Setelah aku menyelesaikan semua pekerjaanku, membereskan meja makan dan mencuci piring, aku kemudian pergi meninggalkan dapur dan melangkah untuk ke kamarku.
Sesampainya di depan kamar, samar-samar aku mendengar suara Mas Farhan yang sedang bertelponan dengan seseorang, yang sepertinya itu adalah Zia.
"Aku lagi ada di rumah ibu aku Zi. Besok aku kenalkan kamu sama ibu aku ya..."
Setetes air mataku mengalir begitu saja dari pelupuk mataku dan membasahi pipiku. Bagaimana rasanya hatiku nanti jika suamiku sudah menikahi Zia. Mendengar suamiku bertelponan saja dengan Zia, hatiku sudah sakit.
Aku tidak mau terlalu banyak mendengar pembicaraan Mas Farhan dengan gadis itu. Aku urungkan niatku untuk ke kamar. Aku kemudian berjalan pergi meninggalkan kamarku.
Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa ruang tengah.
Hiks...hiks...hiks...
"Kenapa, tega sekali Mas Farhan. Kenapa dia mau nikah lagi dengan wanita lain. Apa selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untuk dia," ucapku di sela-sela tangisanku.
Tok tok tok...
Suara ketukan pintu sudah terdengar dari depan rumah ibu. Aku mengusap air mataku dan menatap ke ruang tamu.
"Siapa yang malam-malam begini bertamu ya," ucapku.
"Assalamualaikum. Bu... Ibu..." suara Mas Galih sudah terdengar dari luar rumah.
"Itu seperti Mas Galih."
Aku bangkit berdiri. Setelah itu aku menuju ke ruang tamu untuk membuka pintu.
"Wa'alakiumsalam," ucapku sembari membuka pintu depan.
Mas Galih sudah berdiri di depan pintu. Dia menatapku lekat dan tersenyum padaku.
"Amira, kamu ada di sini? kapan kamu datang?" tanya Mas Galih.
"Tadi sore Mas," jawabku singkat.
"Sama Farhan juga?"
Aku mengangguk. "Iya Mas."
Mas Galih masuk ke dalam rumah. Sementara aku mengunci pintu rumah kembali. Aku mengikuti Mas Galih dibelakangnya.
Mas Galih menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tengah.
"Kemana semua orang? kok masih jam segini udah sepi? Mereka udah pada tidur ya?" tanya Mas Galih sembari menatap ke sekeliling.
"Tadi ibu sudah masuk kamar Mas," jawabku.
"Suamimu juga sudah masuk kamar?"
"Iya Mas."
Aku ikut menghempaskan tubuhku di atas sofa. Dan aku duduk di dekat Mas Galih duduk.
Aku memang tidak begitu mengenal Mas Galih. Karena semenjak aku menikah dengan Mas Farhan, Mas Galih tinggal di Jakarta bersama istrinya.
Kami jarang bertemu, karena Mas Galih juga jarang pulang kampung. Mungkin waktu lebaran saja dia mudik mengajak anak dan istrinya.
Sekarang Mas Galih tinggal kembali bersama ibu, setelah perceraiannya dengan istrinya beberapa bulan yang lalu.
"Lama kamu baru main ke sini lagi Mir?" ucap Mas Galih.
"Iya Mas. Anak aku kan masih lima bulan, kasihan dia kalau di ajak motor-motoran terus. Takut nanti masuk angin. Makanya aku jarang main ke sini."
"Kamu mau nginap di sini?"
"Iya Mas."
Aku tidak mau berlama-lama ngobrol dengan Mas Galih. Karena waktu saat ini juga sudah malam. Aku kemudian bangkit dari dudukku dan menatap Mas Galih.
"Oh iya Mas. Aku ke kamar dulu ya Mas. Aku mau lihat anak aku."
Mas Galih mengangguk. Setelah itu aku pun pergi meninggalkan Mas Galih untuk kembali ke kamarku.
Aku membuka pintu kamarku. Kulihat Mas Farhan sudah terlelap dengan memeluk ponselnya. Sebegitu sayangnya dia dengan ponselnya, sampai-sampai dia tidur dengan ponsel ada dalam pelukannya.
