BELENGGU DENDAM
"Dokter Joshep, ada pasien anak di ruang gawat darurat membutuhkan penanganan anda!" lapor seorang perawat yang berlarian ke ruangan Joshep, dokter muda yang baru beberapa hari bertugas di rumah sakit yang berada di desa terpencil itu.
Baru saja Joshep hendak menyuapkan nasi ke mulutnya, sejak pagi dirinya belum sempat sarapan, padahal hanya tingal satu jam lagi sudah masuk ke jam makan siang.
Beginilah nasib dokter muda yang baru pindah, harus selalu siap, apalagi kali ini tugasnya di sebuah rumah sakit kecil di pulau yang bisa di katakan terpencil, di mana hanya ada satu orang dokter setiap harinya yang berjaga di sana dan harus bisa menangani semua keluhan, kecuali untuk poly gigi dan kandungan, ada dokter khusus yang datang setiap dua hari sekali ke rumah sakit itu, terkadang juga mereka datang seminggu sekali, tak seperti dirinya yang harus selalu siap setiap saat di sana, bahkan rumah dinas yang di berikan pihak rumah sakit untuk tempat tinggal juga letaknya dekat sekali dengan rumah sakit, hanya sekitar kurang lebih sepuluh menit jika di tempuh dengan berjalan kaki, sehingga jika ada ppasien gawat darurat dan dirinya sedang berada di rumah pun tetap di panggil untuk datang jika tidak ada dokter jaga yang lain di rumah sakit.
Joshep menutup kembali bekal kotak makan yang niatnya di makan untuk sarapan itu, namun sampai mendekati waktu makan siang pun, masih belum sempat di sentuhnya.
"Pasien anak laki-laki berumur lima tahun, gejala susah bernafas, bibir membiru, sepertinya terkena serangan jantung." Terang perawat itu menerangkan pada Joshep di sela mereka berjalan melewati lorong menuju ruang gawat darurat.
Langkah besar Joshep kini semakin cepat setengah berlari setelah tahu jika pasien seorang anak kecil, dan gejala yang di sebutkan oleh perawat tadi sepertinya cukup urgent.
Joshep langsung menangani bocah yang kini terbaring lemah di ranjang, dengan cekatan Joshep terus berusaha mengembalikan kesadaran bocah laki-laki yang nyaris kehilangan kesaarannya karena nafasnya mulai melemah itu.
Setelah sekitar tiga puluh menit berjuang, di dalam ruang yang penuh dengan alat meski alatnya jauh dari kata canggih dan lengkap itu, akhirnya Joshep keluar dari ruangan yang selalu membuatnya seperti berada di medan peperangan itu.
Berjuang menyelamatkan nyawa orang di antara hidup dan mati bukan hal sepele, hal itu tidak hanya menguras tenaganya, namun juga pikirannya, dia akan sangat merasa lega saat dia sudah bisa membuat pasiennya keluar dari bahaya, sampai terkadang dia tidak memperdulikan kesehatannya sendiri demi kesehatan orang lain, sungguh ironis.
"Bagaimana keadaan Kevin, Dok?" Tanya wanita setengah baya menjegal langkah Joshep di muka pintu gawat darurat.
"Anda ibunya, atau?" Joshep tergelitik untuk tahu dan merasa penasaran apa hubungan pasien dengan wanita setengah baya yang kini menanyainya itu, karena wanita itu terlihat sangat tua jika untuk ukuran ibu bocah kecil itu.
"Saya gurunya, tadi dia pingsan di sekolah, sehingga saya langsung membawanya ke sini." Jawab wanita itu.
"Di mana orang tuanya?" Tanya Joshep lagi.
"Ibunya sedang dalam perjalanan kemari, syukurlah kalau Kevin baik-baik saja, saya bsa kembali ke sekolah kalau begitu, karena ibunya juga akan segera sampai, terima kasih atas bantuannya Dok!" Ujar wanita itu membungkukan badannya ke depan.
"Itu sudah menjadi tugas saya." Jawab Joshep sambil bergegas menuju ruangan nya kembali, perutnya sungguhbenar-benar terasa sangat lapar kali ini, tidak ada waktu untuk dirinya berbasa-basi lebih lama lagi, cacing dalam perutnya sudah berdemo minta di beri makanan, lagi pula dirinya tidak perlu menjelaskan tentang kesehatan anak itu pada wanita yag mengantarkan nya itu, karena wanita itu bukan keluarganya.
Sebelumnya Joshep juga sudah menitipkan pesn pada perawat di sana, untuk menyampaikan pada keluarga pasien agar menemuinya nanti di ruangannya jika sudah tiba, karena ada beberapa hal penting yang harus dia sampaikan pada keluarga pasien.
