Bukan Menantu Sempurna
Bab 1. Perintah Mertua
"Sebaiknya kamu ceraikan saja istrimu itu!" titah Ruqoyah kepada Ali, putranya.
Laki-laki yang duduk di depan ibunya itu langsung beristighfar. Mana mungkin dia menceraikan seorang istri yang sholehah dan sudah menemani dirinya dalam biduk rumah tangga selama 5 tahun ini.
"Tidak, Bu. Aku tidak akan pernah menceraikan Hafsah. Aku mencintai dan sayang kepadanya," bantah Ali untuk kesekian kalinya dalam 3 bulan ini.
"Cinta? Sayang? Untuk apa kalau dia tidak mampu memberikan kamu keturunan. Masih banyak wanita subur di luar sana. Jangan kamu mempertahankan wanita mandul itu. Memangnya kamu tidak mau punya anak?" cerocos Ruqoyah dengan tatapan sinis ke arah sang menantu yang sejak tadi diam menundukkan kepalanya.
"Bu, Allah yang mengatur kepada siapa Dia akan memberikan keturunan dan tidak. Aku ingin rumah tangga aku berjalan di dalam jalan yang diridhoi Allah," sahut Ali dengan nada yang pelan. Laki-laki itu tidak pernah meninggikan suaranya kepada ibu dan istrinya.
Senyum miring terukir di wajah Ruqoyah. Wanita paruh baya itu pun menatap merendahkan kepada sang menantu.
"Kamu dengar sendiri Hafsah. Kalau Ali ingin rumah tangga kalian berada di jalan Allah. Maka, izinkan Ali untuk menikah lagi," ucap wanita berbaju daster dengan bagian lengan baju tergulung sampai ke siku dan memperlihatkan gelang emas yang sebesar jam tangan terpasang di tangan kiri dan kanan masing-masing satu buah
Meski Hafsah paham dengan hukum poligami, tetapi dia tidak mau kalau sampai suaminya menikah lagi. Bagi dia kehidupan rumah tangga jika dimasuki oleh pihak ketiga maka akan retak dan ada kemungkinan rusak nantinya jika tidak sanggup mengendalikan hawa napsu dan emosi. Selain itu dirinya tidak yakin kalau madu dia nanti merupakan wanita yang bisa hidup berdampingan bersama dirinya dalam keadaan baik dan mau saling memahami.
"Maafkan aku, Bu. Aku tidak mau memiliki madu, takut malah menimbulkan keburukan di dalam hati dan keluarga kami. Karena rasa cemburu dan merasa ketidakadilan dalam hubungan kami nantinya," kata Hafsah setelah mengangkat wajahnya dan menatap kepada Ruqoyah dengan tatapan sendu.
Mendengar ucapan sang menantu membuat Ruqoyah naik pitam. Lalu, dia pun melemparkan buku majalah yang ada di atas meja ke muka Hafsah.
"Astaghfirullahal'adzim," gumam Hafsah.
"Astaghfirullahal'adzim, Ibu. Kenapa ibu lakukan hal seperti itu?" Ali langsung memegang kepala Hafsah dan memeriksa wajahnya takut ada luka. Untungnya tidak ada luka yang berdarah, hanya garis merah di bagian hidung mancung milik Hafsah, karena terkena bagian ujung majalah yang tebal.
Ruqoyah tidak suka jika Hafsah menolak atau membantah ucapannya. Pokoknya bagi dia semua orang di rumah itu harus menurut dan patuh kepadanya. Ali pun memilih membawa Hafsah ke kamar.
"Mau ke mana kamu, Hafsah. Pekerjaan kamu belum beres, tuh!" teriak Ruqoyah sambil menunjuk ke arah dapur, karena harus memasak untuk makan malam.
"Dasar menantu miskin, tidak berpendidikan, sudah gitu mandul lagi!" umpat Ruqoyah dengan mata melotot dan hidung yang kembung kempis karena penuh amarah.
***
"Hafsah, jangan lupa setrika semua baju yang kamu cuci kemarin, karena ibu akan ada pertemuan dengan orang penting!" titah Ruqoyah kepada sang menantu yang sedang memasak untuk sarapan.
"I–ya, Bu," balas Hafsah dengan nada rendah.
Semua pekerjaan rumah diurus dan dikerjakan oleh Hafsah. Namun, keuangan diatur oleh Ruqoyah dan sang menantu tidak diberi uang sedikit pun dari uang yang diberikan oleh Ali.
"Mbak, tas punya kamu yang berwarna hitam, mana?" tanya Alika—adik perempuan Ali—yang masih mengenyam di sebuah universitas negeri.
"Ada. Untuk apa?" tanya Hafsah dengan tangan sibuk mengaduk nasi goreng di wajan.
"Ya, buat dipakai, dong, Mbak!" jawab Alika dengan raut muka kesal.
