NovelToon NovelToon

Penulis Online Yang Diremehkan

Uang Dari Suami

“Ini dari suamimu!” Amira menerima uang dari ibu mertuanya. Suaminya baru saja berangkat kerja ketika Amira masih di rumah tetangga.

Padahal, Amira sudah ngomong pada suaminya untuk tidak menitip uang lewat ibunya. Dia tidak mau terus dipandang rendah oleh ibu mertuanya itu.

Amira menerima pemberian uang dari ibu mertuanya. “Terima kasih, Bu.” Ucap Amira tulus.

Namun, ibu mertuanya tidak melihat ketulusan pada Amira. Wanita itu selalu saja memandang Amira sebagai wanita yang tidak berguna. Dia hanya menghabiskan uang anaknya tanpa ada usaha untuk mencari kerja.

Padahal, Amira lulusan sarjana sehingga mudah saja baginya untuk cari kerja. Apalagi, keluarganya banyak dari kalangan pejabat dan orang-orang terkenal. Harusnya, Amira pergi minta kerjaan pada keluarnya itu. Itulah yang selalu ada dalam pikiran Bu Dewi, ibu mertua Amira sehingga dia selalu memandang rendah Amira.

Bukan hanya ibu mertuanya, tetapi sepupu dari suaminya juga berpikiran sama dengan ibu mertuanya membuat Amira hampir kehilangan kesabaran.

Mereka selalu mengatakan Amira hanya mengandalkan uang suaminya. Sepupu dari suaminya itu seorang pegawai negeri di kampung sehingga ibu mertuanya selalu membanggakan keponakannya itu dan merendahkan Amira yang ditanya hanya pengangguran dengan gelar sarjana.

Amira baru menikah dengan Devan tiga bulan lalu, tapi ibu mertuanya sudah menunjukkan sikap tidak terima pada Amira.

Beruntung, Amira orangnya cuek dan banyak tidak peduli terhadap orang yang benci padanya.

Bukan hanya soal kerjaan, bahkan persoalan Amira belum hamil padahal sudah menikah tiga bulan menjadi buah bibir ibu mertuanya. Untuk yang satu ini, Amira sedikit terluka, tetapi di bawa santai saja. Dia sekuat tenaga berusaha terlihat baik-baik saat ini mertuanya membahas soal kehamilan.

Kerap kali, ibu mertuanya membandingkan Amira dengan keponakannya yang sudah hamil anak kedua.

Bukan hanya ibu mertuanya yang membahas soal anak, tapi kakak iparnya juga kerap kali bertanya pada ibunya yang tak lain adalah ibu mertua Amira apakah Amira sudah hamil atau belum.

Amira hanya bisa senyum ketika mendengar ibu mertua dan kakak iparnya membahas dirinya yang belum hamil. Dia hanya bisa menyimpan sendiri tanpa ada teman untuk cerita. Bahkan, pada suami sendiri pun Amira tidak kuasa untuk cerita karena dia masih agak canggung pada suaminya.

Amira dan Devan menikah karena dijodohkan. Amira sempat menolak, tapi Devan dan keluarganya begitu gigih mendekati keluarga Amira hingga pada akhirnya dia setuju.

Saat itu, Amira sedang bekerja di sebuah instansi pemerintah provinsi. Dia kerja sebagai karyawan honorer. Namun, gajinya tidak sama dengan karyawan honorer biasa. Dia kerap kali membantu atasan menggarap proyek sehingga banyak gaji yang di dapatnya.

Dari gaji itu, Amira bisa membeli apapun yang dia mau termasuk mengoleksi beberapa boneka dan tas. Tetapi, ketika dia menikah dengan Devan, dia harus meninggalkan kerjaannya karena harus ikut suami tinggal di kampung.

Tidak ada yang tahu pekerjaan Amira sebelumnya. Bahkan, para tetangga pun tidak tahu jika Amira sudah kerja. Hanya dia, keluarganya dan beberapa teman dekatnya yang tahu pekerjaan Amira.

Selain kerja sebagai pegawai honorer, Amira juga aktif menulis di beranda Facebook atau hanya sekedar menulis lalu menyimpannya di memori ponsel.