Pintu ruang praktek Joshep di ketuk dari luar saat dia baru saja menyelesaikan makan nya yang sempat tertunda, "Masuk!" ujarnya seraya membereskan kotak makan siangnya ke dalam tas dan menyimpannya di laci bawah meja.
Saat pintu di dorong dari luar dan terbuka, baik Joshep maupun orang yang kini berdiri mematung di ambang pintu sama-sama seperti kaget dan terkesima dengan penglihatan mereka saat ini.
"Josh--"
"Paula--"
Keduanya sama-sma bergumam lirih memanggil masing-masing nama orang yang berada di hadapan mereka saat ini.
Sampai akhirnya Joshep yang terlebih dahulu tersadar dan bisa mengontrol keadaan juga mengontrol dirinya sendiri, saat ini dia seorang dokter, dan harus profesional bersikap layaknya sebagai seorang dokter.
"Silahkan masuk!" Ujar Joshep datar dan tekesan dingin mempersilahkan wanita yang sempat dia panggil dengan nama Paula itu untuk masuk dan duduk berhadapan dengannya di meja kerjanya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Joshep seolah dia tidak pernah mengenal wanita di hadapannya yang dulu pernah menjadi istrinya meski hanya selama enam bulan lamanya itu.
"Sa-saya,,, saya di suruh perawat untuk menemui dokter Smith." Gagap Paula yang sama sekali tidak menyangka jia dokter Smith yang di maksud perawat tadi adalah Joshep Smith, mantan suaminya lima tahun yang lalu, ada ribuan orang bernama belakang Smith, dan Paula tidak menyangka jika itu Joshep Smith.
"Saya? Menyuruh perawat agar anda menemui saya?" Kening Joshep berkerut.
"Saya ibunya Kevin, pasien gawat darurat yang anda tangani tadi, kata perawat ada beberapa hal yang ingin anda sampaikan pada saya mengenai putra saya?" Gaya bicara Paula terlihatsangat canggung, begitu pun dengan Joshep, orang tidak akan pernah ada yang mengira jika mereka pernah saling mencintai dan terikat dalam pernikahan yang bahagia meski hanya dalam hitungan bulan saja, jika melihat interaksi mereka yang seperti sama-sama orang asing itu.
"Kevin, dia anak mu? Umurnya lima tahun, tepat seperti perpisahan kita yang sudah berlangsung selama itu, apa dia anak mu dengan laki-laki itu?" Tebak Joshep.
Sekuat tenaga Joshep menahan diri agar bersikap profesional, namun benteng pertahanannya luluh juga saat dia mendengar kenyataan pahit jika bocah laki-laki yang baru saja dia selamatkan nyawanya dari maut itu ternyata merupakan anak mantan istrinya yang di sinyalir hasil dari perselingkuhan saat dia memergoki Paula bersama seorang pria di dalam kamar hotel, apalagi jika memakai ilmu cocok lagi, usia anak laki-laki itu pas dengan waktu perpisahan mereka yang sama-sama sudah 5 tahun lamanya.
Seketika bayangan penghianatan Paula yang setengah mati berusaha dia lupakan kini terbayang lagi, adegan dimana Paula tidur nyaris tanpa busana di ranjang sebuah hotel bersama seorang pria asing kini terbayang kembali dengan jelas dalam ingatannya membuat dia kembali di selimuti kebencian di dadanya.
"Ya, dia anak ku. Tentang siapapun ayahnya, itu bukan urusan mu, bukankah anda di sini sebagai dokter, bersikaplah layaknya dokter yang profesional!" Tanpa di nyana, Paula pun kini menunjukkan kemarahan yang sama seperti yang Joshep tunjukkan padanya.
"Andai aku tau kau berada di sini, aku tak akan rela menginjakkan kaki ku ke kota terpencil ini." Ujar Joshep.
"Apa anda pikir aku sangat bahagia bertemu dengan anda? Seandainya dunia ini terbagi dua, aku ingin hidup di bagian yang di mana tidak ada anda di dalamnya!" balas Paula tidak mau kalah.
Sampai akhirnya sebuah ketukan pintu seorang perawat menghentikan perdebatan mereka, "Pasien atas nama Kevin di ruang gawat darurat kambuh lagi!" lapor perawat itu, membuat Joshep dan Paula berhamburan berlari menuju ke ruang gawat darurat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Azizah az
baru awal udh tegang ajah
2023-05-28
2
Aurizra Rabani
mampir like and favorit dulu
2023-05-24
2