Aku mendekat ke arah suamiku. Aku ambil ponsel itu dan aku letakan di atas nakas.
Aku menatap ponsel itu lekat. Aku sebenarnya penasaran dan ingin melihat apa saja chat yang ada di dalam ponsel itu.
Aku kemudian mengambil ponsel itu kembali.
"Nggak. Ini privasi suamiku. Aku nggak boleh buka-buka hapenya Mas Farhan," ucapku.
Aku kembalikan ponsel itu di atas nakas. Setelah itu aku naik ke atas ranjang dan berbaring di sisi Mas Farhan.
Aku menatap wajah Mas Farhan. Bayangan masa lalu yang indah, selalu terbayang dalam ingatanku.
Aku masih ingat, bagaimana pertemuan pertama aku dulu dengan suamiku. Aku masih ingat bagaimana dulu aku ta'arufan dengannya. Dan kami saling jatuh cinta setelah kami menikah.
Mas Farhan adalah cinta pertamaku. Begitu juga denganku, aku juga cinta pertamanya Mas Farhan.
Kami sama-sama lulusan dari pesantren. Kami tidak pernah pacaran seperti anak muda yang lain. Sampai pada akhirnya, ke dua orang tua kami menjodohkan kami berdua dan mereka menikahkan kami. Pertemuan singkat yang membawa kami dalam ikatan kuat pernikahan.
Aku fikir, aku dan Mas Farhan adalah cinta sejati. Aku fikir, pernikahan aku dengannya akan baik-baik saja dan kami akan hidup bahagia dengan cinta kami sampai kami menua.
Tapi pada kenyataannya, tidak seindah apa yang aku bayangkan selama ini. Sejak gadis yang bernama Zia itu datang di kehidupan suamiku, dia sudah mengambil cinta suamiku. Dan sebentar lagi, dia akan mengambil raganya.
Aku mencoba untuk memejamkan mataku. Aku tidak mau memikirkan apapun untuk saat ini. Aku hanya ingin semua ini menjadi mimpi buruk untukku saja.
Semoga Allah, menjauhkan Mas Farhan dari gadis itu. Karena cuma Allah Tuhan yang maha membolak-balikkan hati manusia.
****
Mentari di pagi ini sudah bersinar sempurna. Setelah membantu ibu di dapur, aku kembali ke kamarku. Aku melihat Fauzan masih terlelap.
Semalam dia bangun dan hanya menyusu satu kali saja. Sepertinya Fauzan kelelahan, karena sudah aku ajak ke rumah neneknya. Jarak aku dan rumah ibu mertuaku memang cukup jauh. Dua puluh menit perjalanan jika ditempuh pakai motor.
Aku berjalan mendekati jendela kamarku. Aku buka jendela kamarku agar sinar matahari bisa masuk ke dalam kamar. Kulihat Mas Galih dan suamiku sedang ngobrol-ngobrol di depan rumah.
Pandangan Mas Farhan jatuh tepat ke arahku. Dari luar dia tersenyum dan mendekati jendela kamarku.
"Amira, kamu nggak lagi sibuk kan? bisa buatkan aku dan Mas Galih kopi?" tanya suamiku dari luar jendela.
"Iya Bi."
Aku kemudian melangkah pergi meninggalkan kamarku. Aku berjalan ke arah dapur untuk menyeduh kopi.
Sesampainya di dapur, aku melihat ibu sudah berada di dapur.
"Ibu, ibu lagi ngapain di sini?" tanyaku.
Ibu menoleh ke arahku.
"Ini, ibu mau buat bubur kacang. Enak lho Mir, pagi-pagi gini makan bubur kacang."
"Tapi kan kita sudah kenyang Bu. Tadi sudah sarapan."
"Ya nggak apa-apa. Kan bisa untuk nanti atau untuk Fauzan. Kamu nggak mau pulang dulu kan?"
Aku menggeleng.
"Mas Farhan belum ngajak aku pulang Bu. Sepertinya dia masih betah di sini."
"Iya. Biarkan saja dia. Kamu mau ngapain ke sini?"
"Aku mau buatin kopi untuk Mas Farhan dan Mas Galih."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments