Farhan mendekat ke arah istrinya. Dia tersenyum saat melihat wajah istrinya.
"Umi, apa yang Umi rasakan? apa umi masih merasakan sakit?" tanya Farhan pada Amira.
Amira yang ditanya hanya diam.
"Fauzan..." hanya kata itu yang sering terucap dari bibir Amira.
"Kamu nggak usah fikirin Fauzan. Kamu fikirin kesembuhan kamu dulu. Besok kamu akan di operasi. Kamu harus kuat ya. Demi anak-anak kita sayang," ucap Farhan.
Setetes air mata Amira mengalir membasahi pelipisnya. Farhan buru-buru mengusapnya.
"Jangan nangis sayang. Abi akan selalu temani kamu di sini. Kamu harus kuat sayang." Farhan sejak tadi masih memberikan dukungan pada istrinya.
"Laila.." ucap Amira.
"Laila lagi sholat isya di mushalla. Kita tungguin Laila ya sayang," ucap Farhan. Sesekali dia mengusap-usap pelipis Amira yang basah karena air matanya.
Beberapa saat kemudian, Laila masuk ke dalam ruangan ibunya.
"Assalamualaikum," ucap Laila.
Farhan menoleh ke belakang di mana Laila berdiri.
"Wa'alaikumsalam, kamu udah sholat?" tanya Farhan pada anaknya.
"Alhamdulillah udah Abi."
Laila menatap Amira.
"Abi. Umi udah bangun ya?" tanya Laila sembari melebarkan senyumnya.
"Iya. Umi udah bangun dari tadi. Dan tadi dokter juga udah ke sini memeriksakan Umi kamu," ucap Farhan menjelaskan.
Laila kemudian mendekat ke arah ranjang di mana ibunya berbaring.
"Umi udah bangun?" ucap Laila menatap ibunya lekat.
Amira tersenyum saat melihat Laila. Air matanya kembali menetes mengalir ke pelipisnya. Laila yang melihat Amira menangis, segera menghapus air mata ibunya.
"Jangan nangis Umi. Umi wanita yang kuat. Umi pasti bisa melewati semua cobaan ini. Percayalah, kalau Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambaNya."
Laila menatap ke sekeliling.
"Mana pade?" tanya Laila.
"Untuk apa nanyain pade kamu. Pade kamu ada di ruangannya. Kalau kamu mau temani pade kamu, sana temani saja. Biar Abi aja yang jagain Umi di sini."
"Nggak mau. Aku mau di sini aja jagain Umi. Kenapa nggak Abi aja yang jagain Pade. Abi kan adiknya."
"Malas."
"Ya udah, telpon aja nenek Aminah. Suruh dia ke sini, untuk jagain pade."
"Nggak perlu. Pade kamu udah tua kok. Ngapain di temani. Biarin aja dia sendiri. Dia juga bisa jalan. Mau ke kamar mandi, juga pasti bisa sendiri."
"Ih, tega banget sih Abi sama Pade. Gitu-gitu juga pade aku Bi."
***
Malam ini, Zia masih belum bisa tidur. Jam dua belas malam, dia masih duduk di ruang tamu. Rasanya dia masih kecewa dengan suaminya.
"Seharusnya malam ini, adalah malam kebahagiaan aku dengan Mas Farhan. Seharusnya aku sudah melakukan malam pertama dengan suamiku. Tapi kenapa semuanya jadi berantakan begini. Sekarang, Mas Farhan sama sekali tidak menghubungiku. Dia masih saja sibuk dengan istri pertamanya. Sebenarnya bukan pernikahan seperti ini yang aku inginkan," ucap Zia dalam kesendiriannya.
Sejak Amira kecelakaan dan Fauzan meninggal, Farhan memang hanya sibuk mengurusi Amira dan mengabaikan Zia. Membuat Zia sedih karena pernikahan yang dia impikan bersama ustadz pujaan hatinya, tidak seindah apa yang dia bayangkan selama ini.
"Kalau tahu Ustadz Farhan akan mengabaikan aku seperti ini, mungkin aku akan tolak saja untuk menikah dengannya." ucap Zia.
Uhuk uhuk uhuk...
Suara batuk-batuk kakek Zia kembali terdengar.
Praang...
Suara batuk itu terdengar bersamaan dengan suara pecahan gelas yang terdengar dari dalam kamar Pak Ramli, kakek Zia.
Suara itu membuyarkan lamunan Zia. Zia segera mengusap air matanya.
"Kakek," ucap Zia.
Zia bangkit dari duduknya. Setelah itu dia berjalan untuk ke kamar kakeknya.
"Kakek. Apa yang terjadi?" tanya Zia setelah sampai di depan pintu kamar kakeknya.
Zia terkejut saat melihat ke lantai. Pecahan gelas sudah berserakan sampai ke kolong-kolong ranjang.
"Kakek, kok gelasnya bisa pecah. Kenapa Kek?" tanya Zia menatap Pak Ramli lekat.
Kakek Zia menghela nafas dalam.
"Kakek mau ambil minum Zi. Tapi gelasnya ke senggol tadi dan pecah," jelas Pak Ramli pada cucunya.
"Duh Kakek. Kenapa kakek nggak bilang sama Zia kalau kakek mau minum. Nanti Zia kan bisa ambilin."
"Kakek fikir, kamu udah tidur Zi. Jadi kakek nggak mau bangunin kamu."
"Zia belum tidur kok Kek. Zia tadi ada di ruang tamu."
"Kenapa jam segini belum tidur Zi?" tanya Pak Ramli lagi.
"Nggak bisa tidur Kek."
"Kenapa nggak bisa tidur? banyak nyamuk ya? atau ada yang lagi kamu fikirin?"
"Nggak tahu Kek. Zia cuma lagi mikirin ustadz Farhan. Dia belum menghubungi Zia lagi," ucap Zia sedih.
"Sabar lah. Ustadz Farhan kan lagi ngurusin istrinya dulu.Kalau sudah sembuh, pasti nanti dia nyusulin kamu ke sini."
"Iya Kek."
Zia berjongkok. Dia akan membersihkan pecahan gelas itu.
"Zia, mau ngapain?"
"Aku mau beresin pecahan gelas ini Kek."
"Besok aja Zi. Ini udah malam."
"Nggak apa-apa Kek. Kalau nunggu besok, aku takut kaki kakek yang kena beling."
"Dari pada kamu mungutin pecahan itu, mendingan kamu ambilin kakek air lagi untuk minum."
"Baik Kek."
Zia bangkit dari jongkoknya. Setelah itu dia berjalan ke dapur untuk mengambil air putih untuk minum kakeknya .
Sesaat kemudian, Zia kembali dengan membawa segelas air putih. Dia mendekat ke arah kakeknya dan duduk di sisi ranjang kakeknya.
"Ini Kek," Zia menyodorkan gelas itu di depan kakeknya.
Pak Ramli mengambil gelas itu dari tangan Zia. Dia kemudian meminum satu gelas air putih itu sampai habis.
Zia tersenyum.
"Kakek haus ya?" tanya Zia.
Pak Ramli mengangguk. "Iya."
Pak Ramli menatap cucunya lekat. Dia tahu bagaimana perasaan cucunya saat ini. Pasti Zia saat ini sangat sedih dengan cobaan yang lagi menimpa suaminya.
"Kamu kenapa Zi?"
Zia menatap kakeknya lekat.
"Mas Farhan belum menghubungi aku Kek."
"Jangan nunggu Farhan menghubungi kamu. Coba kamu duluan yang menghubungi dia. Tanya sama Farhan. Bagaimana kondisi Amira sekarang? kakek juga sedih tahu Amira kecelakaan. Dia itu wanita yang sangat baik Zi."
"Iya Kek. Besok aku akan menghubungi Mas Farhan untuk menanyakan kondisi Mbak Amira."
****
Sore ini, Novi, dan ke dua orang tua Amira sudah berkumpul di depan ruang tunggu ruang operasi.
Mereka masih menunggu Amira di Operasi. Sementara Farhan, dia sedang menjemput ibunya di rumah.
Bu Aminah tidak mungkin datang ke rumah sakit sendiri karena dia tidak bisa naik motor. Untuk ke rumah sakit sendirian pun dia tidak berani. Karena kemarin saja dia mengajak Zia menantunya untuk menemaninya ke rumah sakit.
Bu Rahayu sejak tadi masih tampak panik. Dia takut terjadi apa-apa dengan anaknya.
Pak Husen menatap istrinya lekat.
"Ibu kenapa?" tanya Pak Husen.
"Ibu nggak apa-apa Pak. Ibu cuma sedih aja melihat Amira. Dia patah tulang, dan mungkin Amira tidak akan bisa jalan untuk beberapa waktu yang lama. Ibu nggak tega melihatnya Pak."
Pak Husen merangkul bahu istrinya.
"Sabar Bu. Kita berdoa saja ya untuk kesembuhan anak kita. Semoga operasinya berjalan dengan lancar. Dan Amira bisa cepat sembuh dan bisa cepat di bawa pulang."
Bu Rahayu menyenderkan kepalanya di bahu suaminya .
"Ini semua gara-gara Farhan. Dia sudah menyakiti batin Amira anak ku. Sebenarnya ibu tidak rela Pak, Amira sama Farhan. Ibu pengin Amira itu cerai dari Farhan."
"Bu, jangan bicara seperti itu. Nggak baik Bu, bicara seperti itu. Perceraian itu dibenci Allah."
"Iya ibu tahu. Tapi kalau amira terus tersakiti, ibu sama sekali nggak rela Pak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments