NovelToon NovelToon

Madu Untuk Amira

POV Amira

"Abi mau nikah lagi Mi. Apa Umi ngizinin Abi nikah lagi?"

"Apa! menikah lagi?" bola mataku membulat sempurna saat suamiku meminta izin untuk menikah lagi.

Bak tersambar petir di siang bolong. Aku terkejut saat tiba-tiba saja suamiku mengatakan kalau dia mau menikah lagi. 

Mas Farhan menatapku lekat dan tersenyum.

"Itu sih, kalau Umi ngizinin. Kalau Umi nggak ngizinin, Abi juga nggak akan maksa," lanjut Mas Farhan.

"Abi nggak serius kan sama ucapan Abi? Umi yakin, kalau Abi cuma bercanda." Aku masih tidak percaya dengan ucapan Mas Farhan.

"Abi serius Mi. Abi memang punya niatan untuk punya dua istri. Jika Abi menikah lagi, Abi janji Abi akan adil dengan ke dua istri Abi nanti."

Selama ini aku menganggap suamiku adalah lelaki yang sangat baik. Lelaki yang jujur dan setia. Tapi aku tidak menyangka dengan apa yang sudah dia ucapkan.

Aku fikir, Mas Farhan cuma main-main saja dengan ucapannya. Namun yang kulihat dari raut wajahnya, dia sepertinya memang serius dengan ucapannya.

Aku yang sejak tadi masih menyusui anakku, hanya bisa menahan sakit di dada. Jika Mas Farhan sudah mengatakan ucapan itu, itu artinya hatinya sudah terbagi untuk wanita lain. 

Lalu, siapa wanita yang sudah membuat suamiku jatuh cinta?

"Siapa wanita yang akan kamu nikahi Bi?" tanyaku menatap Mas Farhan lekat. 

Mas Farhan diam. Dia tidak menjawab langsung pertanyaan dariku. Dia justru  bangkit dari duduknya dan menatapku. 

"Mi. Udah adzan. Abi mau ke mesjid dulu ya. Apa Umi mau ikut ke mesjid? mumpung Fauzan tidur," ucap Mas Farhan sebelum pergi.

"Kalau Umi ke mesjid, lalu siapa yang mau jagain Fauzan Bi?"

"Ya kamu titipkan Fauzan ke Laila."

"Aku nggak tega nitipin Fauzan ke Laila. Mendingan, kamu ajak saja Laila ke mesjid dan Umi tunggu di rumah."

"Abi udah ajak Laila tadi Mi. Tapi dia nggak mau."

"Ya udah kalau gitu, Abi sendiri aja yang ke mesjid. Umi mau sholat di rumah aja."

"Ya udah. Abi berangkat dulu ya Mi. Assalamualaikum."

"Wa'alakiumsalam." 

Mas Farhan berlalu pergi meninggalkan rumah untuk sholat jamaah di mesjid. 

Seperti rutinitasnya setiap hari. Dia selalu menjadi imam di mesjid dekat rumah kami.  Karena kebetulan rumah kami juga dekat dengan Mesjid.

Sudah lima belas tahun aku menikah dengan Mas Farhan. Kami menikah karena perjodohan ke dua orang tua. Dan selama itu, kami sudah dikaruniai dua orang anak, Laila dan Fauzan. 

"Laila..." seruku memanggil Laila anak sulung ku.

Laila yang dipanggil, segera keluar dari kamar dan mendekat ke arahku. 

"Iya Umi. Ada apa?" gadis remaja cantik 12 tahunan itu sudah berdiri di depanku.

"Bisa tolong Umi Nak." Aku menatap lekat Laila.

"Tolong apa Umi?" 

"Fauzan tidur. Umi mau letakan dia di boks bayi. Tolong kamu beresin boks bayinya ya Nak."

Laila mengangguk. "Iya Umi." 

Tanpa banyak bicara, Laila  pergi  ke kamarku untuk membereskan boks bayinya Fauzan. Sementara aku menunggunya di ruang tengah. 

"Umi. Semuanya sudah beres." Dengan sekejap anak remajaku sudah berdiri di depanku dengan mengulas senyum.  

"Makasih ya Laila."

"Iya Umi."

Aku bangkit berdiri sembari menggendong tubuh kecil Fauzan. 

Aku masuk ke dalam kamar.  Aku langsung  meletakkan tubuh kecil Fauzan ke boks bayi. Aku tersenyum saat melihat anak bungsu ku sudah terlelap. Aku kemudian berjalan dan  duduk di sisi ranjang. 

Tes. 

Setetes air mataku terjatuh dari pelupuk mataku. Sebenarnya hatiku menangis saat mendengar ucapan Mas Farhan tadi. 

Namun aku tak ingin menangis apalagi di depan Laila. Aku tidak mau berbagi kesedihan dengan orang lain. Apalagi dengan anakku sendiri.

Aku buru-buru menyeka air mataku.  

"Umi, Umi nangis?" tanya Laila menatapku lekat. 

Aku tersenyum dan balik menatap Laila. 

"Laila, Umi nggak apa-apa. Laila belum makan kan? nanti kita makan malam ya, setelah Abi pulang dari mesjid."

Laila tersenyum. 

"Iya Umi."

Aku bangkit berdiri. Setelah itu aku mendekat ke arah Laila yang masih berdiri di dekat pintu kamar.

"Fauzan sudah tidur. Jangan ganggu dia. Ayo kita keluar saja Laila!" Aku mengajak Laila keluar. 

"Umi mau sholat dulu ya La. Titip Fauzan barang kali nanti dia nangis."

"Iya Umi."

Aku pergi ke belakang untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat maghrib.

****

Aku dan Laila saat ini  sudah berada di ruang makan. Makanan di meja makan sudah aku siapkan untuk Mas Farhan dan Laila.

"Laila, ke mana Abi kamu? Kenapa dia belum pulang. Lama sekali dia ke mesjid. Sudah jam delapan lebih ini Laila," ucapku yang masih resah menunggu Mas Farhan. 

"Umi. Mungkin Abi lagi  mengajar ngaji di mesjid," ucap Laila.

"Laila, ini kan malam Jum'at. Nggak ada santri yang ngaji. Dan Abi kamu kan ngajar ngaji nggak sampai malam begini, ini udah malam Laila."

"Mungkin di mesjid Abi lagi ada urusan Umi sama teman-teman Abi."

"Ya udahlah, kita makan dulu saja Laila. Nungguin Abi kamu juga kelamaan. Keburu kita kelaparan. 

"Iya Umi. "

Setelah hampir satu jam aku dan Laila menunggu Mas Farhan di ruang makan, akhirnya kami memutuskan untuk makan tanpa Mas Farhan. 

"Mi, masakan Umi enak. Besok masak kayak gini lagi ya Mi," ucap Laila. Dia kemudian kembali melahap ayam rica-rica buatanku. 

Aku tersenyum. 

"Mi, pokoknya Umi itu ibu paling the best. Ibu yang paling sempurna untuk Laila," puji Laila. 

Aku tersenyum. 

'Aku ibu yang sempurna untuk Laila. Namun aku bukan istri yang sempurna untuk suamiku. Karena Mas Farhan ingin nikah lagi, itu artinya dia sudah bosan denganku.' batinku. 

Sejak suamiku mengatakan hal itu aku selalu berfikir, mungkinkah selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untuknya. Sehingga dia memilih untuk berpaling pada wanita lain.

Selesai makan, aku menyuruh Laila masuk ke dalam kamarnya. 

"Laila. Besok kamu harus sekolah. Kamu harus bangun pagi. Sekarang, kamu ke kamar dan tidur. Jangan banyak begadang Nak."

Laila menatapku dan tersenyum. 

"Iya Mi." 

Laila kemudian berjalan untuk pergi ke kamarnya. Sementara aku masih setia duduk di ruang makan. Aku menatap semua makanan yang ada di atas meja. 

"Abi mau makan apa nggak sih. Udah malam kenapa dia nggak pulang-pulang.  Apa aku bereskan saja ya makanan ini," ucapku. 

Aku kemudian berdiri dan mengambil satu persatu piring-piring kotor yang ada di atas meja makan. Aku bawa semua piring-piring itu ke dapur. 

Aku simpan nasi dan lauk pauk yang tersisa. Setelah itu aku pun mulai mencuci piring-piring yang kotor itu. 

"Assalamualaikum." Suara salam dari luar rumah terdengar. 

Aku tersenyum saat mendengar suara suamiku. 

"Akhirnya Abi pulang juga," ucapku. 

Beberapa saat kemudian, Mas Farhan sudah berada di belakangku dan mendekatiku. 