Namun, setelah menikah dengan Devan, kehidupan Amira berubah 360 derajat. Semua kehidupannya harus sesuai dengan aturan keluarga Devan. Bahkan, Amira yang memiliki riwayat lambung harus menahan lapar di pagi hari karena Devan dan keluarganya sarapan jam sembilan pagi.

Devan sudah mengingatkan Amira untuk makan saja tanpa menunggu dirinya, tapi Amira menolak. Dia lebih baik menahan laparnya daripada mendengar ocehan ibu mertuanya.

Tak sedikit malam Amira habiskan dengan menangis dalam diam. Dia menangisi hidupnya yang tidak seperti sebelumnya. Sebelum menikah, dia begitu bahagia karena bisa menikmati apa saja yang diinginkan. Namun, dia tidak membiarkan Devan tahu jika dia sedang menangis.

Selama menikah dengan Devan, baru satu kali dia menangis di hadapannya. Itu karena dia tidak sanggup lagi menahan beban di hati. Saat ditanya sama suaminya, Amira tidak menjawab. Bahkan, tangisnya makin menjadi.

“Assalamualaikum ...!” Terdengar salam dari luar ketika Amira dan ibu mertuanya masih menyiapkan sarapan di dapur.

Setelah terdengar salam itu, muncullah sepupu dari Devan yang sedang hamil empat bulan itu. Amira sudah siap jika dia akan dibandingkan lagi.

“Ada sayurmu, tante?” tanya Wiwin, sepupu dari Devan itu.

“Oh iya, ada. Itu Amira baru saja masak. Lagi pingin makan sayur disini lagi, ya?” tanya Bu Dewi dengan senyum aneh melirik Amira yang sedang menggoreng ikan.

Amira pura-pura tidak melihat, padahal ekor matanya masih bisa menangkap mimik wajah meremehkan pada ibu mertuanya.

“Boleh minta sayurmu, Mir?” Wiwin mendekatiku.

“Oh iya, silakan, kak. Kebetulan masih panas.”

Wiwin mengambil piring dan sendok. Dia mengambil sayur asem yang baru saja Amira siapkan. Dia berharap setelah mengambil sayur, Wiwin akan pergi agar tidak banyak pembahasan yang menyudutkan dirinya.

Namun, harapan Amira sepertinya tidak akan terlaksana. Wiwin malah duduk anteng di dekat ibu mertuanya sambil menikmati sayur buatan Amira.

“Sudah berapa bulan, Win?” tanya Bu Dewi pada Wiwin. Pertanyaan itu selalu ada hampir setiap Wiwin berkunjung ke rumahnya.

“Sudah empat bulan, Tante.” Jawab Wiwin sambil memasukkan sayur ke dalam mulutnya.

“Oh. Kamu ngga ke kantor lagi?” Bu Dewi bertanya dengan suara yang agak besar.

“Iya, aku lagi cuti Tante. Soalnya, lagi pusing.” Jawab Wiwin.

“Oh. Enak ya, punya suami pegawai negeri, kamu juga pekerja kantoran. Gajinya bisa digabung. Ngga hanya dari suamimu, tapi dari kami juga.”

Amira tahu apa maksud dari pujian yang ditujukan pada Wiwin itu. Sudah dipastikan, dalam pujian untuk Wiwin, ada sindiran untuk Amira.

“Aku cuman ngisi waktu kok, Tante. Gajiku ngga seberapa. Hanya bisa beli susu buat Tristan aja.” Ucap Wiwin. Tristan adalah anak pertama Wiwin yang umurnya sudah dua tahun.

“Bagus itu. Setidaknya, gelar sarjanamu berguna.”

Wiwin hanya tersenyum mendengar perkataan tantenya. Dia sudah merasa tidak enak pada Amira.

Amira sudah selesai menggoreng ikan. Dia keluar dari dapur dan masuk ke kamarnya. Di kamar, dia mengambil ponsel lalu mengetik beberapa kalimat dalam tulisannya. Dia tidak menangis seperti wanita kebanyakan. Atau seperti wanita dalam sinetron ikan terbang. Amira tidak secengeng itu.

Setelah menyelesaikan tulisan satu bab, Amira membaca cerita karya penulis senior untuk menambah ilmu kepenulisan. Dari salah satu penulis senior, Amira tahu salah satu aplikasi menulis online bisa menghasilkan uang hingga berjuta-juta.

Amira mencoba membuka aplikasi itu, tetapi tidak langsung menulis. Dia memperhatikan aturan menulis dalam aplikasi itu karena cerita yang dibacanya dari penulis senior tidak membahas aturan dalam aplikasi menulis itu.

Amira melihat beberapa angka gaji yang menggiurkan tetapi syaratnya juga begitu besar. Amira harus mendapat pembaca setia untuk mendapatkan gaji dari aplikasi itu.

Padahal, Amira sudah menggebu-gebu saat membaca cerita dari penulis senior itu. Sekitar satu Minggu di mempelajari aturan dalam aplikasi itu, akhirnya dia memutuskan untuk terjun di aplikasi itu dan meninggalkan beberapa aplikasi yang sebelumnya dia gunakan untuk menulis.

Amira sibuk mengutak-atik ponselnya hingga tidak menyadari waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Harusnya, dia sudah berada di dapur sekarang. Amira memakai hijab dan menuju dapur. Dia mendapat sarapan tatapan tajam dari ibu mertuanya.

“Suami pergi kerja tapi istri masih tidur.” Sindir ibu mertuanya. Tetapi, Amira diam saja. Dia mengambil piring kotor untuk di cuci.

Hari-hari Amira hanya di habiskan di dapur dan di kamar tanpa luar untuk bergabung dengan para tetangga. Amira tidak suka bergosip sehingga dia tidak ikut dengan tongkrongan para tetangga.

Kesal

Suasana rumah yang begitu ramai membuat Amira tidak fokus untuk menulis. Dia sudah berusaha konsentrasi tetapi suara di luar tetap saja mengganggu konsentrasinya. Dia meletakkan ponsel dan menarik selimut. Lebih baik tidur saja daripada berusaha konsentrasi tetapi tetap saja tidak bisa.

Baru saja menarik selimut, suara dari luar menghentikannya.

“Amira!”

Itu suara ibu mertuanya. Amira segara memakai hijab dan menghampiri ibu mertuanya.

“Iya, Bu.” Jawabnya ketika sudah sampai di hadapan ibu mertuanya.

“Riska ingin minum teh.” Ucap ibu mertuanya.

Dengan menahan kesal, Amira ke dapur. Dia membuat teh dengan wajah cemberut karena Riska bukan lagi anak kecil yang harus di layani. Dia sudah kelas dua sekolah menengah atas. Harusnya, dia sudah bisa membuat teh sendiri. Lagian, Amira menikah dengan Devan bukan untuk menjadi pembantu bagi keponakan-keponakan Devan.

Ya. Riska adalah cucu dari ibu mertuanya yang sering menginap di rumah ibu mertuanya. Amira sebenarnya senang-senang saja jika mereka kumpul di situ. Hanya saja, jangan mengganggu dia jika ada keinginan apa-apa.

Lagian, Amira sudah menyiapkan makanan di dapur. Jika ingin yang lain, maka buatlah sendiri.

Namun, karena masih baru di keluarga itu, Amira menurut saja dulu.

Amira meletakkan teh itu di hadapan Riska lalu beranjak kembali ke kamarnya. Dia akan melanjutkan tidurnya yang tertunda. Namun, ide di otaknya muncul kembali. Segera dia mengambil ponsel dan mulai merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan jadilah satu bab cerita.

Amira hanyut dalam menulisnya hingga tidak menyadari jika Devan sudah berada di hadapannya.

“Selingkuh lagi?” ucap Devan menci*m kening istrinya.

“Eh, mas. Maaf, Amira tidak tahu jika kamu sudah datang.” Ucap Amira meletakkan ponselnya.

“Mau makan sekarang?” lanjutnya bersiap bangun.

“Nanti dulu, deh. Aku mau disini dulu sama kamu.”

Setelah mengucapkan itu, Devan berbaring di samping istrinya. Amira mengerti maksud Devan. Dia menggeser guling yang sejak tadi di peluknya.

***

Azan Ashar membangunkan pasangan suami istri yang tertidur lelap. Mereka bergantian mandi sebelum melaksanakan kewajiban menghadap Tuhan.

Devan mandi lebih dulu. Setelah mandi, Devan melihat istrinya kembali tidur. Dia tidak tega membangunkannya. Devan melaksanakan salat Ashar sendiri tanpa menunggu istrinya.

Amira membuka mata. Dia mendapati Devan tengah Salat di samping tempat tidur. Dia segera bangun untuk mandi dan merutuki Devan yang tidak menunggunya.

“Kamu tidak bangunin aku.” Ucap Amira mengerucutkan bibir. Dia baru saja selesai mandi dan Devan sedang mengotak-atik ponsel.

“Aku kasihan kamu lelap gitu.” Ucap Devan.

Amira hanya mengerucutkan bibir lalu mengambil mukenah untuk melaksanakan kewajibannya.

Setelah Salat, Devan dan Amira ke dapur untuk makan siang. Eh. Bukan lagi makan siang namanya, tetapi makan sore karena saat ini, bukan lagi waktu siang.

“Jam segini baru makan.” Ucap Bu Dewi tanpa basa-basi.

Amira dan Devan cuek saja. Mereka tetap menikmati makanan yang ada di hadapan mereka. Setelah makan, seperti biasa Amira akan mencuci piring kotor yang sudah di pakai.

Tidak ada kesempatan untuk ngobrol dengan keluarganya. Amira masuk kamar setelah selesai mencuci piring. Dia terlalu enggan untuk gabung dengan mereka yang tidak menginginkannya ada.

Devan hanya berharap, Devan segera mengajaknya pindah dari rumah orang tuanya itu. Walaupun disitu Devan sebagai anak kandung, tapi kepribadian Devan yang tidak mau berdebat dengan orang tuanya membuat Devan selalu diam dengan apa yang terjadi. Diamnya Devan, menjadi bumerang bagi Amira yang selalu disindir.

Devan bekerja sebagai guru kelas satu di di sekolah dasar tempat mereka tinggal. Setiap hari, Devan akan berangkat pagi. Kadang, dia sarapan kadang juga tidak, tapi lebih banyak tidaknya karena dia akan pulang jam sembilan. Paling lambat setengah sepuluh.

“Mas, tadi ....”

“Udah, ngga usah dipikirin.”

Devan menyelah ucapan Amira yang belum selesai. Devan tahu apa yang akan Amira bahas. Pasti, istrinya itu akan membahas masalah tadi sehingga Devan menyelanya.

Amira hanya menghembuskan nafas saja mendengar Devan yang menyela ucapannya yang belum selesai. Selalu saja begitu, setiap dia mau cerita dengan suaminya, Devan selalu menyela atau sibuk dengan ponselnya tanpa memedulikan Amira yang ingin sekali cerita dengannya layaknya suami dan istri.

Namun, Amira tetap sabar walaupun Devan selalu saja seperti itu. Bisa dibilang, selama pernikahan mereka, belum pernah sekalipun bicara serius tentang rumah tangga mereka kedepannya. Setiap Amira memulai pembahasan itu, maka Devan akan mengatakan tidak perlu memikirkan yang belum tiba.

Kalimat itu selalu menjadi jawaban Devan ketika Amira memulai pembicaraan serius dengannya.

Pernah Amira berpikir, Devan tidak mencintainya. Tapi, perlakuan Devan padanya tidak menunjukkan Devan tidak suka padanya. Ketika Amira sakit, Devan selalu ada di dekatnya. Bahkan, ketika Amira tidak bisa tidur di malam hari, Devan dengan setia menemaninya.

“Mas, aku mau ke rumah ibu, boleh?” tanya Amira hati-hati.

Sudah beberapa hari ini dia tidak ke rumah orang tuanya. Rasa rindunya pada wanita yang sudah melahirkannya itu butuh di obati. Bukan hanya pada ibunya, tapi Amira rindu pada ayahnya. Setiap kali dia sakit hati pada Devan, dia akan selalu memikirkan ayahnya.

Amira merasakan cinta kasih yang tulus dari ayahnya walaupun pria itu tidak pernah sekalipun mengatakan rasa cinta dan sayangnya pada Amira. Namun, Amira bisa merasakan kasih sayang itu.

Saat Amira menikah, ayahnya seperti tidak rela melepas tanggung jawabnya pada orang lain. Dia seperti masih ingin menjaga Amira di tangannya. Namun, ayahnya tidak bisa melarang keinginan istrinya untuk segera menikahkan Amira dengan Devan.

Sejak sebelum akad nikah di langsungkan, mata ayah Amira berkaca-kaca. Mata itu seolah menandakan rasa sedih juga bahagia melihat anak yang dulunya selalu dia manjakan, selalu dia tanyakan kabarnya jika jauh, selalu dia rawat ketika sakit, kini akan diambil oleh pria yang akan disebutnya sebagai menantu.

Bukan hanya ayah Amira yang sedih, tapi Amira juga sangat sedih saat pernikahannya. Disamping karena dia belum bisa move on dengan mantan kekasihnya, dia juga masih ingin bermanja-manja pada ayahnya.

Ketika libur, Amira akan menghabiskan waktu liburnya di kampung halaman bersama kedua orang tuanya. Di rumah, Amira selalu dianggap anak kecil oleh ayahnya. Bahkan, motor yang ada di samping rumah pun ayahnya tidak membiarkan Amira mengeluarkannya sendiri. Ayah masih menganggap Amira anak kecil, padahal Amira sudah sangat mandiri karena di tempat kerja, dia selalu melakukannya sendiri.

Mengingat itu, Amira meneteskan air mata dalam diam. Dia tidak mau Devan tahu jika dia sedang menangis. Jika ditahu pun, Devan juga tidak akan peduli. Entah itu cara Devan membiarkanku sampai bisa tenang, atau dia tidak peduli karena memang tidak mau tahu apa yang membuat Amira sedih.

“Boleh. Kunci motor ada di tempat biasa.” Ucap Devan tanpa mengalihkan pandangan dari benda pipih itu.

“Tidak perlu, mas. Aku jalan kaki aja.” Ucap Amira memakai hijabnya.

Sebenarnya, dia ingin Devan mengantarnya tapi Amira sungkan harus bicara pada Devan. Padahal, Devan bukan orang lain. Dia adalah suaminya sendiri.

“Ya udah.” Jawaban singkat Devan menambah luka dihati Amira. Namun, dia menahannya.

Sebelum keluar dari rumah, Amira melihat dulu ponselnya. Ada notifikasi dari aplikasi menulisnya. Ada yang like dan komentar di tulisannya. Amira tersenyum, tapi belum membalas komentar itu. Biarlah dia membalasnya ketika sudah di rumah ibunya.

Rencana Program Hamil

[Kak. Kakak kok sabar banget, ya? Ngga ada rencana pindah aja dari rumah mertua?]

Tulis salah satu akun di cerita yang Amira buat. Amira memberi tanda love pada komentar itu, lalu membalas dengan emot senyum.

Bukan. Bukan keinginan Amira untuk tetap tinggal dengan mertuanya, tapi mereka belum punya rumah sendiri. Jika harus tinggal di rumah orang tuanya, Amira memikirkan Devan yang mungkin tidak akan nyaman karena Amira punya banyak saudara.

Amira memikirkan kenyamanan Devan, tapi Devan seolah tidak memikirkan perasaan Amira. Kendati demikian, Amira masih sabar. Dia percaya dengan rencana Tuhan kedepannya.

[Kakak, boleh ajarin cara menulis biar bisa dapat gaji ngga?]

Komentar itu membuat Amira meliangkan waktu untuk membalas dengan kata-kata.

[Kakak silakan add aku di Facebook, ya. Nanti aku ajarin sampai kakak tanda tangan kontrak. Gratis.] Balas Amira pada kolom komentar.

“Amira? Sendiri saja, nak?” tanya ayah Amira yang baru pulang dari kerja.

“Iya, yah.” Jawab Amira meraih tangan ayahnya.

“Devan kenapa tidak ikut?” tanya ayahnya lagi.

“Devan lagi ada kerjaan, yah.” Jawab Amira sedikit berbohong.

“Oh, ya udah. Ayah masuk dulu, ya. Mau mandi.”

Amira hanya mengangguk. Dia melanjutkan membaca komentar-komentar pada tulisannya. Jika sempat, Amira akan membalas satu persatu komentar pada tulisannya. Jika tidak, maka dia akan memberikan tanda love pada semua komentar sekalipun itu komentar pedis.

Di rumah orang tuanya, Amira tidak ada yang dilakukan. Dia hanya duduk diam di teras rumah sambil masih ponsel. Ayah, ibu dan saudara-saudara Amira sudah mengerti dengan apa yang dilakukan Amora sehingga tidak ada satupun dari mereka yang mengganggunya.

Namun, terkadang orang tuanya bertanya kabar Amira. Saat ditanya, Amora akan meletakkan ponselnya. Dia tahu bagaimana rasanya ketika diajak bicara malah di cuekin.

Waktu magrib akan tiba, Amora izin pada orang tuanya untuk pulang. Pak Pras ayah Amira menawarkan anaknya untuk diantar, tapi anaknya itu menolak.

“Ayah antar, ya.” Ucap pak Pras.

“tidak udah, yah. Amira jalan saja. Lagian, Amira sengaja mau olahraga aja.” Tolak Amira.

Padahal, dia sangat mau diantar oleh ayahnya, tetapi dia tidak mau merepotkan cinta pertamanya itu. Ayahnya baru saja pulang dari kerja pasti masih capek. Itulah yang ada dalam pikiran Amira sehingga dia menolak untuk diantar.

Butuh waktu setengah jam untuk Amira sampai di rumah mertuanya. Sebum memasuki rumah, dia menarik nafas panjang.

Amira mendapati mertuanya sedang nonton. Dengan sopan, dia melewati mertuanya yang sedang nonton. Dia bisa melihat tatapan sinis dari ibu mertuanya, tapi Amira cuek.

Amira masuk dalam kamarnya, dia mendapati Devan masih sibuk dengan ponselnya. Ingin rasanya Amira meminta agar suaminya itu tidak selalu sibuk dengan ponsel, tapi dia belum memiliki keberanian.

***

Riuh anak-anak berlarian di halaman rumah. Mereka adalah para cucu dari tuan rumah yang Amira tinggali. Ya, Amira menyebut mertuanya sebagai tuan rumah karena dia sudah bagaikan pembantu. Tidak dianggap sebagai menantu, apalagi, Devan juga cenderung cuek padanya.

“Jangan lari disitu, Misya ....” teriak Amira ketika melihat anak dari kakak iparnya berlari menuju jalan raya.

Mendengar Amira memanggil nama Misya, Bu Dewi segera menghampiri cucunya. Setelah menggandeng tangan cucunya untuk kembali bermain di halaman rumah, Bu Wiwin menatap sinis pada Amira.

“Udah lihat Misya ke jalan, malah diam saja.” Ucap Bu Dewi menyalahkan Amira yang katanya membiarkan Misya sang cucu berlari menuju jalan. Tanpa menunggu Amira menjawab, Bu Dewi sudah berlalu.

“Nah, salah lagi, kan? Tahu gitu, aku diam aja tadi. Tapi, kasihan Misya. Dia tidak tahu apa-apa” ucap Amira pada dirinya sendiri.

Entah perbuatan apa yang bisa dianggap baik oleh ibu mertuanya itu, Amira juga sudah tidak tahu. Dia sudah menyerah untuk mengambil hati wanita yang telah melahirkan suaminya itu.

“Amira! Sini gabung!” Roni, kakak ipar Amira memanggilnya untuk gabung sama mereka. Namun, Amira menggeleng. Dia keluar hanya untuk ke warung saja. “Nanti saja, mas. Aku mau ke warung dulu.” Ucap Amira menolak ajakan Roni.

Lagian, jika dia gabung disitu yang ada dia hanya menjadi bahan Bulian oleh ibu mertuanya. Amira juga melihat, Devan tidak berniat mengajaknya ikut disana.

“Van, kapan kalian punya anak? Tidak iri kamu lihat kakak-kakakmu semua sudah punya anak?” tanya Wiwin pada Devan.

“Iya, Van. Kalian sudah hampir lima bulan menikah, tapi Amira belum ada tanda-tanda akan hamil.” Lanjut Tiara, kakak kandung Devan.

Devan senyum, “nanti kalau sudah tiba saatnya, Amira pasti hamil.” Jawab Devan.

“Kapan, Van? Jangan-jangan, kalian menundanya, ya?” ucap Bu Dewi tidak mau kalah.

“Kami tidak menunda kok, Bu.” Jawab Devan santai.

Memang, jika membahas soal anak pada laki-laki, maka mereka akan menanggapi dengan santai. Beda dengan wanita. Mereka akan sedih jika setelah pernikahan, tidak langsung hamil.

“Apa Amira yang menunda tanpa sepengetahuan kamu?” Bu Dewi masih saja mau memojokkan Amira perihal anak.

Baru saja Devan mau jawab, Amira sudah memasuki halaman rumah.

Tiara memanggil adik iparnya itu, “Amira! Sini dulu!” Panggil Tiara membuat perasaan Amira mulai tidak enak.

Namun, dia tetap saja melangkah ke tempat keluarga suaminya berkumpul.

“Ada apa, mbak?” tanya Amira setelah mencapai tempat perkumpulan keluarga dari suaminya.

Disana, ada tujuh orang dewasa. Dua kakak dari Devan beserta istri dan suaminya, Wiwin, Bu Dewi dan Devan sendiri. Ditambah Amira, maka mereka berjumlah delapan orang sedangkan anak-anak masih sibuk bermain.

“Duduk dulu, deh.” Ucap Tiara mengingatkan.

“Tapi aku mau mandi dulu, mbak.” Ucap Amira berusaha menghindar dari mereka.

“Nanti aja mandinya. Kita kumpul-kumpul dulu. Lagian, kami baru sampai kesini, tidak setiap hari.” Jelas Tiara.

Memang benar, kakak iparnya itu tinggal terpisah dari mereka. Mereka sudah mempunyai rumah masing-masing. Namun, rumah mereka masih bisa menjangkau rumah Bu Dewi dalam waktu satu jam naik mobil sehingga mereka sering berkunjung.

Amira tidak lagi membantah, dia duduk di dekat Devan. Mereka ngobrol dengan berbagai tema. Bukan. Amira bukannya diajak untuk ngobrol dengan mereka, tapi hanya menjadi penonton betapa serunya jika mereka berkumpul. Hingga pada akhirnya, Tiara kembali pada topik sebelum Amira dipanggil kesini.

“Belum ada tanda-tanda, Mir?” tanya Tiara menoleh padanya.

Amira mengerti maksud dari pertanyaan kakak iparnya, “ belum, mbak.” Jawab Amira.

“Apa kalian menundanya?”

“Tidak, mbak. Mungkin belum dikasih saja sama Tuhan.” Jawab Amira berusaha menyembunyikan luka hatinya.

Entah kenapa, setiap bertanya soal dia yang belum hamil, Amira merasa terluka. Dia seperti wanita yang tidak sempurna dimata keluarga suaminya.

Setelah mendengar jawaban Amira, Tiara menyarankan beberapa obat untuk program kehamilan. Bukan hanya itu, dia juga menyarankan Amira untuk mengurut pada ahlinya.

Tanpa saran dari kakak iparnya, Amira sangat ingin melakukan itu, tapi Devan selalu tidak seantusias Amira.

Pernah sekali, saat Amira menunjukkan madu promil pada suaminya itu, suaminya hanya ngomong, “pesan aja, tapi kamu yang minum.” Ucap Devan saat itu, membuat rasa antusias Amira hilang.

“Berdua, mas. Ini khusus pria dan wanita. Sepaket, mas.” Ucap Amira menunjukkan lagi layar ponselnya.

“Sepaket berapa?” tanya Devan membuat semangat Amira kembali bangkit. Namun, jawaban selanjutnya membuat Amira betul-betul antusiasmenya hilang.

“Tiga ratus lebih, mas.”

“Mahal ternyata.” Jawab Devan.

Mendengar jawaban Devan, Amira merasa Devan tidak antusias seperti dirinya untuk memiliki anak. Amira merasa, dia hanya berjuang sendiri. Namun, Amira hanya meningkatkan rasa sabarnya untuk menerima semua apa yang terjadi padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!