"Maaf Pak Farhan, sesuai aturan rumah sakit, Pak Farhan tidak bisa masuk ke dalam sembarangan. Pak Farhan bisa menjenguk Bu Amira dan Pak Galih, setelah mereka di pindahkan ke ruang perawatan."
"Oh gitu ya."
"Iya Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu Pak."
"Iya Sus."
Suster kemudian pergi meninggalkan Farhan dan Laila.
Laila menatap ayahnya lekat.
"Bi. Gimana kondisi Umi Bi?" tanya Laila.
"Umi udah sadar. Kita tinggal menunggu dokter saja. Katanya sebentar lagi, Umi dan padhe kamu mau di pindahkan ke ruang rawat."
Laila mengangguk. Wajahnya kini berubah menjadi murung. Mungkin ada sesuatu yang sedang Laila fikirkan.
"Kamu kenapa Laila?" tanya Farhan pada anaknya.
Laila berjalan mendekati kursi dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi itu. Farhan hanya bisa mengikuti anaknya. Dia pun duduk di sisi Laila.
"Ada apa?" tanya Farhan lagi.
Laila menatap ayahnya tajam.
"Aku kecewa sama Abi," ucap Laila tiba-tiba.
Farhan terkejut saat mendengar ucapan putrinya.
"Kenapa kamu bicara seperti itu?"
"Kenapa Abi nikah lagi dengan Mbak Zia tidak memberi tahu Laila?" tanya Laila mulai serius.
Nampaknya Laila sudah sangat mengenal betul wanita yang dinikahi ayahnya. Karena Laila memang sering sekali ikut ayahnya saat ayahnya mengajar mengaji. Jadi dia tahu, siapa saja santri-santri ayahnya.
"Abi, apa Abi tahu. Dengan perilaku Abi seperti ini, itu sama saja Abi seperti sedang mengajarkan Laila suatu kebohongan."
Farhan diam. Dia merasa tertampar dengan kata-kata anaknya.
"Abi tidak kasihan sama Umi. Selama ini, Umi selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk jadi istrinya Abi. Umi nggak pernah ngeluh sedikit pun dalam mengurus Laila dan Fauzan. Apa ini, balasan Abi untuk Umi?" ucap Laila dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan Abi sayang."
"Bi, ingat. Laila ini anak perempuan Abi. Jika saja Laila tumbuh dewasa, dan Laila punya suami, bagaimana perasaan Abi, saat suami Laila menikah lagi dengan wanita lain dan menduakan Laila seperti Abi. Apakah Abi rela, Laila di sakiti suami Laila," ucap Laila. Setetes air mata Laila jatuh dari pelupuk mata Laila. Namun, Laila buru-buru menyeka air mata itu.
Lagi-lagi Farhan diam saat mendengar ucapan anaknya. Dia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan anaknya itu.
Laila memang masih remaja, namun fikirannya sudah seperti orang dewasa. Karena Laila bergaul juga dengan anak-anak yang lebih dewasa darinya.
Farhan menghela nafas dalam.
"Laila. Ada alasan Abi, kenapa Abi menikah dengan Mbak Zia," ucap Farhan mencoba untuk mengutarakan alasannya pada Laila, kenapa dia menikah dengan Zia.
Laila menatap lekat ayahnya.
"Alasan apa Bi?" tanya Laila.
"Abi kasihan saja sama Mbak Zia. Dia sudah yatim piatu, kakeknya juga lagi sakit. Jika kakeknya meninggal, Mbak Zia akan hidup sebatang kara. Dan Abi menikahinya cuma mau membantunya saja. Mbak Zia itu kan orang miskin. Abi cuma mau membantu ekonominya saja."
"Itu cuma alasan Abi saja kan. Sebenarnya Abi memang pengin punya dua istri. Kalau Abi kasihan, angkat aja Mbak Zia untuk jadi kakaknya Laila. Tidak perlu dengan menikahinya kan."
Lagi-lagi Farhan diam. Laila memang anak yang paling susah untuk percaya. Walau pun itu dengan ayahnya sendiri.
"Laila, semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan Abi sudah menikah dengan Mbak Zia. Abi minta maaf sama kamu karena Abi tidak jujur sama kamu dari awal. Sebenarnya Abi juga sudah izin sama Umi kamu. Dan Umi kamu sudah membolehkan Abi nikah lagi. Seandainya Umi kamu tidak mengizinkan, Abi nggak bakalan nikah lagi."