"Mi. Abi udah makan Mi tadi. Abi mau langsung ke kamar aja ya Mi. Maaf Mi, Abi nggak bisa bantuin Umi." 

Aku menatap suamiku lekat. 

"Abi nggak usah bantu apa-apa. Umi bisa kerjakan pekerjaan Umi sendiri."

"Ya udah. Abi ke kamar duluan ya Mi."

"Iya."

****

Kejujuran

Sore ini mentari masih bersinar terang. Aku berjalan ke teras sembari membawakan susu hangat pesanan Mas Farhan.

"Ini Bi susunya," ucapku sembari meletakan segelas susu hangat di meja kecil depan Mas Farhan duduk.

Aku menghempaskan tubuhku di sisi Mas Farhan. Dari kemarin Mas Farhan kelihatan murung. Tidak seperti hari-hari biasanya.

Biasanya dia banyak bicara dan dia sering bercanda dengan aku dan Laila.

"Kamu nggak ke mesjid Bi?" Aku menatap wajah tampan Mas Farhan. Lelaki yang sudah lima belas tahun aku nikahi.

"Aku lagi malas ke mesjid." Mas Farhan menatapku sejenak sebelum pandangannya beralih kembali ke depan.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Nggak apa-apa. Aku cuma lagi sedikit nggak enak badan."

"Ya udah kalau gitu. Di minum dong susunya. mumpung masih anget-anget."

"Iya. Makasih ya Mi."

Mas Farhan mengambil secangkir susu hangat itu dan menyeruputnya. Setelah itu dia meletakan kembali gelas itu di atas meja.

"Kamu lagi sakit ya Bi? Kalau sakit, kamu minum obat Bi. Aku ambilin obat ya di dalam."

"Nggak usah Mi. Abi nggak apa-apa kok."

"Bi, sebenarnya kamu kenapa sih? sejak kemarin aku perhatikan kamu itu selalu murung. Apa yang sebenarnya sedang kamu fikirkan? apa kamu lagi kefikiran ingin nikah lagi?" tanya ku yang membuat Mas Farhan sedikit terkejut.

Mas Farhan menghela nafas dalam. Dia kemudian menatapku.

"Kamu bicara apa Amira. Siapa yang lagi mikirin nikah lagi. Nikah lagi kalau kamunya setuju. Kamunya aja nggak setuju. Ya udah, Abi nggak akan maksa. Poligami itu harus atas persetujuan istri pertama. Nggak bisa sembarangan Mi."

"Dari mana kamu tahu Bi, kalau Umi nggak setuju Abi nikah lagi. Apa Umi sudah bilang kayak gitu kemarin? Abi saja belum mengatakan siapa wanita yang ingin Abi nikahi itu."

Mas Farhan diam. Sepertinya dia juga memang berat untuk mengatakan padaku tentang siapa wanita yang ingin dia nikahi.

Aku yang masih dilanda rasa penasaran yang besar, ingin suamiku mengatakan kejujuran itu. Siapa sebenarnya wanita yang sedang dekat dengannya saat ini.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku kemarin. Siapa wanita yang ingin kamu nikahi itu Bi?" tanyaku sekali lagi. Berharap Mas Farhan mau mengatakan siapa wanita itu.

Dari kemarin aku memang masih penasaran. Sebelum Mas Farhan mengatakan tentang siapa wanita itu, hatiku tidak akan bisa tenang.

Namun jika Mas Farhan jujur, aku pun harus kuat menerima kenyataan kalau suamiku sudah jatuh cinta pada wanita lain.

"Jika kamu mengizinkan, aku ingin menikah dengan Zia santriku."

"Zia? Siapa Zia?"

"Zia itu santri Abi Mi. Dia seorang gadis yatim piatu. Sejak kecil, dia dirawat dan dibesarkan oleh kakeknya."

"Apakah kamu mencintainya?" tanyaku.

Mas Farhan menatapku lekat.

"Aku cuma iba padanya. Sebenarnya, aku ingin menikahinya karena aku merasa kasihan dengannya. Aku ingin memperistri dia, karena aku ingin membantu perekonomiannya saja. Dengan aku menikahinya, aku bisa memberikan dia nafkah yang cukup."

Alasan saja, kenapa dia nggak mau ngaku kalau dia sudah jatuh cinta sama wanita itu, batinku.

