Penulis Online Yang Diremehkan
“Ini dari suamimu!” Amira menerima uang dari ibu mertuanya. Suaminya baru saja berangkat kerja ketika Amira masih di rumah tetangga.
Padahal, Amira sudah ngomong pada suaminya untuk tidak menitip uang lewat ibunya. Dia tidak mau terus dipandang rendah oleh ibu mertuanya itu.
Amira menerima pemberian uang dari ibu mertuanya. “Terima kasih, Bu.” Ucap Amira tulus.
Namun, ibu mertuanya tidak melihat ketulusan pada Amira. Wanita itu selalu saja memandang Amira sebagai wanita yang tidak berguna. Dia hanya menghabiskan uang anaknya tanpa ada usaha untuk mencari kerja.
Padahal, Amira lulusan sarjana sehingga mudah saja baginya untuk cari kerja. Apalagi, keluarganya banyak dari kalangan pejabat dan orang-orang terkenal. Harusnya, Amira pergi minta kerjaan pada keluarnya itu. Itulah yang selalu ada dalam pikiran Bu Dewi, ibu mertua Amira sehingga dia selalu memandang rendah Amira.
Bukan hanya ibu mertuanya, tetapi sepupu dari suaminya juga berpikiran sama dengan ibu mertuanya membuat Amira hampir kehilangan kesabaran.
Mereka selalu mengatakan Amira hanya mengandalkan uang suaminya. Sepupu dari suaminya itu seorang pegawai negeri di kampung sehingga ibu mertuanya selalu membanggakan keponakannya itu dan merendahkan Amira yang ditanya hanya pengangguran dengan gelar sarjana.
Amira baru menikah dengan Devan tiga bulan lalu, tapi ibu mertuanya sudah menunjukkan sikap tidak terima pada Amira.
Beruntung, Amira orangnya cuek dan banyak tidak peduli terhadap orang yang benci padanya.
Bukan hanya soal kerjaan, bahkan persoalan Amira belum hamil padahal sudah menikah tiga bulan menjadi buah bibir ibu mertuanya. Untuk yang satu ini, Amira sedikit terluka, tetapi di bawa santai saja. Dia sekuat tenaga berusaha terlihat baik-baik saat ini mertuanya membahas soal kehamilan.
Kerap kali, ibu mertuanya membandingkan Amira dengan keponakannya yang sudah hamil anak kedua.
Bukan hanya ibu mertuanya yang membahas soal anak, tapi kakak iparnya juga kerap kali bertanya pada ibunya yang tak lain adalah ibu mertua Amira apakah Amira sudah hamil atau belum.
Amira hanya bisa senyum ketika mendengar ibu mertua dan kakak iparnya membahas dirinya yang belum hamil. Dia hanya bisa menyimpan sendiri tanpa ada teman untuk cerita. Bahkan, pada suami sendiri pun Amira tidak kuasa untuk cerita karena dia masih agak canggung pada suaminya.
Amira dan Devan menikah karena dijodohkan. Amira sempat menolak, tapi Devan dan keluarganya begitu gigih mendekati keluarga Amira hingga pada akhirnya dia setuju.
Saat itu, Amira sedang bekerja di sebuah instansi pemerintah provinsi. Dia kerja sebagai karyawan honorer. Namun, gajinya tidak sama dengan karyawan honorer biasa. Dia kerap kali membantu atasan menggarap proyek sehingga banyak gaji yang di dapatnya.
Dari gaji itu, Amira bisa membeli apapun yang dia mau termasuk mengoleksi beberapa boneka dan tas. Tetapi, ketika dia menikah dengan Devan, dia harus meninggalkan kerjaannya karena harus ikut suami tinggal di kampung.
Tidak ada yang tahu pekerjaan Amira sebelumnya. Bahkan, para tetangga pun tidak tahu jika Amira sudah kerja. Hanya dia, keluarganya dan beberapa teman dekatnya yang tahu pekerjaan Amira.
Selain kerja sebagai pegawai honorer, Amira juga aktif menulis di beranda Facebook atau hanya sekedar menulis lalu menyimpannya di memori ponsel.
Namun, setelah menikah dengan Devan, kehidupan Amira berubah 360 derajat. Semua kehidupannya harus sesuai dengan aturan keluarga Devan. Bahkan, Amira yang memiliki riwayat lambung harus menahan lapar di pagi hari karena Devan dan keluarganya sarapan jam sembilan pagi.
Devan sudah mengingatkan Amira untuk makan saja tanpa menunggu dirinya, tapi Amira menolak. Dia lebih baik menahan laparnya daripada mendengar ocehan ibu mertuanya.
Tak sedikit malam Amira habiskan dengan menangis dalam diam. Dia menangisi hidupnya yang tidak seperti sebelumnya. Sebelum menikah, dia begitu bahagia karena bisa menikmati apa saja yang diinginkan. Namun, dia tidak membiarkan Devan tahu jika dia sedang menangis.
Selama menikah dengan Devan, baru satu kali dia menangis di hadapannya. Itu karena dia tidak sanggup lagi menahan beban di hati. Saat ditanya sama suaminya, Amira tidak menjawab. Bahkan, tangisnya makin menjadi.
“Assalamualaikum ...!” Terdengar salam dari luar ketika Amira dan ibu mertuanya masih menyiapkan sarapan di dapur.
Setelah terdengar salam itu, muncullah sepupu dari Devan yang sedang hamil empat bulan itu. Amira sudah siap jika dia akan dibandingkan lagi.
“Ada sayurmu, tante?” tanya Wiwin, sepupu dari Devan itu.
“Oh iya, ada. Itu Amira baru saja masak. Lagi pingin makan sayur disini lagi, ya?” tanya Bu Dewi dengan senyum aneh melirik Amira yang sedang menggoreng ikan.
Amira pura-pura tidak melihat, padahal ekor matanya masih bisa menangkap mimik wajah meremehkan pada ibu mertuanya.
“Boleh minta sayurmu, Mir?” Wiwin mendekatiku.
“Oh iya, silakan, kak. Kebetulan masih panas.”
Wiwin mengambil piring dan sendok. Dia mengambil sayur asem yang baru saja Amira siapkan. Dia berharap setelah mengambil sayur, Wiwin akan pergi agar tidak banyak pembahasan yang menyudutkan dirinya.
Namun, harapan Amira sepertinya tidak akan terlaksana. Wiwin malah duduk anteng di dekat ibu mertuanya sambil menikmati sayur buatan Amira.
“Sudah berapa bulan, Win?” tanya Bu Dewi pada Wiwin. Pertanyaan itu selalu ada hampir setiap Wiwin berkunjung ke rumahnya.
“Sudah empat bulan, Tante.” Jawab Wiwin sambil memasukkan sayur ke dalam mulutnya.
“Oh. Kamu ngga ke kantor lagi?” Bu Dewi bertanya dengan suara yang agak besar.
“Iya, aku lagi cuti Tante. Soalnya, lagi pusing.” Jawab Wiwin.
“Oh. Enak ya, punya suami pegawai negeri, kamu juga pekerja kantoran. Gajinya bisa digabung. Ngga hanya dari suamimu, tapi dari kami juga.”
Amira tahu apa maksud dari pujian yang ditujukan pada Wiwin itu. Sudah dipastikan, dalam pujian untuk Wiwin, ada sindiran untuk Amira.
“Aku cuman ngisi waktu kok, Tante. Gajiku ngga seberapa. Hanya bisa beli susu buat Tristan aja.” Ucap Wiwin. Tristan adalah anak pertama Wiwin yang umurnya sudah dua tahun.
“Bagus itu. Setidaknya, gelar sarjanamu berguna.”
Wiwin hanya tersenyum mendengar perkataan tantenya. Dia sudah merasa tidak enak pada Amira.
Amira sudah selesai menggoreng ikan. Dia keluar dari dapur dan masuk ke kamarnya. Di kamar, dia mengambil ponsel lalu mengetik beberapa kalimat dalam tulisannya. Dia tidak menangis seperti wanita kebanyakan. Atau seperti wanita dalam sinetron ikan terbang. Amira tidak secengeng itu.
Setelah menyelesaikan tulisan satu bab, Amira membaca cerita karya penulis senior untuk menambah ilmu kepenulisan. Dari salah satu penulis senior, Amira tahu salah satu aplikasi menulis online bisa menghasilkan uang hingga berjuta-juta.
Amira mencoba membuka aplikasi itu, tetapi tidak langsung menulis. Dia memperhatikan aturan menulis dalam aplikasi itu karena cerita yang dibacanya dari penulis senior tidak membahas aturan dalam aplikasi menulis itu.
Amira melihat beberapa angka gaji yang menggiurkan tetapi syaratnya juga begitu besar. Amira harus mendapat pembaca setia untuk mendapatkan gaji dari aplikasi itu.
Padahal, Amira sudah menggebu-gebu saat membaca cerita dari penulis senior itu. Sekitar satu Minggu di mempelajari aturan dalam aplikasi itu, akhirnya dia memutuskan untuk terjun di aplikasi itu dan meninggalkan beberapa aplikasi yang sebelumnya dia gunakan untuk menulis.
Amira sibuk mengutak-atik ponselnya hingga tidak menyadari waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Harusnya, dia sudah berada di dapur sekarang. Amira memakai hijab dan menuju dapur. Dia mendapat sarapan tatapan tajam dari ibu mertuanya.
“Suami pergi kerja tapi istri masih tidur.” Sindir ibu mertuanya. Tetapi, Amira diam saja. Dia mengambil piring kotor untuk di cuci.
Hari-hari Amira hanya di habiskan di dapur dan di kamar tanpa luar untuk bergabung dengan para tetangga. Amira tidak suka bergosip sehingga dia tidak ikut dengan tongkrongan para tetangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Zhu Yun💫
Ayo semangat up terus kakak 💪😇
2023-05-19
1