"Dokter Joshep, ada pasien anak di ruang gawat darurat membutuhkan penanganan anda!" lapor seorang perawat yang berlarian ke ruangan Joshep, dokter muda yang baru beberapa hari bertugas di rumah sakit yang berada di desa terpencil itu.
Baru saja Joshep hendak menyuapkan nasi ke mulutnya, sejak pagi dirinya belum sempat sarapan, padahal hanya tingal satu jam lagi sudah masuk ke jam makan siang.
Beginilah nasib dokter muda yang baru pindah, harus selalu siap, apalagi kali ini tugasnya di sebuah rumah sakit kecil di pulau yang bisa di katakan terpencil, di mana hanya ada satu orang dokter setiap harinya yang berjaga di sana dan harus bisa menangani semua keluhan, kecuali untuk poly gigi dan kandungan, ada dokter khusus yang datang setiap dua hari sekali ke rumah sakit itu, terkadang juga mereka datang seminggu sekali, tak seperti dirinya yang harus selalu siap setiap saat di sana, bahkan rumah dinas yang di berikan pihak rumah sakit untuk tempat tinggal juga letaknya dekat sekali dengan rumah sakit, hanya sekitar kurang lebih sepuluh menit jika di tempuh dengan berjalan kaki, sehingga jika ada ppasien gawat darurat dan dirinya sedang berada di rumah pun tetap di panggil untuk datang jika tidak ada dokter jaga yang lain di rumah sakit.
Joshep menutup kembali bekal kotak makan yang niatnya di makan untuk sarapan itu, namun sampai mendekati waktu makan siang pun, masih belum sempat di sentuhnya.
"Pasien anak laki-laki berumur lima tahun, gejala susah bernafas, bibir membiru, sepertinya terkena serangan jantung." Terang perawat itu menerangkan pada Joshep di sela mereka berjalan melewati lorong menuju ruang gawat darurat.
Langkah besar Joshep kini semakin cepat setengah berlari setelah tahu jika pasien seorang anak kecil, dan gejala yang di sebutkan oleh perawat tadi sepertinya cukup urgent.
Joshep langsung menangani bocah yang kini terbaring lemah di ranjang, dengan cekatan Joshep terus berusaha mengembalikan kesadaran bocah laki-laki yang nyaris kehilangan kesaarannya karena nafasnya mulai melemah itu.
Setelah sekitar tiga puluh menit berjuang, di dalam ruang yang penuh dengan alat meski alatnya jauh dari kata canggih dan lengkap itu, akhirnya Joshep keluar dari ruangan yang selalu membuatnya seperti berada di medan peperangan itu.
Berjuang menyelamatkan nyawa orang di antara hidup dan mati bukan hal sepele, hal itu tidak hanya menguras tenaganya, namun juga pikirannya, dia akan sangat merasa lega saat dia sudah bisa membuat pasiennya keluar dari bahaya, sampai terkadang dia tidak memperdulikan kesehatannya sendiri demi kesehatan orang lain, sungguh ironis.
"Bagaimana keadaan Kevin, Dok?" Tanya wanita setengah baya menjegal langkah Joshep di muka pintu gawat darurat.
"Anda ibunya, atau?" Joshep tergelitik untuk tahu dan merasa penasaran apa hubungan pasien dengan wanita setengah baya yang kini menanyainya itu, karena wanita itu terlihat sangat tua jika untuk ukuran ibu bocah kecil itu.
"Saya gurunya, tadi dia pingsan di sekolah, sehingga saya langsung membawanya ke sini." Jawab wanita itu.
"Di mana orang tuanya?" Tanya Joshep lagi.
"Ibunya sedang dalam perjalanan kemari, syukurlah kalau Kevin baik-baik saja, saya bsa kembali ke sekolah kalau begitu, karena ibunya juga akan segera sampai, terima kasih atas bantuannya Dok!" Ujar wanita itu membungkukan badannya ke depan.
"Itu sudah menjadi tugas saya." Jawab Joshep sambil bergegas menuju ruangan nya kembali, perutnya sungguhbenar-benar terasa sangat lapar kali ini, tidak ada waktu untuk dirinya berbasa-basi lebih lama lagi, cacing dalam perutnya sudah berdemo minta di beri makanan, lagi pula dirinya tidak perlu menjelaskan tentang kesehatan anak itu pada wanita yag mengantarkan nya itu, karena wanita itu bukan keluarganya.
Sebelumnya Joshep juga sudah menitipkan pesn pada perawat di sana, untuk menyampaikan pada keluarga pasien agar menemuinya nanti di ruangannya jika sudah tiba, karena ada beberapa hal penting yang harus dia sampaikan pada keluarga pasien.
Pintu ruang praktek Joshep di ketuk dari luar saat dia baru saja menyelesaikan makan nya yang sempat tertunda, "Masuk!" ujarnya seraya membereskan kotak makan siangnya ke dalam tas dan menyimpannya di laci bawah meja.
Saat pintu di dorong dari luar dan terbuka, baik Joshep maupun orang yang kini berdiri mematung di ambang pintu sama-sama seperti kaget dan terkesima dengan penglihatan mereka saat ini.
"Josh--"
"Paula--"
Keduanya sama-sma bergumam lirih memanggil masing-masing nama orang yang berada di hadapan mereka saat ini.
Sampai akhirnya Joshep yang terlebih dahulu tersadar dan bisa mengontrol keadaan juga mengontrol dirinya sendiri, saat ini dia seorang dokter, dan harus profesional bersikap layaknya sebagai seorang dokter.
"Silahkan masuk!" Ujar Joshep datar dan tekesan dingin mempersilahkan wanita yang sempat dia panggil dengan nama Paula itu untuk masuk dan duduk berhadapan dengannya di meja kerjanya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Joshep seolah dia tidak pernah mengenal wanita di hadapannya yang dulu pernah menjadi istrinya meski hanya selama enam bulan lamanya itu.
"Sa-saya,,, saya di suruh perawat untuk menemui dokter Smith." Gagap Paula yang sama sekali tidak menyangka jia dokter Smith yang di maksud perawat tadi adalah Joshep Smith, mantan suaminya lima tahun yang lalu, ada ribuan orang bernama belakang Smith, dan Paula tidak menyangka jika itu Joshep Smith.
"Saya? Menyuruh perawat agar anda menemui saya?" Kening Joshep berkerut.
"Saya ibunya Kevin, pasien gawat darurat yang anda tangani tadi, kata perawat ada beberapa hal yang ingin anda sampaikan pada saya mengenai putra saya?" Gaya bicara Paula terlihatsangat canggung, begitu pun dengan Joshep, orang tidak akan pernah ada yang mengira jika mereka pernah saling mencintai dan terikat dalam pernikahan yang bahagia meski hanya dalam hitungan bulan saja, jika melihat interaksi mereka yang seperti sama-sama orang asing itu.
"Kevin, dia anak mu? Umurnya lima tahun, tepat seperti perpisahan kita yang sudah berlangsung selama itu, apa dia anak mu dengan laki-laki itu?" Tebak Joshep.
Sekuat tenaga Joshep menahan diri agar bersikap profesional, namun benteng pertahanannya luluh juga saat dia mendengar kenyataan pahit jika bocah laki-laki yang baru saja dia selamatkan nyawanya dari maut itu ternyata merupakan anak mantan istrinya yang di sinyalir hasil dari perselingkuhan saat dia memergoki Paula bersama seorang pria di dalam kamar hotel, apalagi jika memakai ilmu cocok lagi, usia anak laki-laki itu pas dengan waktu perpisahan mereka yang sama-sama sudah 5 tahun lamanya.
Seketika bayangan penghianatan Paula yang setengah mati berusaha dia lupakan kini terbayang lagi, adegan dimana Paula tidur nyaris tanpa busana di ranjang sebuah hotel bersama seorang pria asing kini terbayang kembali dengan jelas dalam ingatannya membuat dia kembali di selimuti kebencian di dadanya.
"Ya, dia anak ku. Tentang siapapun ayahnya, itu bukan urusan mu, bukankah anda di sini sebagai dokter, bersikaplah layaknya dokter yang profesional!" Tanpa di nyana, Paula pun kini menunjukkan kemarahan yang sama seperti yang Joshep tunjukkan padanya.
"Andai aku tau kau berada di sini, aku tak akan rela menginjakkan kaki ku ke kota terpencil ini." Ujar Joshep.
"Apa anda pikir aku sangat bahagia bertemu dengan anda? Seandainya dunia ini terbagi dua, aku ingin hidup di bagian yang di mana tidak ada anda di dalamnya!" balas Paula tidak mau kalah.
