Kesal

Suasana rumah yang begitu ramai membuat Amira tidak fokus untuk menulis. Dia sudah berusaha konsentrasi tetapi suara di luar tetap saja mengganggu konsentrasinya. Dia meletakkan ponsel dan menarik selimut. Lebih baik tidur saja daripada berusaha konsentrasi tetapi tetap saja tidak bisa.

Baru saja menarik selimut, suara dari luar menghentikannya.

“Amira!”

Itu suara ibu mertuanya. Amira segara memakai hijab dan menghampiri ibu mertuanya.

“Iya, Bu.” Jawabnya ketika sudah sampai di hadapan ibu mertuanya.

“Riska ingin minum teh.” Ucap ibu mertuanya.

Dengan menahan kesal, Amira ke dapur. Dia membuat teh dengan wajah cemberut karena Riska bukan lagi anak kecil yang harus di layani. Dia sudah kelas dua sekolah menengah atas. Harusnya, dia sudah bisa membuat teh sendiri. Lagian, Amira menikah dengan Devan bukan untuk menjadi pembantu bagi keponakan-keponakan Devan.

Ya. Riska adalah cucu dari ibu mertuanya yang sering menginap di rumah ibu mertuanya. Amira sebenarnya senang-senang saja jika mereka kumpul di situ. Hanya saja, jangan mengganggu dia jika ada keinginan apa-apa.

Lagian, Amira sudah menyiapkan makanan di dapur. Jika ingin yang lain, maka buatlah sendiri.

Namun, karena masih baru di keluarga itu, Amira menurut saja dulu.

Amira meletakkan teh itu di hadapan Riska lalu beranjak kembali ke kamarnya. Dia akan melanjutkan tidurnya yang tertunda. Namun, ide di otaknya muncul kembali. Segera dia mengambil ponsel dan mulai merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan jadilah satu bab cerita.

Amira hanyut dalam menulisnya hingga tidak menyadari jika Devan sudah berada di hadapannya.

“Selingkuh lagi?” ucap Devan menci*m kening istrinya.

“Eh, mas. Maaf, Amira tidak tahu jika kamu sudah datang.” Ucap Amira meletakkan ponselnya.

“Mau makan sekarang?” lanjutnya bersiap bangun.

“Nanti dulu, deh. Aku mau disini dulu sama kamu.”

Setelah mengucapkan itu, Devan berbaring di samping istrinya. Amira mengerti maksud Devan. Dia menggeser guling yang sejak tadi di peluknya.

***

Azan Ashar membangunkan pasangan suami istri yang tertidur lelap. Mereka bergantian mandi sebelum melaksanakan kewajiban menghadap Tuhan.

Devan mandi lebih dulu. Setelah mandi, Devan melihat istrinya kembali tidur. Dia tidak tega membangunkannya. Devan melaksanakan salat Ashar sendiri tanpa menunggu istrinya.

Amira membuka mata. Dia mendapati Devan tengah Salat di samping tempat tidur. Dia segera bangun untuk mandi dan merutuki Devan yang tidak menunggunya.

“Kamu tidak bangunin aku.” Ucap Amira mengerucutkan bibir. Dia baru saja selesai mandi dan Devan sedang mengotak-atik ponsel.

“Aku kasihan kamu lelap gitu.” Ucap Devan.

Amira hanya mengerucutkan bibir lalu mengambil mukenah untuk melaksanakan kewajibannya.

Setelah Salat, Devan dan Amira ke dapur untuk makan siang. Eh. Bukan lagi makan siang namanya, tetapi makan sore karena saat ini, bukan lagi waktu siang.

“Jam segini baru makan.” Ucap Bu Dewi tanpa basa-basi.

Amira dan Devan cuek saja. Mereka tetap menikmati makanan yang ada di hadapan mereka. Setelah makan, seperti biasa Amira akan mencuci piring kotor yang sudah di pakai.

Tidak ada kesempatan untuk ngobrol dengan keluarganya. Amira masuk kamar setelah selesai mencuci piring. Dia terlalu enggan untuk gabung dengan mereka yang tidak menginginkannya ada.

Devan hanya berharap, Devan segera mengajaknya pindah dari rumah orang tuanya itu. Walaupun disitu Devan sebagai anak kandung, tapi kepribadian Devan yang tidak mau berdebat dengan orang tuanya membuat Devan selalu diam dengan apa yang terjadi. Diamnya Devan, menjadi bumerang bagi Amira yang selalu disindir.

Devan bekerja sebagai guru kelas satu di di sekolah dasar tempat mereka tinggal. Setiap hari, Devan akan berangkat pagi. Kadang, dia sarapan kadang juga tidak, tapi lebih banyak tidaknya karena dia akan pulang jam sembilan. Paling lambat setengah sepuluh.

“Mas, tadi ....”

“Udah, ngga usah dipikirin.”

Devan menyelah ucapan Amira yang belum selesai. Devan tahu apa yang akan Amira bahas. Pasti, istrinya itu akan membahas masalah tadi sehingga Devan menyelanya.

Amira hanya menghembuskan nafas saja mendengar Devan yang menyela ucapannya yang belum selesai. Selalu saja begitu, setiap dia mau cerita dengan suaminya, Devan selalu menyela atau sibuk dengan ponselnya tanpa memedulikan Amira yang ingin sekali cerita dengannya layaknya suami dan istri.

Namun, Amira tetap sabar walaupun Devan selalu saja seperti itu. Bisa dibilang, selama pernikahan mereka, belum pernah sekalipun bicara serius tentang rumah tangga mereka kedepannya. Setiap Amira memulai pembahasan itu, maka Devan akan mengatakan tidak perlu memikirkan yang belum tiba.

Kalimat itu selalu menjadi jawaban Devan ketika Amira memulai pembicaraan serius dengannya.

Pernah Amira berpikir, Devan tidak mencintainya. Tapi, perlakuan Devan padanya tidak menunjukkan Devan tidak suka padanya. Ketika Amira sakit, Devan selalu ada di dekatnya. Bahkan, ketika Amira tidak bisa tidur di malam hari, Devan dengan setia menemaninya.

“Mas, aku mau ke rumah ibu, boleh?” tanya Amira hati-hati.

Sudah beberapa hari ini dia tidak ke rumah orang tuanya. Rasa rindunya pada wanita yang sudah melahirkannya itu butuh di obati. Bukan hanya pada ibunya, tapi Amira rindu pada ayahnya. Setiap kali dia sakit hati pada Devan, dia akan selalu memikirkan ayahnya.

Amira merasakan cinta kasih yang tulus dari ayahnya walaupun pria itu tidak pernah sekalipun mengatakan rasa cinta dan sayangnya pada Amira. Namun, Amira bisa merasakan kasih sayang itu.

Saat Amira menikah, ayahnya seperti tidak rela melepas tanggung jawabnya pada orang lain. Dia seperti masih ingin menjaga Amira di tangannya. Namun, ayahnya tidak bisa melarang keinginan istrinya untuk segera menikahkan Amira dengan Devan.

Sejak sebelum akad nikah di langsungkan, mata ayah Amira berkaca-kaca. Mata itu seolah menandakan rasa sedih juga bahagia melihat anak yang dulunya selalu dia manjakan, selalu dia tanyakan kabarnya jika jauh, selalu dia rawat ketika sakit, kini akan diambil oleh pria yang akan disebutnya sebagai menantu.

Bukan hanya ayah Amira yang sedih, tapi Amira juga sangat sedih saat pernikahannya. Disamping karena dia belum bisa move on dengan mantan kekasihnya, dia juga masih ingin bermanja-manja pada ayahnya.

Ketika libur, Amira akan menghabiskan waktu liburnya di kampung halaman bersama kedua orang tuanya. Di rumah, Amira selalu dianggap anak kecil oleh ayahnya. Bahkan, motor yang ada di samping rumah pun ayahnya tidak membiarkan Amira mengeluarkannya sendiri. Ayah masih menganggap Amira anak kecil, padahal Amira sudah sangat mandiri karena di tempat kerja, dia selalu melakukannya sendiri.

Mengingat itu, Amira meneteskan air mata dalam diam. Dia tidak mau Devan tahu jika dia sedang menangis. Jika ditahu pun, Devan juga tidak akan peduli. Entah itu cara Devan membiarkanku sampai bisa tenang, atau dia tidak peduli karena memang tidak mau tahu apa yang membuat Amira sedih.

“Boleh. Kunci motor ada di tempat biasa.” Ucap Devan tanpa mengalihkan pandangan dari benda pipih itu.

“Tidak perlu, mas. Aku jalan kaki aja.” Ucap Amira memakai hijabnya.

Sebenarnya, dia ingin Devan mengantarnya tapi Amira sungkan harus bicara pada Devan. Padahal, Devan bukan orang lain. Dia adalah suaminya sendiri.

“Ya udah.” Jawaban singkat Devan menambah luka dihati Amira. Namun, dia menahannya.

Sebelum keluar dari rumah, Amira melihat dulu ponselnya. Ada notifikasi dari aplikasi menulisnya. Ada yang like dan komentar di tulisannya. Amira tersenyum, tapi belum membalas komentar itu. Biarlah dia membalasnya ketika sudah di rumah ibunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!