Bab 1. Perintah Mertua
"Sebaiknya kamu ceraikan saja istrimu itu!" titah Ruqoyah kepada Ali, putranya.
Laki-laki yang duduk di depan ibunya itu langsung beristighfar. Mana mungkin dia menceraikan seorang istri yang sholehah dan sudah menemani dirinya dalam biduk rumah tangga selama 5 tahun ini.
"Tidak, Bu. Aku tidak akan pernah menceraikan Hafsah. Aku mencintai dan sayang kepadanya," bantah Ali untuk kesekian kalinya dalam 3 bulan ini.
"Cinta? Sayang? Untuk apa kalau dia tidak mampu memberikan kamu keturunan. Masih banyak wanita subur di luar sana. Jangan kamu mempertahankan wanita mandul itu. Memangnya kamu tidak mau punya anak?" cerocos Ruqoyah dengan tatapan sinis ke arah sang menantu yang sejak tadi diam menundukkan kepalanya.
"Bu, Allah yang mengatur kepada siapa Dia akan memberikan keturunan dan tidak. Aku ingin rumah tangga aku berjalan di dalam jalan yang diridhoi Allah," sahut Ali dengan nada yang pelan. Laki-laki itu tidak pernah meninggikan suaranya kepada ibu dan istrinya.
Senyum miring terukir di wajah Ruqoyah. Wanita paruh baya itu pun menatap merendahkan kepada sang menantu.
"Kamu dengar sendiri Hafsah. Kalau Ali ingin rumah tangga kalian berada di jalan Allah. Maka, izinkan Ali untuk menikah lagi," ucap wanita berbaju daster dengan bagian lengan baju tergulung sampai ke siku dan memperlihatkan gelang emas yang sebesar jam tangan terpasang di tangan kiri dan kanan masing-masing satu buah
Meski Hafsah paham dengan hukum poligami, tetapi dia tidak mau kalau sampai suaminya menikah lagi. Bagi dia kehidupan rumah tangga jika dimasuki oleh pihak ketiga maka akan retak dan ada kemungkinan rusak nantinya jika tidak sanggup mengendalikan hawa napsu dan emosi. Selain itu dirinya tidak yakin kalau madu dia nanti merupakan wanita yang bisa hidup berdampingan bersama dirinya dalam keadaan baik dan mau saling memahami.
"Maafkan aku, Bu. Aku tidak mau memiliki madu, takut malah menimbulkan keburukan di dalam hati dan keluarga kami. Karena rasa cemburu dan merasa ketidakadilan dalam hubungan kami nantinya," kata Hafsah setelah mengangkat wajahnya dan menatap kepada Ruqoyah dengan tatapan sendu.
Mendengar ucapan sang menantu membuat Ruqoyah naik pitam. Lalu, dia pun melemparkan buku majalah yang ada di atas meja ke muka Hafsah.
"Astaghfirullahal'adzim," gumam Hafsah.
"Astaghfirullahal'adzim, Ibu. Kenapa ibu lakukan hal seperti itu?" Ali langsung memegang kepala Hafsah dan memeriksa wajahnya takut ada luka. Untungnya tidak ada luka yang berdarah, hanya garis merah di bagian hidung mancung milik Hafsah, karena terkena bagian ujung majalah yang tebal.
Ruqoyah tidak suka jika Hafsah menolak atau membantah ucapannya. Pokoknya bagi dia semua orang di rumah itu harus menurut dan patuh kepadanya. Ali pun memilih membawa Hafsah ke kamar.
"Mau ke mana kamu, Hafsah. Pekerjaan kamu belum beres, tuh!" teriak Ruqoyah sambil menunjuk ke arah dapur, karena harus memasak untuk makan malam.
"Dasar menantu miskin, tidak berpendidikan, sudah gitu mandul lagi!" umpat Ruqoyah dengan mata melotot dan hidung yang kembung kempis karena penuh amarah.