Sampai akhirnya sebuah ketukan pintu seorang perawat menghentikan perdebatan mereka, "Pasien atas nama Kevin di ruang gawat darurat kambuh lagi!" lapor perawat itu, membuat Joshep dan Paula berhamburan berlari menuju ke ruang gawat darurat.
Paula mondar mandir di depan pintu ruang gawat darurat di mana anaknya sedang di tangani oleh Joshep, muncul sedikit ketakutan dan kekhawatiran jika Joshep tidak akan mau menyelamatkan putranya memgingat betapa Joshep sangat membenci dirinya.
"Josh,, ah, maksud ku dokter Smith, bagaimana keadaan putra ku?" Paula langsung berhambur mendekati Joshep yang baru saja keluar dari ruangan di mana Kevin, bocah laki-laki berumur 5 tahun itu di rawat.
"Saat ini sudah stabil, tapi masih harus memonitor nya selama dua puluh empat jam kedepan. Anak mu menderita penyakit jantung bawaan?" tanya Joshep dingin, sejujurnya dia tidak ingin berbicara dengan Paula, namun mengiangat saat ini dirinya sedang berperan sebagai Dokter dan bukan sebagai mantan suami yang di hianati, mau tidak mau dirinya tetap harus berkomunikasi dengan Paula yang merupakan orang tua pasien yang tengah di tanganinya saat ini.
"Iya, Kevin menderita kelainan jantung sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan dokter sudah pernah mengatakan kemungkinan itu." Jawab Paula.
Hati Paula terasa berdesir dan merasa sakit saat dirinya harus tetap mempertahankan bayi dalm kandungannya saat itu meski dokter mengatakan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika Kevn di lahirkan dengan kelainan jantungnya, namun keputusannya sudah bulat, dia bertekad untuk tetap melahirkan bayinya apapun keadaannya, bagaimana pun sulitnya nanti.
"Apa ada riwayat turunan dari ayahnya atau keluarga ayahnya?" Tanya Joshep terdengar agak dingin saat membahas tentang ayah dari Kevin.
"Emhh tidak, tidak ada." jawab Paula, "Namun mungkin anda juga pernah ingat jika ayah ku menderita penyakit jantung juga." Sambung Paula.
"Aku tidak pernah mengingat-ingat hal yang tidak penting dalam kehidupan ku." Ujar Joshep terdengar dingin dn agak sinis.
"Ah, maaf." Ujar Paula lirih, dia lupa jika Joshep sngat membencinya, jadi dirinya mungkin masuk dalam kategori hal tidak penting untuk kehidupannya sehingga dengan mudahnya melupakan segala sesuatu tentang dirinya.
"Sebaiknya anda urus administrasi untuk rawat inap anak anda segera, dan perawat akan memonitor putra anda selama dua puluh empat jam penuh." Ujar Joshep sambil melengos dan melangkah pergi menjauh, sepertinya dia sangat enggan dan alergi jika berlama-lama dekat denagn Paula.
"Ba-baik, terima kasih Dokter Smith!" ucap Paula dengan tulus, mesku ucapan tulusnya sedikit pun tidak mendapatkan balasan dari Joshep, boro-boro menjawab ucapannya, menoleh pun sepertinya dia tidak sudi.
Paula melangkah menuju loket administrasi, namun sejurus kemudian dia terlihat kebingungan saat melihat nominal yang harus dia bayar untuk biaya rawat inap putrnya.
"Maaf, apa saya boleh membayar uang depositnya setengah dulu, dan besok baru saya lunasi?" Tanya Paula pada petugas administrasi di dalam loket.
Kedua petugas administrasi itu saling melempar tatapan, mereka sungguh merasa iba dengan keadaan Paula yang terlihat kebingungan, namun lagi-lagi ini peraturan rumah sakit yang tidak bisa senaknya dia langgar, apalagi mereka juga hanya sebagai pekerja biasa.
"Maaf bu, tapi biaya deposit harus di bayar di muka, baru putra anda bisa di rawat inap." Terang petugas itu meski merasa tiak tega namun harus tetap menyampaikan hal itu.
"Bagaimana kalau saya meminta waktu dua jam saja untuk mencari uang dan saya akan segera kembali untuk membayar kekurangan uangnya." tanya Paula lagi, dia sungguh tidak punya uang saat ini.
Tidak akan pernah ada yang menyangka jika wanita berbaju lusuh, dan wajah berminyak bercampur debu jalanan itu pernah menjadi istri dokter Joshep.
Paula yang dulu selalu menjadi juara kelas dan bercita-cita menjadi dokter itu penampilan nya kini sudah sangat jauh berbeda dengan Paula yang dulu merupakan primadona di sekolah, cantik dan populer, namun kini Paula sudah tidak pernah lagi punya waktu untuk merawat dirinya sendiri, waktunya habis untuk bekerja dan mencari uang demi anaknya, bahkan sehari dua puluh empat jam seras masih kurang untuk dirinya yang bekerja sebagai penjaga kasir di sebuah mini market, dan menjadi buruh cuci di waktu sengganganya, lantas memberi les bagi anak-anak di lingkungannya saat malam hari, semua itu Paula lakukan demi menyambung hidup dan juga untuk membeli obat yang harus selalu putranya konsumsi terus meneru selama putranya belum bisa menjalani operasi.
Bukannya Paula tidak mau mengoperasiputranya, hanya saja untuk biaya hidup sehari-hari saja rasanya masih sangat kurang, contohnya sekarang ini, untuk biaya rawat inap rumah sakit saja diinya masih harus mencari pinjaman.
Paula bergegas menemui ibu Victoria, pemilik mini market tempatnya bekerja, dia berniat untuk meminjam uang darinya, hanya dia satu-satunya harapan Paula, namun terkadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan, karena Victoria justru menolak untuk memberinya pinjaman.
"Tolonglah bu, saya sangat memerlukan uang itu untuk biaya rumah sakit anak saya." Mohon Paula mengiba.
"Maaf Paula, tapi hutang mu yang sebelumnya saja sudah sangat banyak, bahkan tidak akan cukup jika kamu membayarnya dengan gaji mu selama bertahun-tahun, aku membuka toko ini untuk mencari keuntungan, tapi jika keuntungannya terus di panjami oleh mu, lama-lama usaha ku ini akan gulung tikar!" Tolak Victoria dengan sinis.
"Saya mohon bu, saya akan segera mengembalikannya!" Paula bahkan kini telah berurai air mata, dia bingung harus kemana lagi mencari pinjaman.
"Tidak, aku tidak bisa memberi mu pijaman."
Setiap orang yang Paula temui dan mintai pertolongan jawabannya rata-rata ham,pir sama, mereka tidak mau memberinya pinjaman dengan alasan mereka yang berbeda-beda, membuat Paula akhirnya merasa putus asa.
Dalamkeputus asaannya itu, Paula kembali ke rumah sakit dengan tangan hampa, dia tidak langsung menemui petugas administrasi, namun langsung menemui putranya.
"Ibu menangis?" tanya bocah kecil yang kini sudah bisa terduduk di ranjangnya itu menyambut kedatangan Paula.
"Tidak, ibu hanya bahagia karena kamu sudah terlihat jauh lebih segar." Jawab Paula menyeka air mata yang terus mengalir di pipinya.
"Ita bu, aku sudah sehat sekarang, apa ibu mau menjamput ku untuk pulang? Ayo bu, aku mau pulang!" Rengek bocah itu.
"Tapi dokter belum mengizinkan mu untuk pulang, dan kamu masih harus menginap di sini."
"Tidak, aku tidak mau bu, kata teman ku, sat ibunya di rawat di rumah sakit, mereka sampai harus menjual sapi mereka untuk membayar biayanya, sementara kita tidak punya sapi untuk di jual, dengan apa kita membayarnya, ayo bu,,, kita pulang saja!" rengek Kevin lagi membuat hati Paula terasa bagai di remas.
Ibu macam apa dirinya yang bahkan untuk biaya rumah sakit anaknya saja tidak mampu untuk membayar, batin nya.
Dengan berat hati dan dengan prosedur yang sangat rumit akhirnya Paula bisa membawa Kevin pulang setelah menanda tagani surat pernyataan jika kepulangannya atas keinginan sendiri dantidak akan menuntut apapun pada pihak rumah sakit jika terjadi sesatu hal di kemudian hari.
Malam harinya saat Joshep berjaga, dia kebingungan karena tidak mendapati Kevin di ruang inap mana pun, "Di mana pasien anak kecil yang tadi terkena serangan jantung itu?" tanya Joshep pada perawat yang menemaninya berkeliling malam itu, smpai pasien terakhir dia tidak menemui Kevin, padahal bocah itu seharusnya masih dalam pengawasannya.
"Ah itu, Kevin? Dia pulang paksa dok." jawab perawat itu.
"Pulang paksa? Apa orang tuanya tidak tahu jika penyakit anak mereka berbahaya?" Kesal joshep.
"Maaf dok, tapi sepertinya mereka terkendala dalam pembayaran, ibunya menyatakanjika dia tidak bisa membayar deposit untuk biaya rawat inap anaknya."
"Berapa deposit yang harus di bayarnya?" tanya Joshep penasaran.
"Tiga juta, dok."
'Oh shiiiiiit, apa yang sebenarnya terjadi pada mu, mengapa uang segitu saja kau sampai tidak mampu untuk membayarnya, kehidupan macam apa yang kau dan suami mu jalani, pria macam apa yang kau pilih, sampai-sampai tidak bisa memberi mu uang segitu untuk kesembuhan anak mereka?' gumam Joshep dalam hatinya merasa kesal sekaligus miris dengan keidupan yang Paula jalani saat ini yang entah seperti apa.
Berbekal informasi yang dia dapatkan dari staf bagian administrasi, Joshep mendatangi kawasan tempat di mana Paula tinggal saat ini, kebetulan dirinya sedang mendapat jatah libur karena dokter senior yang sejak beberapa hari yang lalu ke luar kota dan tugasnya di gantikan olehnya kini telah kembali, sehingga dia mempunyai waktu luang yang lumayan panjang untuk mencari tahu kehidupan Paula sekarang ini.
Beberapa kali Joshep melihat ke arah titik map di ponselnya, dia merasa kurang yakin dengan ke akuratan peta digital yang kini malah membawanya ke suatu perkampungan yang sangat kumuh.
"Oh realy? Apa dia benar-benar tinggal di daerah seperti ini?" gumamnya berdialog dengan dirinya sendiri.
Rumah di daerah itu rata-rata bangunannya terbuat dari papan sebagai dindingnya dan atap menggunakan asbes, tidak ada satu pun rumah yang di bangun dengan tembok, hampir semuanya rata seperti itu penampakannya, ini terlihat seperti kawasan kumuh di pinggiran ibu kota, hanya saja ini terletak di desa teepencil sebuah pulau yang bisa di katakan terpencil di antara pulau besar lainnya.
Joshep menepikan kendaraanya, beberapa penduduk menatapnya dengan tatapan asing, jalan yang masih di penuhi bebatuan dan belum di aspal itu sepertinya jarang di lalui mobil pribadi, hanya beberapa angkutan umum berupa bis kecil yang lewat setiap beberapa jam sekali di sana, sehingga saat melihat Joshep menggunakan mobil di sana langsung terlihat mencolok, apalagi penampilan Joshep yang terlihat bersih, rapi, sudah bisa di simpulkan jika dia adalah seorang pendatang di sana.
"Maaf apa anda kenal dengan bocah laki-laki sekitar umur 5 tahun bernama Kevin?" Tanya Joshep pada seorang ibu muda yang sedang menemani bocah se-usia Kevin, logikanya mungkin bocah itu salah satu teman bermain Kevin di sana, lagi pula dia memang sengaja menanyakan Kevin dari pada Paula, baginya itu akan lebih mudah untuknya beralasan, tinggal bilang saja kalau Kevin adalah salah satu pasiennya yang harus dia kunjungi, sementara jika dia menanyakan Paula, dia tidak punya alasan kenapa dirinya harus mencari Paula.
"Kevin Hill? Putra dari Adam Hill yang bekerja di luar kota itu?" Ibu itu balik bertanya.
Joshep terdiam, karena dia tidak tahu mengetahui mengenai suami Paula, namanya pun baru dia dengar dan ketahui sekarang ini.
'Adam Hill? Itu nama suami baru mu Pau?' Batin Joshep.
"Tuan? Apa kevin itu yang anda maksud?" Tanya perempuan itu lagi karena tidak mendapat respon dari Joshep.
"Ah, iya,, itu sepertinya, apa ada Kevin lain selain itu?"
"Tidak, tapi kalau Kevin yang anda maksud adalah Kevin Hill, rumahnya di ujung jalan sana yang berwarna putih," Tunjuk wanita itu.
"Baik, terimakasih." Ujar Joshep sambil seraya mengangguk sebagai tanda hormat.
Tidak jauh dari sana, rumah berdinding papan seperti yang lain berwarna putih sudah terlihat, hanya satu-satunya rumah bercat putih di ujung jalan sana, sehingga Joshep yakin jika itu adalah rumah kediaman Paula, terlebih samar-samar terlihat Kevin yang sedang duduk di teras rumahnya menonton anak-anak lain yang sedang bermain berlarian.
