"Bapak sudah periksa ke dokter?" tanyaku.
"Sudah. Tapi kata dokter, saya harus ke rumah sakit untuk ronsen. Tapi saya tidak punya biaya untuk ke rumah sakit. Saya juga takut, untuk operasi." Kakek Zia menjelaskan tentang kondisinya saat ini.
Aku sangat iba saat melihat kondisi kakeknya Zia. Aku juga sangat prihatin melihat kondisi kehidupannya Zia dan kakeknya.
Mungkinkah memang benar, kalau Mas Farhan itu ingin menikahi Zia hanya untuk membantu perekonomiannya Zia saja. Tapi kenapa harus dengan menikahinya.
"Ngomong-ngomong, bapak tinggal di rumah ini hanya sama Zia cucu bapak saja ya?" Tanya Ibu menatap kakek Zia lekat.
Kakek Zia hanya mengangguk.
"Iya. Ini cucu saya satu-satunya. Dia sudah saya rawat dan saya besarkan dari kecil. Ibu dan ayahnya sudah meninggal waktu dia masih kecil."
Aku melihat Mas Galih dan Mas Farhan masih tidak berhenti menatap Zia. Zia memang cantik, tapi aku tidak tahu bagaimana sifat dan sikapnya. Mungkinkah dia gadis yang baik, aku sama sekali belum mengenalnya.
"Sebenarnya, kedatangan kami ke sini, untuk melamar Zia Pak. Kami ke sini mau melamar Zia untuk Farhan adik saya," ucap Mas Galih tanpa banyak basa-basi lagi.
Kakek Zia tersenyum. Dia kemudian menatapku.
"Apakah dia istrimu Nak Farhan?" Kakek Zia menatap Mas Farhan lekat.
"Iya Kek. Dia Amira istriku," jawab Mas Farhan.
"Apakah istrimu sudah setuju jika nanti kamu menikah dengan Zia?"
"Iya. Dia sudah setuju Kek," ucap Mas Farhan meyakinkan kakek Zia.
Aku diam. Saat ini, aku bingung harus bicara apa. Sebenarnya hatiku itu sakit. Dadaku juga sesak. Tubuhku juga melemas saat Mas Galih bicara pada kakek Zia maksud kedatangan kami ke sini.
Namun di saat-saat seperti ini, haruskah aku tumpahkan air mataku di depan orang-orang. Aku tidak ingin kelihatan lemah, apalagi di mata Zia calon maduku.
"Amira, kamu sudah setuju kan aku menikahi Zia?" Mas Farhan menatapku lekat.
"Iya. Aku sudah setuju," jawabku singkat.
"Dengar sendiri kan Zi, Kek, istriku sudah setuju aku menikah lagi. Aku hanya ingin membahagiakan Zia." ucap Mas Farhan.
"Kalau kakek sih, setuju-setuju saja. Tapi apa Zianya mau?" ucap Kakek Zia
Kakek Zia menatap Zia.
"Zia, apa kamu mau jadi istrinya ustadz Farhan? Apa kamu mau jadi istri ke duanya ustadz Farhan?" tanya Kakek Zia pada cucunya.
"Jika Mas Farhan bisa adil dengan aku dan Mbak Amira, aku siap jadi istri ke dua. Jika Mbak Amira sudah benar-benar ikhlas mengizinkan suaminya menikah lagi, aku pun tidak akan pernah menolak ustadz Farhan menjadi suamiku," ucap Zia panjang lebar.
"Dan jika Allah mentakdirkan aku untuk menjadi jodoh ke dua ustadz Farhan, aku pun mau menjadi istri kedua," lanjut Zia yang tampak begitu mantap menjawab pertanyaan dari kakeknya.
"Ya udah, kalau semua sudah merestui, kakek akan merestui kamu Zi," ucap Kakek.
****
"Saya terima nikahnya Ziana Olifia binti Abdul Aziz dengan maskawin tersebut dibayar tunai...!" Suamiku mengucapkan ijab kabulnya dengan lantang.
Beberapa orang sudah menjadi saksi atas pernikahan suamiku dengan gadis itu. Pernikahan suamiku dengan Zia, digelar di rumah mertua dengan tertutup.
Keluarga besarku juga tidak ada yang tahu akan hal ini, karena aku memang sengaja merahasiakannya dari mereka termasuk orang tuaku.
Karena jika aku bicara pada mereka, mungkin mereka akan marah besar kepadaku dan Mas Farhan.
"Bagaimana saksi sah?"
"Sah..!!!"
Setelah pernikahan itu di sah kan, tak terasa air mataku mengalir begitu saja dari pelupuk mataku. Aku buru-buru mengusap air mataku dengan kasar.
Setelah itu aku bangkit dari duduk dan melangkah pergi untuk ke kamar. Aku tinggalkan orang-orang yang ada di ruang tamu. Biarlah mereka akan berkata apa tentangku. Yang pasti, aku tidak kuat melihat pernikahan ini. Semakin aku tahan hati ini, semakin tidak bisa aku kendalikan.
Setelah sampai di dalam kamar, aku kemudian menghempaskan tubuhku dan duduk di sisi ranjang ku.
Aku menangis, meluapkan semua perasaanku di sana.
Hatiku sakit, saat melihat suamiku menikah lagi. Tapi inilah takdir yang ku pilih. Mengikhlaskan suamiku bersanding dengan wanita lain.
"Kenapa, hatiku sakit banget. Kenapa semua ini harus terjadi hiks...hiks..." ucapku di sela-sela tangisanku.
"Tapi aku nggak boleh nangis. Aku harus kuat. Ini adalah jalan yang ku pilih.
Aku juga kasihan sama gadis itu. Dia sudah yatim piatu. Jika kakeknya meninggal, dia juga pasti akan hidup sebatang kara karena dia tidak punya keluarga lagi. Biarkan dia merasakan kebahagiaan juga," lanjutku.
Sebenarnya aku juga prihatin melihat kondisi kehidupan Zia. Dan aku akan belajar ikhlas untuk menerima Zia menjadi maduku. Walau sebenarnya sangat sulit untuk itu.
Aku yakin, tidak akan ada satu wanita pun di dunia ini yang rela dimadu. Tapi aku menganggap, ini adalah sebuah bentuk ketaatan seorang istri pada suaminya. Dan Allah sudah menjanjikan surga untuk seorang istri yang taat pada suaminya.
Tok tok tok...
Suara ketukan pintu sudah terdengar dari luar kamarku. Aku buru-buru mengusap air mataku dan melangkah untuk membuka pintu.
"Amira, ibu cari kemana-mana, ternyata kamu ada di sini? Fauzan nangis nyariin kamu Amira," ucap ibu.
"Fauzan di mana sekarang?" tanyaku pada ibu.
" Dia lagi sama Galih. Ayo keluar!" pinta ibu.
Aku mengangguk. Aku kemudian keluar dari kamarku untuk melihat Fauzan.
Aku menghampiri Mas Galih yang saat ini masih ada di teras depan rumah ibu.
"Fauzan," ucapku.
Mas Galih menoleh ke arahku.
"Amira, kamu dari mana aja sih? Fauzan nangis nih dari tadi. Sepertinya dia lapar. Udah kamu susui belum sih?" tanya Mas Galih.
"Sudah kok Mas. Fauzan sudah kenyang. Mungkin dia kepanasan aja."
"Ya udah. Ini." Mas Galih menyerahkan Fauzan padaku.
Aku tersenyum pada anakku. Aku cium dan gendong dia.
"Amira, kamu kenapa sih? kamu habis nangis?" tanya Mas Galih.
Aku diam.
"Aku tahu bagaimana perasaan kamu Amira. Kamu nggak sanggup kan melihat pernikahan mereka," ucap Mas Galih sembari melirik ke dalam.
"Aku kan sudah bilang kalau aku sudah ikhlas suamiku menikah lagi," ucapku membantah kalau aku sedih melihat pernikahan ini.
"Aku tidak percaya kalau kamu itu benar-benar ikhlas. Kamu bisa bicara ikhlas tapi hati dan mata kamu tidak bisa dibohongi Amira." Mas Galih seakan sudah bisa membaca fikiran ku.
Walau dia lelaki, dia sepertinya sangat peka dengan perasaan perempuan.
"Ya sudahlah, lagian mereka juga sudah menikah. Mau diapakan lagi. Aku juga kasihan sama Zia. Biarkan Zia ikut merasakan hidup bahagia juga. Aku yakin kok sama suamiku. Dia itu lelaki yang bertanggung jawab. Dia tahu ilmu agama dan dia pasti akan adil dengan aku dan Zia."
Mas Galih hanya manggut-manggut.
"Oke lah terserah kamu. Semua keputusan kan sudah kamu ambil. Acara sudah selesai Amira, kamu nggak mau masuk ke dalam?" tanya Mas Galih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
aqil siroj
munafik
2023-05-24
2