***
"Hafsah, jangan lupa setrika semua baju yang kamu cuci kemarin, karena ibu akan ada pertemuan dengan orang penting!" titah Ruqoyah kepada sang menantu yang sedang memasak untuk sarapan.
"I–ya, Bu," balas Hafsah dengan nada rendah.
Semua pekerjaan rumah diurus dan dikerjakan oleh Hafsah. Namun, keuangan diatur oleh Ruqoyah dan sang menantu tidak diberi uang sedikit pun dari uang yang diberikan oleh Ali.
"Mbak, tas punya kamu yang berwarna hitam, mana?" tanya Alika—adik perempuan Ali—yang masih mengenyam di sebuah universitas negeri.
"Ada. Untuk apa?" tanya Hafsah dengan tangan sibuk mengaduk nasi goreng di wajan.
"Ya, buat dipakai, dong, Mbak!" jawab Alika dengan raut muka kesal.
"Maaf, Alika. Tas itu akan Mbak pakai nanti," jawab Hafsah yang kini melirik ke arah gadis yang berpenampilan modis.
Terlihat Alika memutar bola matanya karena merasa kesal dan jengah kepada kakak iparnya jika keinginan dia tidak dipenuhi. Maka dia pun berteriak memanggil ibunya.
"Ada apa, sih! Teriak-teriak begitu. Ini masih pagi dan kamu membuat kehebohan di rumah. Malu sama tetangga," bentak Ruqoyah begitu masuk dapur dengan muka yang memakai masker untuk perawatan wajah.
"Mbak Hafsah tidak mau meminjamkan tas miliknya," tatapan sinis.
"Apa?" Ruqoyah melotot kepada Hafsah.
"Hei, Hafsah. Jadi orang jangan pelit. Kasih pinjam tas kamu itu pada Alika!" titah Ruqoyah sambil bertolak pinggang. Dia lupa dengan masker yang rusak akibat gerakan mulutnya.
Hafsah pun menjelaskan kalau dia akan memakai tas pemberian dari orang tua salah seorang murid yang diajari mengaji olehnya, ke acara pertemuan para guru mengaji se-kabupaten.
"Ada apa, ini? Kenapa kalian saling menatap seperti itu?" tanya Ali yang baru saja masuk ke rumah setelah memanaskan mesin motor.
"Tuh, istri kamu jadi orang pelit sekali. Masa Alika mau meminjam tasnya saja tidak dikasih pinjam. Katanya guru mengaji, tapi tidak mencerminkan sikap yang baik," jawab Ruqoyah dengan nada menyindir.
Hafsah hanya bisa diam, jika dia membalas ucapan ibu mertuanya nanti malah akan semakin runyam dan masalah melebar ke mana-mana. Padahal dulu tas, sepatu, dan sandal miliknya sering dikasihkan kepada Alika jika perempuan itu memintanya. Kini dia tinggal punya satu tas itu pasti tidak akan dikembalikan lagi. Semua barang yang dipinjam oleh Alika tidak ada satu pun yang dikembalikan.
"Bukannya kamu sudah punya banyak tas?" Ali bertanya kepada adiknya.
"Sudah rusak. Kalau Mbak Hafsah tidak mau meminjamkan tasnya, aku minta uang untuk beli tas baru," jawab perempuan berusia awal 20 tahun-an itu sambil menengadahkan tangan kepada Ali.
"Bukannya Kakak sudah kasih uang sama kamu Minggu lalu. Jangan boros, cari uang itu sulit. Gunakan sebaik mungkin uang yang kakak kasih tiap bulannya," ucap Ali karena menurutnya Alika itu terlalu boros.
"Kak, uang 2 juta untuk jajan dan keperluan kampus selama satu bulan itu mana cukup. Teman-teman aku paling sedikit dikasih uang bulanan itu 10 juta," kata Alika sambil mengacungkan kesepuluh jari miliknya.
"Sudah. Kalian jangan ribut, malu sama tetangga. Ini semua gara-gara kamu, Hafsah!" tuduh Ruqoyah sambil menunjuk wajah sang menantu.
"Ali, cepat kasih uang sama adikmu untuk beli tas!" titah Ruqoyah.
"Bu, uang aku sudah diberikan semua sama Ibu dan Alika. Aku hanya punya uang untuk bensin saja," kata Ali jujur.
"Apa? Ini pasti uang kamu dikuasai oleh istrimu, iya, 'kan!" tuduh Ruqoyah.
"Astaghfirullah. Bu, Hafsah selalu dijatah oleh ibu hanya seratus ribu sebulan dan semua gaji aku ibu yang mengatur," bela Ali untuk sang istri.
Ruqoyah diam sambil menatap tajam ke arah Hafsah. Dalam hatinya wanita paruh baya itu masih mengumpat kepada sang menantu.
***
Assalamualaikum, semua. Kita bertemu kembali di novel terbaru aku. Karya ini bercerita ketabahan dari seorang istri dalam menghadapi ke-dzolim-an ibu mertua dan adik ipar. Jadi, pasti akan banyak mengundang emosi.
Akankah kehidupan rumah tangga Hafsah dan Ali baik-baik saja? Ikuti terus kisah mereka, ya!
Bab 2 Fitnah Mertua
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, Hafsah cepat-cepat bersiap untuk berangkat ke acara pertemuan para guru mengaji se-kabupaten. Wanita itu pergi dijemput oleh rekan sesama guru mengaji.
"Mpok, apa ada tisu?" tanya Hafsah saat lewat ke warung milik tetangganya.
"Ada. Mau pergi ke mana, ustadzah?" tanya Mpok Noni saat melihat Hafsah memakai pakaian rapi dan bagus.
"Paling jalan-jalan menghabiskan duit lakinya," sahut wanita paruh baya bertubuh gempal.
"Hei, Ratna kamu jangan ngomong seenaknya. Bisa fitnah, itu!" ucap Mpok Noni dengan sarkas.
"Lah, aku ini ngomong kebenarannya. Kata Bu Ruqoyah, menantunya ini kerjaannya cuma ongkang-ongkang dan menghabiskan uang suaminya. Makanya Bu Ruqoyah sering mengeluh sakit badan kepala karena kelelahan bekerja membereskan rumah," balas Ratna yang merupakan teman baik Ruqoyah. Wanita itu menatap sinis ke arah Hafsah.
"Iya, kasihan Bu Ruqoyah. Dia itu sudah tua, seharusnya disenangkan sama anak dan menantunya. Ini malah dijadikan babu," lanjut wanita berdaster bunga.
"Bu-ibu, aku tidak percaya kalau Hafsah ini melakukan hal seperti itu kepada Bu Ruqoyah. Dia itu guru ngaji dan sering menasehati anak-anak kita agar berbuat baik kepada orang tua. Aku percaya kalau Hafsah adalah wanita baik," balas Tia, tetangga yang rumahnya dekat madrasah tempat mengajar Hafsah.
Wanita ini juga sering melihat cara mengajar Hafsah kepada murid-muridnya. Menurut dia penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Makanya Tia tidak sayang memberikan hadiah kepada Hafsah saat menjelang lebaran. Tahun ini dia memberikan sebuah tas bermerek karena merasa kasihan saat melihat guru ngaji anaknya memakai tas yang sudah jelek.
"Kamu bisa bicara begitu karena tidak pernah melihat Bu Ruqoyah yang sering mengeluh kesakitan badannya karena mengerjakan pekerjaan rumah," bantah Ratna dengan sewot kepada Tua, yang usianya terpaut sangat jauh.
"Iya, kerja Hafsah cuma menyapu halaman depan saja, agar terlihat kalau dia yang mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal semua itu dikerjakan oleh mertuanya," tambah wanita berdaster bunga.
"Iya, kamu tega melakukan hal itu sama mertua, karena dia menumpang tinggal di rumah Ali yang notabene adalah anaknya Bu Ruqoyah," timpal Ratna lagi dengan netra yang memicing dengan pancaran mata sinis.