Aku merasa ucapan Mas Farhan itu tidak masuk akal. Jika dia ingin membantu gadis itu, tidak harus dengan menikahinya.

"Mas Farhan, aku mau tanya sama kamu satu kali lagi Mas. Apakah kamu mencintainya Mas?"

Mas Farhan diam. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya. Mungkin dengan masalah hati, dia tidak ingin jujur padaku karena takut menyakiti hatiku. Dia hanya bilang ingin menikahi Zia karena dia iba pada Zia.

"Pernikahan itu hanya bisa dilakukan asal dasar cinta Mas. Dan cinta itu harus karena Allah. Bukan karena yang lain Mas. Apakah kamu mencintai wanita itu? atau kamu ingin menikahinya hanya karena dia cantik dan masih gadis?"

Mas Farhan masih diam.

"Kamu itu seorang ustadz. Kamu yang selama ini menjadi panutan dan teladan untuk orang-orang. Apakah kamu tidak malu menjadi bahan pembicaraan orang-orang Mas? Iba, bukan harus menikahi."

Mas Farhan menatapku. Dia kemudian meraih tangan ku dan menggenggamnya erat.

"Aku mencintaimu Amira. Tapi aku harus jujur sama kamu soal perasaan aku ke Zia . Aku juga sudah mulai mencintai Zia, aku sudah lama mencintai dia," ucap Mas Farhan.

Deg.

Hatiku perih sekali rasanya saat mendengar ucapan Mas Farhan. Namun aku menghargai kejujurannya. Karena aku juga wanita yang tidak suka dengan kebohongan. Lebih baik Mas Farhan jujur, walaupun hatiku sakit mendengarnya.

"Kamu mencintai dia Mas?" ucapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Iya Amira. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu Amira. Karena aku juga sangat mencintai kamu dan anak-anak. Aku nggak mau pisah dari kalian bertiga."

Aku bangkit berdiri.

"Aku suka dengan kejujuran kamu Mas. Memang benar, hidup berumah tangga itu seharusnya tidak ada yang ditutup-tutupi. Jika kamu sudah mencintai seorang wanita, itu artinya kita bukan cinta sejati lagi Mas. Kamu sudah menodai kesucian cinta kita dengan mencintai wanita lain," ucapku dengan dada yang masih naik turun menahan amarah.

Mas Farhan masih diam.

"Maafkan aku Amira. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaan aku sendiri," ucap Mas Farhan.

"Mas, aku sebagai seorang istri, tidak ingin menjerumuskan lelaki yang aku cintai dalam lembah dosa. "

"Maksud kamu?"

"Jika kamu ingin menikahi wanita itu, aku ikhlas Mas. Dari pada kamu zina mata, zina hati, atau zina yang lainnya dengan wanita itu. Aku ikhlas jika kamu mau nikah lagi dan punya dua istri."

Mas Farhan membelalakkan matanya. dia tampak tidak percaya dengan ucapanku. Dia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekatiku.

"Kamu yakin, kamu bisa ikhlas jika aku menikah lagi?" tanya Mas Farhan menatapku lekat.

Aku menganggukan kepala.

"Jika Siti Aisyah istri baginda nabi saja Ikhlas untuk dipoligami, kenapa aku sebagai orang biasa tidak ikhlas. Selama agama tidak melarangnya, aku rela kamu menikah lagi Mas."

Mas Farhan tersenyum. Dia kemudian mencium punggung tanganku berkali-kali.

"Aku mencintaimu Amira. Aku yakin kalau kamu adalah wanita yang sangat baik Amira. Terima kasih karena kamu sudah mengizinkan aku menikah lagi"

Aku tersenyum walau hatiku menangis. Sebenarnya aku juga tidak rela Mas Farhan menikah lagi. Tapi aku harus ikhlaskan dia menikah lagi, untuk menghindarkan Mas Farhan dari dosa zina. zina mata, zina hati, dan zina kecil yang lainnya. Karena setiap hari Mas Farhan bertemu dengan wanita itu di dalam suatu majelis. Tidak menutup kemungkinan kalau mereka sering berdekatan.

Mas Farhan memang seorang ustadz. Tapi dia juga manusia biasa yang tidak lepas dari dosa. Bisa saja suatu saat imannya goyah dan dia melakukan hal yang aneh-aneh dengan wanita itu. Aku tidak mau membiarkan hal itu sampai terjadi.

