Diamnya Seorang Menantu
..."Terlalu banyak hal yang sudah aku perjuangan, tetapi kau sama sekali tidak melihatnya. Aku memaksa tinggal di tempat yang aku sendiri merasa tidak nyaman. Semua demi dirimu, demi baktiku sebagai seorang istri. Namun, kau sama sekali tidak bisa mengerti atau sekadar peka terhadap perasaanku." ...
..._Fahira Maharani_...
...****************...
"Bukankah sudah kubilang! Aku ini anak tunggal dan tidak mungkin pergi dari rumah ini meskipun sudah menikah! Seharusnya kau tahu itu. Memang apa susahnya? Kau sudah menikah denganku seharusnya kau bisa bersikap baik kepada ibuku!"
Aku hanya bisa menunduk ketika Mas Ashraf, suamiku, kembali menjawab pertanyaanku dengan suara yang menggelegar seolah akan memecahkan gendang telingaku.
Ini bukanlah pertengkaran pertama kita. Setelah dua tahun membina rumah tangga, aku yang mulai merasa tidak nyaman karena tinggal seatap dengan mertua, selalu berusaha berbicara dengan lembut kepada Mas Ashraf. Meminta untuk membangun rumah tangga yang mandiri, tetapi yang kudapati selalu seperti ini.
Bentakan keras yang mampu menggetarkan hati bahkan membuat jantungku seperti akan meledak dan hancur.
Lelaki yang menjadi teman tidurku sejak dua tahun lalu itu, pergi dengan membanting pintu dan aku hanya bisa menangis di tepi ranjang. Merem*s ujung baju yang kukenakan untuk menyalurkan rasa lara yang menggunung dalam jiwa.
Sakit.
Ya, ini sangat sakit. Aku yang memaksa untuk tetap bertahan demi baktiku sebagai seorang istri, justru merasa tidak dihargai sama sekali. Padahal selama ini aku berusaha untuk tetap diam dan menjalani semuanya.
Ketika menunggu cukup lama tidak ada tanda-tanda Mas Ashraf kembali masuk kamar, aku memilih untuk naik ke ranjang. Menarik selimut sampai sebatas dada. Kubiarkan bulir-bulir bening mengalir dari setiap sudut mataku tanpa berniat untuk mengusapnya.
Bukankah air mata adalah tanda rasa sakit saat mulut tak mampu lagi berbicara untuk mengatakan lara?
Di saat tangisanku belum reda, kudengar pintu diketuk dari luar. Kupikir itu adalah Mas Ashraf, tetapi ternyata bukan suamiku melainkan Ibu Sumarni, ibu mertuaku. Ketika mendengar langkah kaki yang mendekat, aku pun menarik selimut sampai menutup seluruh tubuh dan hanya sebagian rambutku yang terlihat.
Aku tidak mau jika ibu mertuaku tahu kalau aku sedang menangis. Biarlah ia mengira aku sedang tertidur. Begitulah pikirku.
"Dasar kebo!" umpatnya lirih. Namun, aku masih bisa mendengarnya dengan baik. "Suami berangkat kerja, bukannya bangun dan bantu-bantu malah tidur. Pantes sampai sekarang belum punya anak."
Aku hanya bisa memejamkan mata. Membiarkan bulir bening makin mengalir saat mendengar ucapan ibu yang terasa menyakitkan. Rasanya seperti menghujam jantungku dan menyalurkan rasa sakit yang membuatku hampir tidak berdaya.
Setelah kudengar pintu tertutup rapat, aku segera membuka selimut. Menatap nanar ke arah langit kamar. Pikiranku melayang. Membayangkan saat sebelum menikah dan orang tuaku selalu melimpahiku dengan curahan kasih sayang.
Ya Tuhan, aku sakit.
***
Setelah pertengkaranku dengan Mas Ashraf tadi pagi, aku benar-benar kehilangan semangat. Suasana hatiku benar-benar memburuk sampai tidak ingin melakukan apa pun selain rebahan dan rebahan. Bahkan, ketika bermain ponsel pun aku hanya menggulir benda pipih itu, tanpa tahu apa tujuanku.
Prang!
Aku bergegas keluar kamar ketika mendengar suara benda terjatuh. Menuju ke dapur dan aku hanya bisa menghela napas panjang ketika sebuah panci sudah tergeletak di samping kompor. Airnya tumpah ke mana-mana.
Dengan gegas aku mengambil panci tersebut lalu mengambil kain pel untuk membersihkannya.
"Lain kali hati-hati, Bu. Kalau tidak bisa biar aku yang lakuin nanti. Lagi pula, Mas Ashraf juga pulangnya masih satu jam lagi," ucapku pelan. Takut menyinggung perasaan ibu mertuaku.
"Kau bilang apa!" bentak wanita itu. "Kau dari tadi hanya di kamar seperti ayam yang sedang mengerami. Apa kau tahu kalau Ashraf hari ini pulang lebih awal?"
Aku menggeleng lemah karena memang tidak tahu apa pun. Mas Ashraf bahkan tidak mengirim satu pesan pun padaku.
"Ini kenapa?"
Aku tersentak saat mendengar suara suamiku. Aku berbalik dan melihat lelaki itu sedang berdiri di ambang pintu. "Kau sudah pulang, Mas?"
"Kau lihat aku sudah di sini, itu artinya aku sudah pulang. Ini kenapa ada panci di bawah dan lantainya sangat licin?" Pertanyaan Mas Ashraf begitu menuntut jawaban. Ia bahkan sudah menatapku dengan sangat tajam seolah akan mengulitiku hidup-hidup.
Sialnya lagi, lidahku mendadak kelu hingga tidak mampu memberi jawaban apa pun.
"Maafkan Ibu, Shraf. Ibu sudah bilang pada Ira kalau kau pulang cepat hari ini, tapi dia tidak percaya. Jadi, ibu yang memanaskan air untukmu mandi dan ibu terpaksa menjatuhkannya karena tidak kuat," adunya penuh kebohongan. Membuatku berada dalam posisi terpojok.
"Ma-maafkan aku, Mas."
Lagi-lagi aku hanya bisa diam menunduk dan berada dalam posisi paling lemah. Aku tidak mampu melawan meskipun aku tahu, aku tidak berada dalam posisi salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
suami sama ibunya gila..kasian Ira jadi mangsa..
lanjut
2023-10-03
0
Yuli Eka Puji R
ehh ibunya kaya setan
2023-07-10
0
Yuli Eka Puji R
kata" mu ga pantas km ucap buat mertuamu pamtas saja mertuamu ga suka sm km, seharusnya lebih sopan tunjukkan rasa khawatirmu jangan bilang nggak bs emamg sebelum ada km wahai istri emang siapa yg ngurus suamimu klo bukan ibunya
2023-07-10
0