"Sudah ... sudah! kalian di sini itu mau belanja atau mau apa?" hardik Mpok Noni dengan kesal. Wanita paruh baya ini juga sering mendengar cerita Ruqoyah yang curhat sering di dzalimi oleh menantunya sendiri semenjak tinggal di rumah Ali. Namun, dia tidak percaya dengan cerita itu, karena selama dia bertetangga dengan Hafsah, tidak sekali pun dia melihat keburukan wanita yang sehari-harinya menggunakan jilbab.
Kecerewetan ibu-ibu di warung itu tidak memberikan kesempatan untuk Hafsah membela dirinya atau memberi tahu kebenaran yang terjadi. Setiap kali dia membuka mulutnya pasti Ratna langsung memotongnya.
Hafsah hanya bisa beristighfar dalam hati. Dia selalu mendoakan sang ibu mertua itu agar dilembutkan hatinya dan sayang kepadanya. Dulu kehidupan rumah tangga dia dengan Ali sangat bahagia sampai ayah mertua meninggal dan Ruqoyah ikut pindah ke rumahnya. Semenjak itu kehidupan perempuan itu jadi berada dalam tekanan wanita yang sudah melahirkan suaminya.
"Aku hanya mau mengatakan kalau apa yang ibu-ibu katakan tadi adalah kesalahan. Aku masih mengerjakan pekerjaan rumah seperti bagaimana biasanya aku lakukan sejak menikah dengan Bang Ali," ucap Hafsah sebelum dia pergi. Wanita itu tidak mau menjelek-jelekkan ibu mertuanya di depan umum. Tidak harus keburukan seseorang dibalas dengan hal yang buruk lagi, ini malah akan memunculkan dendam kedepannya. Seharusnya kita melakukan sesuatu yang bisa membuat sifat dan kelakuannya yang buruk itu berubah menjadi lebih baik. Diantaranya adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya dan berbuat baik, serta berkata lemah lembut.
***
Ruqoyah berdandan dengan sangat cantik dan anggun. Dia akan menemui teman-teman yang kaya di pusat kota. Dia sengaja memesan kendaraan online untuk pergi ke sana. Dia paling anti naik angkot atau kendaraan umum yang berdesak-desakan dengan banyak orang.
"Bu Ruqoyah, mau pesan apa? Kita semua sudah memesan makanan dan minuman, tadi kalau kamu pesankan untuk Ibu takut tidak cocok di lidah makanannya," ucap Bu Joko sambil menyerahkan buku menu.
Mata Ruqoyah melihat harga makanan dan minuman yang ada di sana. Semua mahal-mahal bisa untuk jatah belanja selama satu minggu untuk satu potong daging stik dan segelas jus.
'Jika aku pesan makanan paling murah, nanti mereka akan mengatai aku orang kere,' batin Ruqoyah.
"Aku pesan iga bakar dan jus alpukat," kata Ruqoyah memilih makanan yang termasuk mahal di daftar menu.
"Tuh, 'kan? Apa kata aku juga tadi, Bu Ruqoyah akan pesan iga bakar," kata Bu Budiman kepada ibu-ibu yang lainnya.
"Selera Bu Ruqoyah itu tinggi dan tahu mana yang enak dan juga memiliki kwalitas bagus," sahut Bu Darma.
Acara arisan itu berjalan dengan baik dan lancar. Lagi-lagi Ruqoyah menelan kekecewaan karena nama dirinya tidak keluar sebagai pemenang arisan.
"Bukannya itu Alika, putri Bu Ruqoyah, ya?" tanya Bu Joko sambil menunjuk ke arah Alika sedang bersama seorang laki-laki yang terlihat sudah berumur.
Mata Ruqoyah terbelalak saat melihat putrinya sedang bersama seorang laki-laki asing. Wajah dia mendadak kaku dan dadanya bergemuruh. Dia merasa malu dan marah saat ini, takut teman-temannya berpikiran buruk.
"Iya, itu Alika. Dia sedang bersama Omnya, katanya ada hal yang perlu mereka bicarakan. Sebenarnya Alika ingin kerja sambil kuliah. Putriku itu ingin mandiri dan tidak suka bergantung kepada orang lain," ucap Ruqoyah bohong.
"Wah, putri Bu Ruqoyah sangat hebat, ya! Anak aku boro-boro ingin hidup mandiri, bangun tidur saja masih harus aku bangunkan," kata Bu Budiman dan dibenarkan oleh ibu-ibu yang lainnya.
"Alhamdulillah, aku punya dua orang anak itu hebat-hebat dan mandiri. Mereka paling tidak suka merepotkan orang lain," ujar Ruqoyah memuji anaknya sendiri meski itu tidak bener adanya.
"Oh, iya. Bagaimana dengan menantu itu? Apa masih belum hamil?" tanya Bu Darma.
"Wanita itu mandul. Meski begitu tidak mau di madu ... tidak mau juga diceraikan! Aku sampai pusing harus bagaimana lagi. Aku bicara baik-baik, dia malah mencaci maki aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, kasihan Ali. Putraku itu sangat baik dan tidak mau membuat istrinya bersedih, tetapi kebaikan dia malah dibalas dengan kesombongan dan keangkuhan menantuku," kata Ruqoyah lagi-lagi berbohong dan itu membuat orang-orang yang ada di sana merasa simpati kepada Ruqoyah dan Ali.
"Apa kalian tahu kenapa Ali tidak bisa lepas dari istrinya yang mandul itu?" Ruqoyah berbisik.
"Tidak tahu, Bu. Memangnya kenapa dengan Ali?" tanya Bu Joko.
***
Apakah Hafsah bisa mengubah tabiat ibu mertuanya yang suka dzalim? Siapa laki-laki yang bersama Alika? Ikuti terus kisah mereka, ya!
Bab 3
Bu Joko dan Bu Budiman saling melirik. Tentu saja mereka penasaran kenapa laki-laki sempurna seperti Ali memilih tetap bertahan dengan wanita yang tidak berakhlak baik dan memiliki sifat yang kurang baik.
"Memangnya kenapa?" tanya Bu Joko.
"Ya, karena dia memakai jampi-jampi agar putraku terus tergila-gila kepadanya. Ali itu dulu selalu berlalu dan berbicara lemah lembut kepadaku juga penurut, sekarang dia sering melawan aku dan lebih suka menuruti istrinya. Perubahan sikap seperti itu secara tiba-tiba sudah pasti karena kena guna-guna," jawab Ruqoyah dengan bibir keritingnya berkomat-kamit menuduh Hafsah.
"Apa? Masa Bu Ruqoyah? Padahal saat kami bertemu dengan anak dan menantu Bu Ruqoyah, mereka itu sangat sopan yang baik banget," sahut Bu Darma dan diiyakan oleh dua Ibu-Ibu lainnya.
"Dia itu suka melakukan pencitraan. Aslinya jauuuuh banget dari itu. Apa menantu kalian selalu memperlihatkan sisi buruk saat di depan orang lain?" tanya Ruqoyah kepada semua orang yang ada di sana.
"Tidak, 'kan? Nah, si Hafsah juga begitu!" lanjut Ruqoyah dengan mata mendelik.
Ibu-Ibu itu terdiam, mereka memikirkan anak dan menantu yang mereka miliki. Memang mereka tidak pernah berlaku buruk saat di depan orang lain. Hanya orang-orang rumah yang tahu tabiat buruk mereka.
"Ya, mungkin saja yang dikatakan oleh Bu Ruqoyah adalah benar," balas Bu Darma.
"Bu Ruqoyah yang sabar, ya. Berdoalah semoga menantu Ibu berubah dan semoga ada keajaiban bisa hamil," lanjut Bu Joko dan ini membuat Ruqoyah tidak suka.
"Iya. Rajin-rajinlah berdoa agar menantu itu bisa berubah sifatnya. Semoga dikabulkan doa kita ini," tambah Bu Budiman dan ini semakin membuat Ruqoyah melotot.
Siapa tahu saat mereka berbicara ini ada malaikat dan meng-aamiin-kan doa mereka. Jika sampai itu terjadi, maka kelakuan dan sifat Hafsah akan berubah kebalikannya.
'Ih, amit-amit, deh! Aku tidak mau punya menantu yang durhaka kepada mertua dan membabukan aku nanti,' batin Ruqoyah.
***
Ali menjemput Hafsah dari acara pertemuan itu. Sebelum pulang keduanya mampir ke sebuah tempat. Mereka mendatangi sebuah toko buku yang berdampingan dengan masjid agung. Di tempat itu dahulu mereka berdua bertemu.
Kini mereka sengaja mendatangi tempat itu untuk meminjam membeli buku tentang cara mendidik anak-anak usia balita, PAUD, dan TK. Ali juga suka baca buku apa saja yang bisa menambah wawasan umum dan ilmu yang bermanfaat baginya. Kapan pun dia memiliki anak nanti sudah siap.
"Sayang, kok, beli bukunya jadi banyak begini?" tanya Ali meski hal ini tidak aneh baginya.
"Setelah lihat-lihat isinya, ternyata buku-buku ini sangat banyak ilmu baru yang baru aku ketahui. Jadi aku mau beli semuanya, Bang," aku Hafsah dengan malu-malu. Tadinya dia cuma ingin beli satu atau dua buku, tetapi malah tertarik untuk membeli lima buku.
Hafsah sengaja membeli buku untuk menambah ilmu tentang karakter seorang anak di usia dini. Buku cara menangani anak yang sedang sakit dan buku cara mengajari berhitung dengan metode jaritmatika. Saat mereka hendak ke bagian kasir, ada seorang perempuan menabrak Hafsah sampai buku yang ada di dalam dekapan jatuh semua.
"Maaf … maaf, saya tidak sengaja," kata Hafsah kepada orang yang sudah menabraknya.
"Ya, untung aku tidak apa-apa, Mbak. Lain kali hati-hati saat jalan, jangan melamun," balas wanita itu sambil merapikan bajunya.
"Iya, Mbak. Sekali lagi saya minta maaf," ucap Hafsah yang orangnya tipe tidak enakan sama orang. Apalagi tadi itu sudah membuat wanita itu kesal.
"Sarah?" Ali mengenali wanita yang menabrak istrinya.
"Ali? Hai, apa kabar?" tanya wanita itu kepada suami Hafsah dan mengulurkan tangannya. Wajah perempuan itu ceria dengan mata berbinar dan bibir tersungging senyum lebar.
"Alhamdulillah, aku baik," jawab Ali sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
Hafsah melihat wanita itu menatap Ali dengan penuh memuja dan tersenyum manis. Dia berpikir siapa perempuan yang mengenal suaminya ini.
"Sayang, di teman aku saat sekolah dulu," kata Ali kepada Hafsah karena terlihat jelas perempuan itu memperhatikan Sarah.
"Assalamualaikum. Kenalkan saya, Hafsah, istrinya Ali," ucap Hafsah dan Sarah balik menatapnya, lalu memindai dari atas ke bawah.
"Aku, Sarah. Pacarnya Ali saat sekolah di bangku sekolah menengah pertama," aku wanita itu.
Terlihat Ali mengerutkan kening dan membantah ucapannya itu. Tentu saja Hafsah melihat dalam diam kepada suaminya.
"Hei, kita tidak pernah pacaran, tuh! Dulu anak-anak memang suka jahil menjodoh-jodohkan orang. Kebetulan aku dijodohkan sama kamu oleh mereka," jelas Ali. Dia tidak mau kalau nanti akan ada masalah kesalahpahaman di antara mereka.
"Bukannya kamu mengaku kepada teman-teman, kalau kamu itu sebenarnya suka sama aku. Waktu itu aku juga suka sama kamu, tapi kata kamu usia kita masih kecil, jadi jangan pacar-pacaran," ucap Sarah dengan diiringi tawa riang.
Muka Ali memerah saking malunya. Padahal dia dulu itu suka hanya karena Sarah merupakan murid paling cantik. Mungkin saat sekolah dulu teman-temannya bilang itu adalah cinta monyet. Tentu saja rasa cinta sebenarnya yang dia rasakan untuk pertama kali adalah kepada Hafsah. Meski awalnya dia malu-malu, tetapi akhirnya dia memberanikan diri mengajaknya untuk membangun rumah tangga. Dia tahu Hafsah buka perempuan yang suka mendekati hal-hal yang dilarang oleh Allah, salah satunya pacaran. Jika hati mantap untuk menjalin hubungan serius maka dia akan menjalaninya dengan sepenuh hati.
"Maaf, kita sedang terburu-buru," ucap Hafsah yang merasa tidak suka saat ada wanita yang melihat suaminya dengan cara seperti yang Sarah lakukan. Perempuan itu jelas-jelas menatap Ali dengan perasaan yang dihiasi rasa napsu dan hasrat.
Ali pun menggandeng tangan Hafsah dan Sarah melihat itu dengan rasa penuh kecemburuan. Sejak dulu dia memang suka sama laki-laki itu, tetapi Ali tidak mau pacaran dengannya. Kata dia, orang tuanya melarang, padahal dulu mereka sama-sama suka.
"Kenapa dulu kita mesti berpisah setelah lulus SMP. Jika saja Ali tidak masuk ke sekolah khusus laki-laki, mungkin sampai sekarang aku akan bersama dengannya dan aku tidak akan pergi ke luar negeri," gumam Sarah masih memperhatikan Ali yang sedang membayar di kasir.
***
Ruqoyah melirik dengan sinis ke arah Hafsah saat pulang dari acara arisan. Wanita paruh baya itu berpikir bagaimana caranya agar Ali dan Hafsah bercerai.
"Hafsah, bagaimana kalau kita lakukan taruhan?" Ruqoyah ingin menantang Hafsah.
"Astaghfirullahal'adzim. Bu, tidak boleh melakukan hal seperti itu," balas Hafsah yang sedang menyetrika baju yang tadi dia angkat dari jemuran.
"Aku ini ingin punya cucu, Hafsah! Kalau kamu tidak bisa memberi aku cucu, ya, kamu harus izinkan Ali menikah lagi dengan wanita yang subur!" bentak Ruqoyah dengan penuh emosi. Mata wanita itu bahkan sampai melotot saking tidak kuat menahan amarahnya.
"Bu, jika Allah berkehendak aku untuk hamil, Insha Allah akan di permudahkan. Tapi, sebaliknya jika Allah tidak berkehendak, sebanyak apa pun usaha yang kita lakukan tidak akan bisa hamil," balas Hafsah masih dengan suaranya yang pelan.
"Halah, omongan itu lagi, bosen dengarnya! Jika kamu mandul mau bagaimana bisa hamil, hah? Memangnya ada wanita mandul bisa hamil?" Ruqoyah melemparkan baju dari tumpukan yang sudah disetrika oleh Hafsah ke arah kepala menantunya itu.
'Astaghfirullahal'adzim,' batin Hafsah sambil mengambil baju-baju itu.
"Lihat saja, kalau dalam satu bulan ke depan kamu tidak hamil juga, jangan salahkan Ali menikahi wanita lain!" hardik Ruqoyah lalu menendang tumpukan baju lainnya yang sudah tertata rapi sebelum di pergi ke kamarnya.
***
Apakah dalam satu bulan Hafsah bisa hamil? Apakah di sudut hati Ali masih tersimpan nama Sarah? Ikuti terus kisah mereka, ya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!