"Maaf, Alika. Tas itu akan Mbak pakai nanti," jawab Hafsah yang kini melirik ke arah gadis yang berpenampilan modis.
Terlihat Alika memutar bola matanya karena merasa kesal dan jengah kepada kakak iparnya jika keinginan dia tidak dipenuhi. Maka dia pun berteriak memanggil ibunya.
"Ada apa, sih! Teriak-teriak begitu. Ini masih pagi dan kamu membuat kehebohan di rumah. Malu sama tetangga," bentak Ruqoyah begitu masuk dapur dengan muka yang memakai masker untuk perawatan wajah.
"Mbak Hafsah tidak mau meminjamkan tas miliknya," tatapan sinis.
"Apa?" Ruqoyah melotot kepada Hafsah.
"Hei, Hafsah. Jadi orang jangan pelit. Kasih pinjam tas kamu itu pada Alika!" titah Ruqoyah sambil bertolak pinggang. Dia lupa dengan masker yang rusak akibat gerakan mulutnya.
Hafsah pun menjelaskan kalau dia akan memakai tas pemberian dari orang tua salah seorang murid yang diajari mengaji olehnya, ke acara pertemuan para guru mengaji se-kabupaten.
"Ada apa, ini? Kenapa kalian saling menatap seperti itu?" tanya Ali yang baru saja masuk ke rumah setelah memanaskan mesin motor.
"Tuh, istri kamu jadi orang pelit sekali. Masa Alika mau meminjam tasnya saja tidak dikasih pinjam. Katanya guru mengaji, tapi tidak mencerminkan sikap yang baik," jawab Ruqoyah dengan nada menyindir.
Hafsah hanya bisa diam, jika dia membalas ucapan ibu mertuanya nanti malah akan semakin runyam dan masalah melebar ke mana-mana. Padahal dulu tas, sepatu, dan sandal miliknya sering dikasihkan kepada Alika jika perempuan itu memintanya. Kini dia tinggal punya satu tas itu pasti tidak akan dikembalikan lagi. Semua barang yang dipinjam oleh Alika tidak ada satu pun yang dikembalikan.
"Bukannya kamu sudah punya banyak tas?" Ali bertanya kepada adiknya.
"Sudah rusak. Kalau Mbak Hafsah tidak mau meminjamkan tasnya, aku minta uang untuk beli tas baru," jawab perempuan berusia awal 20 tahun-an itu sambil menengadahkan tangan kepada Ali.
"Bukannya Kakak sudah kasih uang sama kamu Minggu lalu. Jangan boros, cari uang itu sulit. Gunakan sebaik mungkin uang yang kakak kasih tiap bulannya," ucap Ali karena menurutnya Alika itu terlalu boros.
"Kak, uang 2 juta untuk jajan dan keperluan kampus selama satu bulan itu mana cukup. Teman-teman aku paling sedikit dikasih uang bulanan itu 10 juta," kata Alika sambil mengacungkan kesepuluh jari miliknya.
"Sudah. Kalian jangan ribut, malu sama tetangga. Ini semua gara-gara kamu, Hafsah!" tuduh Ruqoyah sambil menunjuk wajah sang menantu.
"Ali, cepat kasih uang sama adikmu untuk beli tas!" titah Ruqoyah.
"Bu, uang aku sudah diberikan semua sama Ibu dan Alika. Aku hanya punya uang untuk bensin saja," kata Ali jujur.
"Apa? Ini pasti uang kamu dikuasai oleh istrimu, iya, 'kan!" tuduh Ruqoyah.
"Astaghfirullah. Bu, Hafsah selalu dijatah oleh ibu hanya seratus ribu sebulan dan semua gaji aku ibu yang mengatur," bela Ali untuk sang istri.
Ruqoyah diam sambil menatap tajam ke arah Hafsah. Dalam hatinya wanita paruh baya itu masih mengumpat kepada sang menantu.
***
Assalamualaikum, semua. Kita bertemu kembali di novel terbaru aku. Karya ini bercerita ketabahan dari seorang istri dalam menghadapi ke-dzolim-an ibu mertua dan adik ipar. Jadi, pasti akan banyak mengundang emosi.
Akankah kehidupan rumah tangga Hafsah dan Ali baik-baik saja? Ikuti terus kisah mereka, ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
sakura
..
2023-07-12
0
Syarifah
sedih amat thorrr. berharap ali ga mudah goyah hati dan imannya. benci bangettt klo ada cerita mertua jahat bangettt. udah gtu anak laki2 nya nurut2 aja padahal ibunya salah. cari surga ibu ga gtu jg kali.....
2023-05-02
4
Muhamad Bardi
baru baca tensi darahku udah naik kak thor..😁😁 kalau punya mertua kaya udah aq ulek tuh mulut geram aq..😠😠
aq mampir kak thor, semoga kak thor sukses dan sehat selalu..🤲🤲
2023-05-01
5