Jae-hoo? yep, pria bermata sipit dia kelihatannya masih ingin mempertahankan kesipitannya ketika mungkin saat itu tengah menempuh prosedur oplas, atau bedah plastik yang sedang trend digandrungi anak muda millenial di daratan Korsel?
Lihat saja mereka publik figur, para pesohor dengan aksinya rame-rame mengubah bentukan orisinil menjadi perfection. Rata-rata sudah mewabah di kalangan K-drama maupun K-pop, masyarakat awam pun terbawa latah mengikuti gaya hidup mereka, cuaks!
Tidak terkecuali, Jae-hoo?
"Dia sih menjelma jadi si oppa tamvaan ... " cebik Wirasti, bukan cibir lho ya?
Yah, astaga? ketika pernah Wirasti iseng menanyakan perihal dirinya memutuskan oplas, "Kenapa? kenapa?"
"Penting ya buatmu?" ujar Jae-hoo nyaris menepis apa yang ia lontarkan sebagai pertanyaan eksklusif!
"Ii ... i- iya, emm? penting nggak penting sih!" sahut Wirasti, asal!
Ish? tentu saja nun di sana, di sebuah apartemen mewah mahfum latar dirinya berlabel keluarga berada, mana sebagai anak tunggal lagi, sudah gitu Jae-hoo tipikal pekerja keras tengah meniti karir di sebuah Bank di jantung kota sibuk Seoul, seketika meringis!
Jae-hoo sudah tidak kaget dengan kebiasaan plus kelakuan kawan pairingnya di kelas online studi bahasa Perancisnya, "Dasar, si bengal yang manis!" dengus Jae-hoo dengan senyum hingga mata sipitnya tinggal segaris tipis.
Karena sudah terlanjur saling akrab, mulut Wirasti memang tidak bisa dibekap! minimalnya minta dilakban, eh?
Wirasti pun harus sanggup menerima realitas, ck? suatu realitas bahwa kawan baiknya tersebut dianggapnya si muka plastik?
Hei, nona? untuk kesekian kalinya si mulut ceplas ceplos itu bukan hanya minta dilakban, tetapi wajib diselepet karet gelang tuh!
"Alasan utama, dengerin nih? mungkin akan sama dengan yang lainnya, kurang pede. Puas?"
Wirasti bukannya tercengang, malah langsung ngakak? dasar memang tidak tahu adat! karuan Jae-hoo mata sipitnya susah payah terbelalak. Obrolan via video call sering berlangsung seru.
Wirasti selama berkawan baik sebetulnya pure, berkawan sih!
"Nggak ada tuh embel-embel lain," kilahnya ingin segera mengalihkan pada point lain. Risih rasanya jika dirinya seolah dibombardir dengan satu asumsi nyeleneh terkait Jae-hoo.
"Sueer dah!" tegas Wirasti, tidak mau memberi obrolan atau ulasan lain yang terkesan ambigu!
Pertemanan baik pun berlangsung bebas hambatan, semulus jalan tol. Karena memang Wirasti juga tidak berminat yang aneh-aneh.
Tetapi, ketika? Jae-hoo mulai menunjukkan tanda-tanda yang membuat insting Wirasti bergerak, ada udang di balik batu? perasaan Wirasti jadi tidak enak sendiri. Masalahnya dirinya tidak pernah berpikir hal lain, selain satu bentuk pertemanan baik.
Sialnya, justru di saat?
"Jae-hoo sudah, almarhum?"
Shitt!
Wadidaw, bukan? kenapa terlambat disadari, why?
"Eh, nona? seandainya tidak terlambat, apakah semuanya akan sesuai ekspektasi?"
Deg! Wirasti seketika ke-distract. "Emphh, iya juga sih!" ringisnya. Sungguh Wirasti tidak mau membayangkan, jika semuanya tidak sebagaimana mestinya? apa yang akan dilakukan Jae-hoo?
Wirasti langsung bergidik?
"Emang mau jadi, emm ... Jaa-di eh, janda?"
"Sial dah!" seru Wirasti, walau tidak seberapa keras. Refleks kedua tangannya menangkup muka imutnya, kekehnya pun tertahan.
"Astaga, jadi janda ya?" setengah protes Wirasti mengatakan seperti itu tetapi kekehnya masih terdengar pelan.
Tidak bisa dibayangkan, seandainya saja memang klik dengan Jae-hoo kemudian menyeret dirinya berjodoh?