Laila diam. Dia sepertinya sangat kecewa sekali dengan Farhan ayahnya.
Tapi Laila bisa apa sekarang. Tidak mungkin kan, Laila menyuruh ayahnya untuk meninggalkan Zia atau meninggalkan ibunya. Walau bagaimanapun juga, Farhan tetap ayah Laila. Dan Laila akan selama membutuhkannya.
****
Saat ini, Amira sudah berada di ruang rawat. Kondisinya masih sangat memprihatikan. Ke dua tulang di kakinya patah. Dan lehernya juga mengalami cidera dan harus memakai alat penyangga.
Amira tidak bisa menggerakkan kepalanya. Apalagi kakinya. Mungkin, Amira akan mengalami kelumpuhan sementara akibat patah tulang di kakinya.
Sementara Galih, dia baik-baik saja. Hanya saja, banyak luka di bagian wajah, tangan dan kakinya. Hanya luka luar saja, tanpa adanya keretakan di salah satu tulangnya.
Pintu ruangan terbuka lebar, Farhan dan Laila masuk ke dalam ruang rawat Amira. Baru saja Amira di pindahkan ke ruangan itu.
Farhan dan Laila mendekat ke arah Amira.
"Umi..." ucap Laila. Dia memeluk ibunya yang membuat Amira mengerang.
"Akhhh..."
Laila terkejut saat melihat ibunya kesakitan. Dia akhirnya mengurungkan niatnya untuk memeluk ibunya.
"Laila, jangan peluk Umi kamu dulu. Dia masih sakit," ucap Farhan.
Laila mengangguk.
"Iya Abi. Maafkan Laila. Habisnya Laila sudah kangen sama Umi."
Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk ke dalam ruangan Amira. Dokter itu kemudian mendekat ke arah Farhan.
"Pak Farhan, bisa kita bicara sebentar?" tanya Dokter menatap Farhan lekat.
"Iya Pak."
"Mari ikut saya ke depan."
Farhan mengangguk. Dia kemudian mengikuti langkah dokter meninggalkan ruangan Amira.
Sesampainya di depan ruangan, Dokter menghentikan langkahnya.
"Ada apa Dok?"
"Saya cuma mau memberi tahu kondisi istri bapak saat ini," ucap Dokter membuka percakapan.
"Bagaimana kondisi istri saya yang sebenarnya Dok?"
"Sebenarnya saya berat untuk membicarakannya. Istri bapak, harus di operasi. Karena patah tulang di leher dan ke dua kakinya."
Farhan terkejut saat mendengar ucapan dokter.
"Istri saya harus dioperasi Dok?"
"Iya Pak Farhan. Dan mungkin Operasi ini akan membutuhkan biaya yang lumayan besar. Tapi sebelum operasi, saya ingin meminta persetujuan dulu dengan Pak Farhan."
Farhan mengusap wajahnya kasar saat mendengar kabar mengejutkan itu. Namun Farhan tidak mungkin membiarkan istrinya begitu saja. Jika operasi cara satu-satunya yang harus dilakukan, Farhan pun rela mengeluarkan banyak uang untuk operasi istrinya.
"Dok, lakukan yang terbaik untuk istri saya. Jika Amira harus di operasi, operasi saja sekarang Dok. Saya sudah kehilangan anak saya. Dan saya tidak mau kehilangan istri saya juga."
Dokter mengangguk.
"Baiklah. Saya hanya butuh Pak Farhan menandatangani berkas-berkasnya. Kalau sudah, mungkin besok Operasi itu akan di lakukan."
"Baik Dok."
"Mari ikut saya Pak Farhan."
Farhan kemudian mengikuti dokter itu untuk ke ruangan Dokter.
Laila masih menatap ibunya lekat. Dia merasa iba melihat kondisi ibunya. Amira sama sekali tidak bisa bergerak. Hanya bola matanya saja yang bergerak-gerak. Untuk bicara pun rasanya masih sangat sulit. Karena dadanya masih sangat sakit.
"Fa...Fauzan..." Sesekali Amira memanggil-manggil nama anak bungsunya itu.
Laila meneteskan air matanya. Sejak tadi dia berusaha untuk tidak menangis. Namun, melihat kondisi ibunya, Laila jadi sangat sedih.
"Umi, hiks...hiks... Umi harus sembuh Umi. Demi Laila. Laila nggak sanggup jika Laila sampai harus kehilangan Umi. Hiks...Hiks.. "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments