Madu Untuk Amira
"Abi mau nikah lagi Mi. Apa Umi ngizinin Abi nikah lagi?"
"Apa! menikah lagi?" bola mataku membulat sempurna saat suamiku meminta izin untuk menikah lagi.
Bak tersambar petir di siang bolong. Aku terkejut saat tiba-tiba saja suamiku mengatakan kalau dia mau menikah lagi.
Mas Farhan menatapku lekat dan tersenyum.
"Itu sih, kalau Umi ngizinin. Kalau Umi nggak ngizinin, Abi juga nggak akan maksa," lanjut Mas Farhan.
"Abi nggak serius kan sama ucapan Abi? Umi yakin, kalau Abi cuma bercanda." Aku masih tidak percaya dengan ucapan Mas Farhan.
"Abi serius Mi. Abi memang punya niatan untuk punya dua istri. Jika Abi menikah lagi, Abi janji Abi akan adil dengan ke dua istri Abi nanti."
Selama ini aku menganggap suamiku adalah lelaki yang sangat baik. Lelaki yang jujur dan setia. Tapi aku tidak menyangka dengan apa yang sudah dia ucapkan.
Aku fikir, Mas Farhan cuma main-main saja dengan ucapannya. Namun yang kulihat dari raut wajahnya, dia sepertinya memang serius dengan ucapannya.
Aku yang sejak tadi masih menyusui anakku, hanya bisa menahan sakit di dada. Jika Mas Farhan sudah mengatakan ucapan itu, itu artinya hatinya sudah terbagi untuk wanita lain.
Lalu, siapa wanita yang sudah membuat suamiku jatuh cinta?
"Siapa wanita yang akan kamu nikahi Bi?" tanyaku menatap Mas Farhan lekat.
Mas Farhan diam. Dia tidak menjawab langsung pertanyaan dariku. Dia justru bangkit dari duduknya dan menatapku.
"Mi. Udah adzan. Abi mau ke mesjid dulu ya. Apa Umi mau ikut ke mesjid? mumpung Fauzan tidur," ucap Mas Farhan sebelum pergi.
"Kalau Umi ke mesjid, lalu siapa yang mau jagain Fauzan Bi?"
"Ya kamu titipkan Fauzan ke Laila."
"Aku nggak tega nitipin Fauzan ke Laila. Mendingan, kamu ajak saja Laila ke mesjid dan Umi tunggu di rumah."
"Abi udah ajak Laila tadi Mi. Tapi dia nggak mau."
"Ya udah kalau gitu, Abi sendiri aja yang ke mesjid. Umi mau sholat di rumah aja."
"Ya udah. Abi berangkat dulu ya Mi. Assalamualaikum."
"Wa'alakiumsalam."
Mas Farhan berlalu pergi meninggalkan rumah untuk sholat jamaah di mesjid.
Seperti rutinitasnya setiap hari. Dia selalu menjadi imam di mesjid dekat rumah kami. Karena kebetulan rumah kami juga dekat dengan Mesjid.
Sudah lima belas tahun aku menikah dengan Mas Farhan. Kami menikah karena perjodohan ke dua orang tua. Dan selama itu, kami sudah dikaruniai dua orang anak, Laila dan Fauzan.
"Laila..." seruku memanggil Laila anak sulung ku.
Laila yang dipanggil, segera keluar dari kamar dan mendekat ke arahku.
"Iya Umi. Ada apa?" gadis remaja cantik 12 tahunan itu sudah berdiri di depanku.
"Bisa tolong Umi Nak." Aku menatap lekat Laila.
"Tolong apa Umi?"
"Fauzan tidur. Umi mau letakan dia di boks bayi. Tolong kamu beresin boks bayinya ya Nak."
Laila mengangguk. "Iya Umi."
Tanpa banyak bicara, Laila pergi ke kamarku untuk membereskan boks bayinya Fauzan. Sementara aku menunggunya di ruang tengah.
"Umi. Semuanya sudah beres." Dengan sekejap anak remajaku sudah berdiri di depanku dengan mengulas senyum.
"Makasih ya Laila."
"Iya Umi."
Aku bangkit berdiri sembari menggendong tubuh kecil Fauzan.
Aku masuk ke dalam kamar. Aku langsung meletakkan tubuh kecil Fauzan ke boks bayi. Aku tersenyum saat melihat anak bungsu ku sudah terlelap. Aku kemudian berjalan dan duduk di sisi ranjang.
Tes.
Setetes air mataku terjatuh dari pelupuk mataku. Sebenarnya hatiku menangis saat mendengar ucapan Mas Farhan tadi.
Namun aku tak ingin menangis apalagi di depan Laila. Aku tidak mau berbagi kesedihan dengan orang lain. Apalagi dengan anakku sendiri.
Aku buru-buru menyeka air mataku.
"Umi, Umi nangis?" tanya Laila menatapku lekat.
Aku tersenyum dan balik menatap Laila.
"Laila, Umi nggak apa-apa. Laila belum makan kan? nanti kita makan malam ya, setelah Abi pulang dari mesjid."
Laila tersenyum.
"Iya Umi."
Aku bangkit berdiri. Setelah itu aku mendekat ke arah Laila yang masih berdiri di dekat pintu kamar.
"Fauzan sudah tidur. Jangan ganggu dia. Ayo kita keluar saja Laila!" Aku mengajak Laila keluar.
"Umi mau sholat dulu ya La. Titip Fauzan barang kali nanti dia nangis."
"Iya Umi."
Aku pergi ke belakang untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat maghrib.
****
Aku dan Laila saat ini sudah berada di ruang makan. Makanan di meja makan sudah aku siapkan untuk Mas Farhan dan Laila.
"Laila, ke mana Abi kamu? Kenapa dia belum pulang. Lama sekali dia ke mesjid. Sudah jam delapan lebih ini Laila," ucapku yang masih resah menunggu Mas Farhan.
"Umi. Mungkin Abi lagi mengajar ngaji di mesjid," ucap Laila.
"Laila, ini kan malam Jum'at. Nggak ada santri yang ngaji. Dan Abi kamu kan ngajar ngaji nggak sampai malam begini, ini udah malam Laila."
"Mungkin di mesjid Abi lagi ada urusan Umi sama teman-teman Abi."
"Ya udahlah, kita makan dulu saja Laila. Nungguin Abi kamu juga kelamaan. Keburu kita kelaparan.
"Iya Umi. "
Setelah hampir satu jam aku dan Laila menunggu Mas Farhan di ruang makan, akhirnya kami memutuskan untuk makan tanpa Mas Farhan.
"Mi, masakan Umi enak. Besok masak kayak gini lagi ya Mi," ucap Laila. Dia kemudian kembali melahap ayam rica-rica buatanku.
Aku tersenyum.
"Mi, pokoknya Umi itu ibu paling the best. Ibu yang paling sempurna untuk Laila," puji Laila.
Aku tersenyum.
'Aku ibu yang sempurna untuk Laila. Namun aku bukan istri yang sempurna untuk suamiku. Karena Mas Farhan ingin nikah lagi, itu artinya dia sudah bosan denganku.' batinku.
Sejak suamiku mengatakan hal itu aku selalu berfikir, mungkinkah selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untuknya. Sehingga dia memilih untuk berpaling pada wanita lain.
Selesai makan, aku menyuruh Laila masuk ke dalam kamarnya.
"Laila. Besok kamu harus sekolah. Kamu harus bangun pagi. Sekarang, kamu ke kamar dan tidur. Jangan banyak begadang Nak."
Laila menatapku dan tersenyum.
"Iya Mi."
Laila kemudian berjalan untuk pergi ke kamarnya. Sementara aku masih setia duduk di ruang makan. Aku menatap semua makanan yang ada di atas meja.
"Abi mau makan apa nggak sih. Udah malam kenapa dia nggak pulang-pulang. Apa aku bereskan saja ya makanan ini," ucapku.
Aku kemudian berdiri dan mengambil satu persatu piring-piring kotor yang ada di atas meja makan. Aku bawa semua piring-piring itu ke dapur.
Aku simpan nasi dan lauk pauk yang tersisa. Setelah itu aku pun mulai mencuci piring-piring yang kotor itu.
"Assalamualaikum." Suara salam dari luar rumah terdengar.
Aku tersenyum saat mendengar suara suamiku.
"Akhirnya Abi pulang juga," ucapku.
Beberapa saat kemudian, Mas Farhan sudah berada di belakangku dan mendekatiku.
"Mi. Abi udah makan Mi tadi. Abi mau langsung ke kamar aja ya Mi. Maaf Mi, Abi nggak bisa bantuin Umi."
Aku menatap suamiku lekat.
"Abi nggak usah bantu apa-apa. Umi bisa kerjakan pekerjaan Umi sendiri."
"Ya udah. Abi ke kamar duluan ya Mi."
"Iya."
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
aku mampir
2023-07-09
0