"Untungnya, tidak ... " lirih suara Wirasti mengatakan seperti itu, perasaannya tersendat. Jae-hoo meninggal karena covid, bagi Wirasti itu sesuatu yang menyedihkan. Rasa kehilangan meski hanya sebatas teman saja sudah membuatnya kalang kabut!
"Apalagi, jika?" batin Wirasti perih. Tentu saja akan fatal sekali kalau sampai dirinya seakan kehilangan kekasih?
"Hidupmu akan drama banget, nona!"
"Sedrama, K-drama!"
K-drama? dari baper-baper tidak jelas, Wirasti langsung merasa flip. Seakan sekejap ganti suasana, sedihnya raib? "K-drama," ulangnya, terkekeh pelan.
"Iya juga sih, akan ada K-drama beneran!" celetuknya, tidak bisa menahan diri untuk melontar komen pendek.
Jae-hoo? bukan tidak tahu Wirasti terbawa canda dan menyinggung eksistensinya, badan kasar atau raganya telah dikremasi dan abunya tersimpan di suatu tempat di sudut kota Seoul.
Namun? badan halusnya berkeliaran ke mana pun dirinya ingin pergi. Yah, bisa jadi masih tertahan? karena Jae-hoo secara religi tidak tercantum sebagai penganut apapun, hingga dirinya merasa terombang-ambing tanpa satu pun arah yang harusnya menjadikan pijakan utama.
Bebas berkeliaran itulah, dirinya terseret angin? hem, angin Joseon? seperti ketika dulu masih bareng dan bersamanya kompak mengerjakan salah satu tugas secara team.
Jae-hoo menunjuk dirinya karena kecintaannya terhadap sastra, dialah yang banyak berkontribusi tentang salah satu tugas mengupas perihal sastra klasik, Jae-hoo langsung memberi usulan topik sastra klasik negerinya!
Tugas pairing tersebut ber-ending gemilang, ide brilliant Jae-hoo mendapat point tinggi sekalipun di balik layar keduanya harus kerja keras.
Terutama, Jae-hoo!
"Kalau aku sih hanya punya kesibukan utama kuliah, sedangkan dia? katanya tiba di apartemen sepulang kantor!" kenang Wirasti, terselip kesedihan.
Betapa Jae-hoo begitu sungguh-sungguh, kelihatan sangat antusias tiap kali ada tugas pairing dengannya.
Nah, lho? di kemudian hari baru ia sadari, itupun setelah Jae-hoo pergi. Motivasi terbesar seorang Jae-hoo melakukan semua itu, karena antiuasiasme-nya terpicu karena, mulai ada sinyal ketertarikannya pada gadis berparas imut dari belahan negeri tropis!
"Kaulah yang dituju, nona!"
"Jae-hoo mulai menyukaimu seiring dengan waktu mendekati hari kematiannya ... "
"What?" raung Wirasti, hampir menangis. Pikirnya kenapa waktu tidak bisa diputar kembali?
"Setidaknya, yah ... aa-ku? Bisa mengimbangi dirinya walau sedikit-sedikit ... " sesalnya.
"Semuanya terlambat, nona!"
"Yah, aku tahu ... " rintih Wirasti, kesedihan yang ia tumpahkan saat itu ketika dirinya mencermati berita duka di grup studinya via whatsApp.
Kini? semuanya sudah terjadi. Jae-hoo sudah tentu tidak akan pernah kembali. Tugas pairing bersamanya sudah terhenti samasekali, Wirasti pun sudah berganti patner kerja team dengan teman yang lain.
"Yah, emang ... tidak seseru ketika bersama Jae!" keluhnya, perasaannya hambar!
Jae-hoo, nama itu sering tiba-tiba menyeruak! perasaan yang terlambat disadari? sebelum Jae-hoo seperti saat ini? ketika Wirasti memintanya agar tidak jauh-jauh darinya, dan dia sangat menepati.
"Jae tinggal di rumah yang sama tetapi itu visual dimensi lain. Yah, sebut saja dimensi parallel, karena tempat atau lokasi yang sama vibes yang beda ... " ujar Wirasti dengan nada memelas.
"Aku tahu, setiap saat kamu dekat sekali denganku, Jae?"
Bahkan, pernah? ketika hari sudah larut di luar gerimis turun. Tahu, bukan? lingkup tempat tinggal Wirasti seperti apa? selarut itu sudah sunyi sepi, mana tetangga saling berjauhan lokasinya.
Dalam jarak pandang? yep, perlunya mengikis jarak larut malam itu, Wirasti melihat Jae berlari-lari kecil dari arah luar areal komplek pemukimannya.