Entah keberanian dari mana, Joshep turun dari mobilnya dan berjalan mendekat ke arah di mana Kevin duduk sambil menatap teman sebayanya yang asik bermain, beberapa kali dia ikut tertawa sat di rasa ada kejadian lucu yang teman-temannya lakukan.
"Kevin!" Panggil Joshep, membuat bocah laki-laki lima tahun itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya, saking asiknya dia sampai tidak sadar jika Joshep telah beriri di dekatnya.
"Oh, tuan Dokter!" Sapa Kevin, bocah itu masih mengenali wajah Joshep meski baru sekali berjumpa, biasanya dokter lain yang menangani dia jika penyakit bocah itu kebetulan kambuh.
"Bagaimana keadaan mu?" Tanya Joshep seraya ikut mendudukan diri di teras rumah di sebelah Kevin.
"Baik Tuan Dokter!" Jawabnya dengan polos.
"Jangan panggil aku Tuan, cukup Dokter saja." Pinta Joshep merasa agak sedikit risi dengan panggilan yang baginya terlalu berlebihan itu.
"Di mana orang tua mu? Aku ingin bertanya mengapa mereka memulangkan mu secara paksa, sementara seharusnya kau masih dalam perawatan kami." Mata Joshep memindai sekeliling mencari keberadaan Paula yang tidak terlihat sejak tadi.
"Keadaan ku sudah membaik, Ibu ku hanya bekerja di mini market, kadang-kadang dia juga menjadi buruh cuci di rumah orang kaya, sementara ayah ku, bekerja di kebun sawit di luar pulau, yang pulangnya setiap tiga bulan sekali, mereka tidak punya uang untuk biaya rawat inap, aku tidak mau menyulitkan mereka." Terang bocah itu menceritakan tentang orang tuanya.
Hati Joshep terasa perih mendengar cerita Kevin mengenai bagaimana sulitnya mereka menjalani hidup, namun balik lagi toh itu sudah menjadi pilihan Paula, dia lebih memilih hidup susah di banding hidup bersamanya dulu.
"Di mana ibu mu sekarang?" Tanya Joshep lagi.
"Ibu di mini market di dekat pasar, hari ini ibu shift siang, jadi jam 10 malam nanti baru akan pulang ke rumah." jawab Kevin, bocah yang di dewasakan karena keadaan itu seperti sudah terbiasa menjalani hidupnya yang sulit ini.
"Lantas kau bersama siapa di rumah?"
"Sendiri, aku sudah terbiasa dan itu baik-baik saja, aku seorang laki-laki dan aku sudah cukup besar, Dok. Jadi aku tidak pernah merasa takut sendirian." Terangnya dengan santai.
Joshep tersenyum getir melihat ketegaran bocah laki-laki yang mempunyai manik mata berwarna biru seperti dirinya, sementara mata Paula berwarna coklat terang.
"Baiklah Kevin, aku datang ke sini hanya untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja, tidak usah mengatakan apapun pada ibu mu, agar dia tidak merasa khawatir." Kilah Joshep agar bocah itu tidak memberi tahukan ibunya perihal kedatangannya ke tempat ini, akan lebih baik jika Paula tidak mengetahuinya, pikir Joshep.
"Kau tidak bermain bersama mereka?" tanya Joshep ketika melihat betapa Kevin sangat ingin bermain bersama teman-teman sebayanya.
Kevin menggeleng, "Jantung ku rusak dokter, kata ibu jika aku kelelahan maka penyakit ku akan kambuh, aku tidak mau membuat ibu sedih, jadi melihat mereka bermain saja aku sudah sangat bahagia, ibu berjanji, suatu hari nanti dia akan membelikan ku jantung yang baru untuk ku agar aku bisa bermain lari-larian bersama mereka dan tidak banyak bolos sekolah karena kelelahan, tapi kata ibu harga jantung baru itu sangat mahal, dan aku harus bersabar, tapi ibu ku orang yang tidak pernah ingkar janji, aku percaya dia pasti akan memenuhi janjinya pada ku, dia ibu terhebat yang aku miliki." Ujar Kevin membanggakan ibunya.
Joshep kembali tesenyum perih, seraya berkata dalam hatinya, 'Ya,,, dia memang ibu yang hebat untuk mu, tapi dia bukan istri yang hebat untuk ku.'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!