Sejak kemunculan perempuan tua itu? insting Wirasti seakan mengatakan dialah penguasa teritori di sekitar tempat tinggalnya, apalagi meski hanya bahasa batin telah menunjukkan bahwa dirinya?
"Tinggal di bawahmu ... " itu katanya, mengisyaratkan pemaknaan lebih jauh tentangnya?
Kecurigaan Wirasti beralasan, entitas seperti perempuan itu dengan gamblang menunjuk pada satu tempat keberadaannya.
Wirasti pun mulai terusik, "Jika isyaratnya memang mengarah ke sana?
Berarti ada dua kemungkinan. Pertama eks tanah di sekitar sini pure sebagai spot, karena memang sebelum rumah ini berdiri seperti umumnya di manapun wajar seperti mereka sudah ada sebelumnya.
Tetapi kalau menunjuk pada pengakuan berada di bawahmu?" Wirasti sesaat menjeda kalimatnya, karena tengah berpikir keras?
"Aa ... aa-pa?" kata berikutnya mengambang?
"Bagaimana, ah? mana mungkin?" sempat membantahnya sendiri, merasa tidak sepenuhnya yakin.
Ya, menurutnya butuh suatu pembuktian bahwa yang terbesit sebagai satu dugaan? setidaknya historis lokasi tempat tinggalnya ia ketahui mendekati suatu kebenaran.
Sampai di situ Wirasti terbungkam, rasanya tidak tahu harus ngomong apalagi?
Gestur Wirasti pun nampak menunjukkan kegelisahan? sesaat memiringkan kepala, menekuk dahi, sambil kemudian mengedikkan bahu.
Langit semburat jingga, saat Wirasti perlahan menuruni anak tangga menuju lantai bawah dari lokal lantai dua tempat perkuliahan berlangsung. Sambil terus mengayun langkah menyeberang pelataran parkir, hingga menghampiri motor maticnya.
Sore yang sudah nampak mulai rembang petang membuat Wirasti bergegas ingin segera pulang, seseorang menepuk bahunya dari arah belakang.
"Hei, Ras?"
Wirasti nyaris terlonjak, mahfum pikirannya tidak fokus.
Sapaan seseorang membuatnya kaget setengah mati, maklum situasi sekeliling sebelumnya sepi.
"Oh, emphh ... hei?" balasnya, gugup.
Demi yang berada di dekatnya seseorang yang tadi menyapanya, Wirasti pun membalik posisi sambil tersenyum ramah.
"Lama tidak melihatmu?"
"Eh, ii ... Ii-ya!"
"Apa kabarmu?"
"Eh, iya baik,"
Astaga? segugup inikah Wirasti bila disapa seseorang?
Oh, no! tentu saja tidak! Wirasti hanya akan segugup itu jika dirinya sedang tidak fokus atau, emphh?
"Ehem?"
"Why? why?"
Wirasti langsung mencebik, bisa jadi langsung salting! iya, salah tingkah. Ups, segitunya?
"Emang siapa yang menyapamu, nona?"
Refleks Wirasti mengedikkan bahu, sambil cengar cengir.
Pria muda keren beda prodi, dia anak Tehnik Sipil di kampus yang sama. Seingatnya Wirasti pernah amat terkesan, tetapi keburu diembat orang? nah lho!
Astaga? kedua pipinya pun langsung bereaksi seperti kepiting rebus? wah, pasti ada apa-apanya nih?
Bergegas setelah berbasa-basi, Wirasti dengan santun namun masih diliputi rasa gugup lekas memutuskan pergi.
Wirasti bukan tipe yang pinter dan luwes tiap kali menghadapi orang lain, watak introvertnya lebih dominan.
Hingga? tidak setiap ketemu orang kalau bukan karena telah akrab, jangan harap bisa mencair dalam tiap interaksi atau obrolan.
Contohnya apa yang baru terjadi, seseorang yang menyapanya tadi? akan mampu membuat Wirasti mati gaya, ups?
"Bukan saja membuat kedua pipimu langsung memerah seperti kepiting rebus," sindiran makjleb?
Apa pasal? seseorang tadi pernah nyangkut memenuhi kisi-kisi sekeping hatinya?
"Ah, nggak! sudah enggaklah!" buru-buru Wirasti menepisnya.
Di sudut pelataran parkir Wirasti menghidupkan mesin maticnya dengan amat tergesa-gesa, yeay seperti sedang dikejar setan!
Warna jingga yang mulai tergelincir redup itu menandakan surya nyaris tenggelam ke peraduan, Wirasti tidak mau menoleh lagi ke belakang.
Matic kesayangannya itu pun melaju gesit sesekali meliuk menghindari kemacetan.
Meski mengendarai roda duanya kadang harus berlari kencang, "Demi apa coba?" protes hati kecilnya, seakan tidak sayang dengan satu nyawa?
"Emang elo punya nyawa double apa? mengendarai motor kok seperti dikejar setan!"
Refleks Wirasti pun mengurangi kecepatan maticnya, apalagi jalanan masuk arah menuju wilayah tempat tinggalnya selain mulai sepi, ada beberapa tanjakkan dan menikung pasti akan menghambat laju maticnya.
Sayup suara adzan dari kejauhan. Rembang petang mulai turun, perjalanan menuju rumahnya masih sekitar lima belas menit lagi.
Lalu lalang kendaraan meski dua arah ketika masuk waktu temaram senja, sudah mulai berkurang. Bahkan kadang terlihat lengang, jam-jam sibuk telah lewat.
Beruntung Wirasti hanya mengikuti jadwal perkuliahan hingga batas sore, itu artinya tidak akan kemalaman di jalan karena jarak tempuh hampir dua puluh lima menit dari rumah sampai kampusnya.
****? owh, refleks Wirasti menurunkan kecepatan. Sempat terhenyak, ketika maticnya sampai di area tanjakkan pertama dan di situ jalanan menikung tajam pula.
Dalam temaram petang hari? sorot lampu maticnya menyala terang? tiba-tiba yang tertangkap penglihatannya sekelibat, seakan ada sesuatu sengaja memotong jalan?
Wirasti benar-benar shock, sekalipun telah menekan kedua rem tangan, suara remnya berdecit tajam tak urung roda maticnya dipaksa berhenti mendadak, nyaris membuatnya terjungkal!
Dalam kondisi hampir terjungkal tadi, Wirasti segera menepikan motornya di pinggiran jalan.
Diam, lalu ber-istighfar? bibirnya masih komat-kamit.
Sekelilingnya sungguh sepi, jauh dari pemukiman penduduk. Kiri kanan jalan hanya berupa kebun sepanjang jalanan menanjak dan menikung tajam.
Situasi sekitar sudah mulai gelap, perasaan was was itu pasti ada. Normal jika Wirasti sempat tercekam, apalagi dalam situasi yang tidak diinginkan menjumpai hal yang tidak terduga.
Seumur-umur belum pernah ketika tengah berkendarai tiba-tiba seakan ada yang ingin menghentikan?
"Mana nyaris terjungkal," dengusnya.
"Di tengah jalanan sepi?" gerutunya kemudian.
Sialnya lagi? entah, sekelibat itu tadi? Wirasti merasa agak shock setelah sadar bayangan entah? telah memotong jalan.
Beberapa saat kemudian Wirasti menghidupkan maticnya, sambil berusaha menguatkan nyali.
"Sial, nyaris dikerjain!" dengusnya tak senang. Sesaat sadar bahwa ada sesuatu yang membuatnya hampir terjungkal?
Ya, seakan ada yang menghadang dirinya pada tanjakan pertama dan ketika hampir sampai tikungan.
Tanpa ia sadari? sebetulnya ada sesuatu, energi lain yang powernya mungkin lebih kuat tanpa sepengetahuan Wirasti telah menguntitnya sedari dirinya berangkat dari rumah.
Ketika? hampir ada yang mencelakainya. Power yang lebih kuat tersebut memainkan peranannya, sumpah!
Siapa dia? Wirasti sendiri pun masih diliputi berbagai tanda tanya.
Tiba di rumah, selepas mahrib. Masuk perkampungan yang tidak kalah sepi dengan jalan poros desa, Wirasti memang harus mulai belajar menebalkan nyalinya.
Sejak sekeluarga pindah ke lokasi pemukiman baru, sekitarnya masih berupa kebun dan tanah kavling masih banyak yang kosong.
Mana penerangan lampu jalan sepanjang masuk area perkampungan tempat tinggalnya, minim. Bisa dibayangkan kegelapan melingkupi area tersebut?
"Umphh," dengus Wirasti hanya menajamkan mata elangnya fokus ke arah depan, kondisi jalan yang tidak rata membuat dirinya takut kehilangan keseimbangan berkendara!
Tiba di blok pertama, karena areal tempat tinggalnya terdiri dari tiga blok, sekalipun terlihat ada beberapa rumah di antara blok tadi? persis area tempat tinggalnya tidak satu pun bertetangga.
Entah, hingga kapan baru mempunyai tetangga? ya, setidaknya satu tanah kavling dibangun rumah dan segera memiliki satu tetangga baru?
"Semoga bukan sekadar mimpi," cebik Wirasti tiap kali menyadari bahwa hidup di suatu tempat minimalnya memiliki satu atau dua tetangga.
Ketika tiba di muka rumah, pintu gerbang pagar besi setinggi dada itu masih terkatup dan Wirasti turun dari maticnya.
Anehnya? pintu gerbang yang terlihat masih terkatup tersebut seakan membuka dengan sendirinya, "Siapa?" pikirnya, karena mencoba celingukan tidak ada siapapun.
Perasaan Wirasti langsung tidak enak!
Tanpa pikir panjang Wirasti kemudian buru-buru mendorong maticnya masuk halaman rumah, kali ini semakin was was.
"Assalamualaikum," sengaja Wirasti mengeraskan suaranya, setiba di pintu ruang tengah setelah maticnya dimasukkan di ruang paviliun.
Sahutan dari kamar utama, itu suara ibunya. "Walaikum salam, tumben jam segini baru masuk rumah?" tegur ibu, kelihatan sambil masih mengenakan mukena. Rupanya beliau baru selesai sholat mahrib.
"Iya, bu!" balas Wirasti.
"Ikutan jadwal baru, pulangnya tidak bisa lebih awal sekarang ... " imbuhnya, menjelaskan.
"Mulai hari ini dan seterusnya selama satu semester ini jadwalnya sudah efektif menggunakan jadwal baru semuanya,"
"Akan pulang agak kemalaman nantinya?"
"Ya, kayaknya sih begitu bu!"
"Hati-hati," berkata sang ibu, ada kesan mengkhawatirkan putrinya. Wirasti hanya mengangguk.
Wirasti pun langsung ngeloyor masuk ruang kamarnya setelah melepas sepatu canvas dan menyimpan jaket yang baru dikenakannya, semuanya bisa ia simpan di ruang paviliun sekalian menyimpan maticnya di sana.
Hingga beranjak malam, bahkan hari semakin larut? di ruang kamarnya itu Wirasti masih diliputi berbagai tanda tanya atas keanehan demi keanehan walau sifatnya masih skala kecil namun tidak urung telah membuatnya, agak shock?
"Sebelumnya aku tidak pernah mengalami seperti ini," ujar Wirasti tidak bisa menyembunyikan kecemasannya yang tiba-tiba mengandung alasan.
Intuisinya langsung mengarah pada satu keadaan, "Rumah villa dan spot yang ada di sini," gumamnya.
Memang tidak bisa dipungkiri, "Semuanya berawal dari di sini ... " ujar Wirasti tetapi tidak sedang meracau!
"Atau, ataukah? ya, sejak kepindahan kami ke rumah ini? semuanya kok seakan diawali di sini?"
"Kami toh tidak ngapain-ngapain? tetapi kenapa, tidakkah bisa hidup berdampingan secara ... " Wirasti seakan mulai enggan meneruskan kalimatnya, bahkan malah membungkan dirinya sedemikian rupa agar tidak nyerocos sekehendak hatinya.
Astaga, Wirasti pun baru keingatan? bahwa dirinya telah didatangi si penjaga teritori terutama areal rumah villanya tidak lain adalah spot mereka. Setahu Wirasti begitu!
"Oh, aa ... aa-pakah?" Wirasti tiba-tiba merasa gugup!
Terbayang kembali, perempuan tua itu?
Insting yang tertangkap olehnya bahwa nenek yang menyerupai mak lampir itu?
"Aku kok yakin kalau dirinya pure entitas, bukan seperti mereka seperti halnya qorin." tandas Wirasti, bukan sok tahu!
"Jika entitas bisa jadi umurnya rata-rata ratusan tahun," tunjuk Wirasti, semakin yakin perihal perempuan tua tersebut.
Larut malam itu? sambil Wirasti memulai aktivitas rutinnya di muka meja tulisnya sementara meja tulis setengah biro sudah dipenuhi laptop, sejumlah berkas dan sekian tumpuk kertas lainnya termasuk di satu sudut nampak printer siap on!
Wirasti nampaknya dibikin sibuk dengan bejibunnya tugas sekian mata kuliah, semuanya nampak berserak di atas meja tulisnya.
Eh, dari sudut lain? tahukah, sedari tadi tanpa sepengetahuan Wirasti nampak terus mengamat-amati kegiatan yang tengah dilakukan Wirasti?
Well, mana Wirasti tahu dan peduli?
Akibat terlalu ribet tengah berkutat dengan seabrek tugas kuliahnya. Sedikit pun tidak akan pernah terpikirkan, selain esok pagi semua tugas harus kelar malam ini.
Perempuan tua itu? tidak akan pernah pergi, apalagi jika hanya sekadar tergusur karena adanya keluarga Wirasti? sang penunggu, dedengkot, penjaga teritori, dia selamanya yang akan baurekso dan lokasi rumah hunian tersebut ya memang spot wingitnya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Y.J Park
Ketika Sesosok Stalker Namun Bukan Berupa Manusia. Damn, That's Killer
2023-08-18
1
Indwi Kusumodjati
seperti mak lampir, eh! perempuan tua itu? menguntit Wirasti? 😱
2023-06-03
1