditempuh hanya dengan berjalan kaki, nahas pagi itu mendung hampir hujan. Teman-temannya sudah berangkat semua, Wirasti saja yang ketinggalan.
"Ah, harus sendirian?" tanpa pikir panjang yang penting bergegas dan segera tiba di sekolah.
Masuk area perkebunan, kiri kanan tanaman tebu nampak rimbun hampir dipanen. Kadang timbul was was ketika membelah jalan sendirian.
Yah? baru setengah perjalanan hujan gerimis pun turun. Wirasti berlari-lari kecil, untungnya mantel hujannya sudah ia pakai sejak dari rumah karena mendung semakin gelap.
Sebelum mencapai kampung pertama itulah, Wirasti dikagetkan oleh sesuatu?
Sekian jengkal sebelum tiba persis depan gapura perasaannya sudah tidak enak. Sekian detik lalu? seperti ada yang mengikuti?
"Siapa?" pikirnya penuh tanya. Instingnya seolah memintanya untuk menoleh ke belakang!
Benar! dugaan Wirasti kecil? "Pasti ada sesuatu," tebakannya tepat!
"Iii ... ii-tu?" tunjuk Wirasti, berniat menunjuk pada sesuatu yang menakutkan tetapi suaranya langsung parau!
Wirasti gugup, gemetaran, sangat takut sampai tubuhnya bergetar.
Mata telanjangnya menangkap seutuhnya visual menyeramkan berada tidak jauh berdiri di satu sudut!
"Ii-tu, pocong?" Wirasti hanya bisa membatin dengan perasaan takut luar biasa.
Pocong? ya, siapa yang tidak mengenal astral menyerupai bungkus permen tersebut?
"Pocong?" hampir tidak yakin dengan penglihatannya, Wirasti masih sempat mengucek mata. Hadeuh, gokil dah!
"Cepat tinggalkan tempat ini,"
"Ayo, lari! lari!" sentaknya sambil mengatakan seperti itu Wirasti langsung ngibrit, untung masih mampu untuk berlari sekencang-kencangnya.
Sambil masih terbayang, sosok terbungkus kafan tetapi nampak warna putihnya telah pudar berlepotan seperti cipratan tanah basah, karena hari tengah diguyur hujan?
"Huft, nambah pengalaman?" cebiknya, jangan dikira napasnya tidak naik turun.
Tak ayal? tiap kali dirinya mengalami hal aneh semacam itu, berasa menapak satu jengkal!
Latihan mental akibat kerap mengalami hal-hal aneh di sekitarnya, dari banyak hal seperti itulah Wirasti tumbuh menjadi perempuan belia bernyali kuat!
Satu hal ketika dirinya telah beranjak mulai usia ranum menuju kedewasaan, Wirasti bukan sekadar membentengi dirinya dengan karakteristik mumpuni hingga dirinya kelihatan tegas, namun betapa Wirasti paling demen berurusan, dengan?
"Sebetulnya bukan atas kemauanku, tetapi apa boleh buat, hem?" decih Wirasti.
Apa yang sering melintas di benaknya tiap-tiap bersentuhan dengan dimensi astral telah menautkan hati dan pikirannya. Sisi lain yang kerap membuat tidak bisa membendung rasa ingin tahunya?
Ups, rasa ingin tahu? sebatas itukah?
"Hei, jangan terlalu kepo, nona!" teguran semacam itu bahkan tidak mampu membendung sifat penasarannya ketika timbul sesuatu yang membuatnya terpancing.
Astaga?
Wirasti pun begitu gercep, gerak cepat!
Seakan tengah turun ke TKP alias Tempat Kejadian Perkara. Heran, amat respektifnya.
Wirasti merasa kian tertantang ketika dirinya mulai menapak step by step naik level? ups, naik level?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Y.J Park
Membayangkan Sebagai Wirasti Yang Sejak Kecil Memiliki Kelebihan Dapat Mengenali Sekaligus Mendeteksi Eksistensi Astral, Tentunya Memiliki Tantangan Tersendiri. Astral Kerap Kali Muncul & Datang Dengan Kondisi Raut Yang Tak Ramah. Dan Wirasti Kecil Telah 'Deal' Dengan Itu Semua Hingga Menjadikannya Mengenali Kondisi-kondiamsi Tersebut Layaknya Intensitas Bertemu Dengan Sesama Manusia
2023-08-18
1
Indwi Kusumodjati
Gerak cepat ala Wirasti ketika ter-distract suatu hal yang ganjil tetapi dianggapnya biasa 🤔
2023-06-10
1