Lebih baik aku ikhlaskan saja dia menikah lagi. Asal dia mau bersikap adil padaku dan wanita itu.

Dan juga, surga itu terbentang luas untuk seorang istri yang taat pada suaminya. Dan aku harap, mengikhlaskan suamiku menikah lagi adalah jalan ku mendapatkan surga Nya.

Aku melepaskan genggaman tangan Mas Farhan. Setelah itu aku masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ke kamarku.

Di rumah mertua

Aku menghempaskan tubuhku di sisi ranjang ku. Air mataku menetes deras membasahi pipiku.

Aku menangis dalam kesendirianku.

Rasanya sangat sakit, namun aku harus berusaha ikhlas untuk menerimanya.

Aku mengusap air mataku saat aku mendengar suara celoteh si bungsu. Aku kemudian berjalan ke arah boks bayi untuk melihatnya.

Fauzan tersenyum saat melihatku.

"Fauzan, kamu bangun ya Nak," ucapku

Aku kemudian menggendong tubuh si kecil Fauzan dan membawanya pergi keluar dari kamar.

"Assalamualaikum..." suara salam Laila sudah terdengar dari luar rumahku.

Aku buru-buru menghampiri Laila.

"Laila, kamu sudah pulang? kamu dari mana aja? tanyaku.

"Aku baru dari rumah nenek."

"Oh. Naik sepeda?"

"Iya."

Aku menatap keluar.

"Mana Abi mu?"

"Tadi Abi jalan ke arah mesjid Mi."

"Oh. Dia pasti mau ngajar ngaji di mesjid."

"Iya Mi. Di mesjid tadi juga sudah banyak anak-anak kok lagi nungguin Abi."

****

Malam ini, aku, Mas Farhan dan ibu mertuaku, masih berada di ruang makan. Kami sejak tadi masih menikmati makan malam kami.

"Bu, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ucap Mas Farhan di sela-sela kunyahannya.

Bu Aminah ibu mertuaku menatap Mas Farhan lekat.

"Apa! nikah lagi?" Ibu mertuaku terkejut saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir Mas Farhan.

"Kamu mau nikah lagi dengan siapa Farhan?" tanya ibu menatap tajam Mas Farhan.

"Dengan Zia," jawab Mas Farhan singkat.

"Zia siapa?" tanya ibu lagi.

Mas Farhan diam. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan ibu. Dia malah menyuapkan satu suap nasi ke dalam mulutnya.

"Dia orang mana?" tanya ibu lagi.

Sepertinya ibu penasaran dengan gadis yang bernama Zia. Seperti aku, yang sampai saat ini masih dibuat penasaran dengan gadis itu.

"Zia itu sekampung denganku Bu," jawabku.

Ibu mengarahkan pandangannya padaku.

"Apa! sekampung denganmu? Kamu kenal dengan Zia Mir?" kini ibu menatapku.

Aku menggeleng. "Aku juga kurang mengenalnya Bu."

Aku saja tidak mengenali Zia, apalagi ibu mertuaku yang tidak sekampung denganku. Mas Farhan memang ingin menikah dengan salah satu gadis yang ada di kampung ku.

Di sela-sela makan malam kami, Mas Farhan kembali membicarakan tentang Zia pada ibunya. Setelah meminta izin padaku, Mas Farhan meminta izin pada ibu untuk menikah lagi dengan Zia.

Aku sejak tadi hanya bisa mendengarkan percakapan Mas Farhan dengan ibunya. Walau hatiku sakit, namun aku ingin belajar ikhlas menerimanya.

Ibu menatapku.

"Farhan, kamu tidak boleh sembarangan seperti itu Farhan. Kalau kamu ingin nikah lagi, kamu harus minta izin dulu sama Amira," ucap ibu.

"Aku sudah minta izin sama Amira. Dan Amira sudah menyetujuinya. Iya kan sayang."

Ibu menatapku tajam.

"Benarkah Mir, apa yang di katakan Farhan kalau kamu sudah mengizinkan dia menikah lagi?"

"Iya Bu. Aku udah ikhlaskan Mas Farhan menikah lagi."

Aku, Mas Farhan, dan ibu sejenak saling diam. Tidak ada satupun dari kami yang bicara. Hanya suara sendok dan garpu yang sejak tadi masih saling bersahut-sahutan.