Pikir Wirasti, tidak mungkin dirinya selalu mengingatkan apalagi melarangnya keluyuran di waktu malam.
"Bukankah dia sudah bukan manusia lagi?" ujar Wirasti menepis segala kekhawatirannya.
"Tempat tinggalmu sungguh nyaman," begitu katanya.
"Tidak seperti di Seoul!"
Hahh? tentu saja Wirasti langsung terbahak! mungkin Jae-hoo tengah membandingkan sebuah tempat tinggal dikelilingi kebun luas, gelap, dan hanya simphoni alam terdengar bagi telinga pemuja ketenangan?
Suara, krik! krik! krik!
Lalu, sebagai pembanding sebuah kota sibuk? modern? lampu terang benderang di sana sini, dipenuhi gedung bertingkat termasuk apartemennya yang modern di pusat pinggiran kota?
"Kau tidak sedang ingin kembali ke sana?" pertanyaan Wirasti, menujam.
Dalam penglihatan mata batinnya, Jae-hoo segera membuang muka seolah tengah mengalihkan perhatian. Wirasti bisa merasakan pedihnya derita yang dialami sahabatnya itu.
Dia masih membisu, sampai ketika Wirasti mengatakan sesuatu? "Tetaplah di sini, Jae. Kalau dirimu merasa nyaman ..."
Tetapi suatu hari? Wirasti merasa Jae-hoo tidak berada di rumah parallelnya. Kalau itu Wirasti tahu, karena Jae pernah secara langsung mengatakan padanya? "Aku bisa ke sana kemari, kalau aku sedang jenuh di sini berarti aku sedang pergi ... "
Oh-ho? berarti, Jae?
Wirasti merasakan itu seakan telah berhari-hari? yah, entah Jae-hoo telah pergi ke mana? pulang ke Seoul? atau, ke mana?
Wirasti merasa berhari-hari tersebut sangat kehilangan dirinya, "Seakan sebuah karma?" desisnya, karena selama ini kadang dirinya jutek padanya. Apalagi kalau dirinya mulai dihimpit berbagai kesibukan kuliah dan tugas menumpuk, Wirasti tahu kadang terlihat Jae-hoo mengamati dirinya dari kejauhan seolah tidak mau menganggunya.
Siang itu? Wirasti melangkahkan kakinya menuju arah jendela, siang terik? ternyata berhari-hari telah lama berlalu. Baik penglihatan batinnya maupun akses telepatinya seakan blank, seakan semua sinyal telah off!
"Jae, di mana kamu?" Wirasti kadang merasa panik sendiri, tidak ia temukan dan sulit terlacak.
Sudah sekian lama berlalu, tentang Jae-hoo begitu timbul tenggelam? "Ke mana pergimu?" bisiknya sedih, suara Wirasti tertahan.
Pandangan sepasang mata bulatnya mengembun. Ada titik menghangat nyaris jatuh? setetes airmata merembes di kedua pipinya secara bersamaan menganak sungai.
Wirasti mengusap perlahan dengan ujung telunjuknya, dadanya naik turun isaknya terlalu pelan hampir tidak terdengar namun serasa menyakitkan memenuhi rongga dada.
"Betapa waktu membawamu pergi sekadar aromamu dari sisi dunia ini?" Wirasti seakan meracau dari balik jendela kamarnya, tirai vitrase bernuansa lembut tersebut tersibak perlahan dihembus angin siang yang cukup terik.
Perasaan kehilangan itu kian nyata, Wirasti hanya menatap kejauhan dengan menerawang sedih. Bukan hanya sedih ketika sadar Jae-hoo hanyalah visual dari badan halusnya setelah kematiannya, tetapi rasanya tidak siap tatkala Jae-hoo berniat benar-benar menjauh dan tidak kembali?
"Ke mana angin Joseon itu pergi?" masih meracau tanpa sadar, seolah ingin memberi padanan kata sosok Jae-hoo tak ubahnya seperti desau angin? kadang hembusannya menghentak lembut, tetapi ia tidak peduli ketika bertiup kencang.
Ya? ke mana angin Joseon itu? perasaan melo Wirasti seakan luruh terbawa hembusan angin siang itu? rasanya tidak akan pernah rela ketika Jae-hoo si angin Joseon itu pergi terlalu lama, akankah dia kembali?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Y.J Park
Just like the wind
He's scattered and blows
Pieces of you
Gone.
2023-08-24
1
Indwi Kusumodjati
Jae-hoo sang angin Joseon 💞
2023-07-11
2