"Amira. Laila nggak ikut ke sini kenapa?" tanya ibu yang sudah mulai mengalihkan pembicaraan.

Aku menatap ibu lekat.

"Laila nggak mau ikut ke sini Bu. Dia lagi main di rumah ibuku," jawabku di sela-sela kunyahan ku.

"Kenapa Laila kalau diajak main ke sini nggak pernah mau sih?"

"Bukannya nggak mau Bu. Laila itu udah gede, penginnya itu main sama temannya. Mungkin di sini, dia nggak punya teman main. Makanya dia lebih betah di rumah ibu aku, karena di sana temannya banyak."

"Iya. Lagian kamu juga pasti repot kalau ngajak Laila juga ya. Dia kan sudah SMP."

"Iya Bu. Laila sekarang kan sudah punya adik kecil. Jadi dia mungkin malu kalau kemana-mana harus ikut terus sama Umi dan Abinya. Lagian di sini kan sepi nggak ada teman. Kalau di rumah ibu aku kan banyak teman," jelas ku.

"Iya benar itu. Lagian, ibu di sini juga cuma tinggal sama Galih. Anak-anak Galih kan tidak ada yang betah tinggal di sini. Mereka lebih memilih untuk tinggal di kota bersama ibunya dari pada di sini."

Mas Galih itu adalah kakak kandung suamiku. Sudah tiga bulan semenjak perceraian Mas Galih dengan istrinya, dia tinggal di rumah ibu.

Mas Galih dengan istrinya bercerai karena istri Mas Galih tidak mau ikut Mas Galih tinggal di kampung. Dia lebih memilih tinggal di kota. Sementara Mas Galih lebih betah tinggal di kampung, untuk menemani ibunya.

Bu Aminah hanya punya dua anak lelaki. Mas Galih dan Mas Farhan. Tapi Mas Farhan sudah tinggal di rumahnya sendiri bersamaku.

"Oh iya. Mas Galih sekarang di mana Bu? Dia nggak ikut makan malam?" tanyaku menatap ibu lekat.

"Galih keluar sejak sore. Mungkin dia lagi main ke rumah temannya."

"Oh..."

Sejak tadi aku hanya ngobrol dengan ibu. Sementara Mas Farhan masih dicuekin oleh ibu. Mas Farhan yang merasa di cuekin lantas bangkit berdiri.

"Aku mau ke kamar dulu ya Mir," ucap Mas Farhan.

"Kamu udah makannya Mas?" tanyaku pada Mas Farhan.

Mas Farhan hanya mengangguk. Dia kemudian berjalan pergi meninggalkan aku dan ibu di ruang makan.

Ibu kembali menatapku.

"Mir. Kamu mau langsung pulang, atau mau nginap di sini?" tanya ibu.

"Tergantung Mas Farhan aja Bu."

"Mir. Kasihan anak kamu, kalau di bawa naik motor malam-malam. Nginap di sini aja ya Mir? Ibu juga nggak ada temannya di sini. Penginnya sih kamu dan Farhan tinggal di sini sama ibu. Biar ibu ada temannya."

"Ya nggak bisa begitu dong Bu. Kami kan sudah punya rumah sendiri. Mas Farhan di sana juga lagi ngajar ngaji dan menjadi imam di mesjid."

"Iya. Ibu tahu itu Mir."

Setelah makan malam selesai, aku membantu ibu mertuaku untuk membereskan meja makan. Sementara Mas Farhan sudah berada di dalam kamarnya.

Aku mengangkat piring-piring kotor yang ada di atas meja dan aku bawa ke dapur. Setelah itu aku langsung mencucinya.

"Mir. Kenapa nggak besok aja nyucinya?"tanya ibu.

Aku menoleh ke arah ibu dan tersenyum.

"Mumpung Fauzan udah tidur Bu. Kalau besok, belum tentu aku bisa bantuin ibu. Karena kalau Fauzan bangun dia pasti rewel."

"Ya udah. Terserah kamu aja Mir."

"Bu, ibu istirahat saja sana. Biar aku yang beresin semuanya."

"Kamu yakin?"

"Iya Bu. Biar besok, pekerjaan kita jadi ringan."

"Ya udah. Ibu mau langsung ke kamar dulu ya."

"Iya Bu."

Ibu kemudian melangkah pergi meninggalkanku di dapur. Sementara aku kembali melanjutkan aktivitasku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!