DSM-8

Tidak mau dipusingkan oleh tebakan yang kuyakin hampir seratus persen benar, aku pun lebih memilih untuk menaruh handukku di tempat semula lalu merapikan pakaianku. Setidaknya hatiku merasa lega karena aku tidak menyimpan uang di lemari baju. 

Hampir setengah jam berlalu dan aku baru selesai. Segera kulangkahkan kaki menuju ke kamar mandi. Saat ibu mertuaku sedang berada di dapur, aku pun berusaha menyapa meski tidak ditanggapi. Aku mulai bersikap tidak peduli. Toh, sedang ada Mas Ashraf di rumah, sudah pasti ibu mertuaku tidak akan membully. Hehe. 

"Kau sudah mandi?" 

Aku terkejut ketika baru masuk kamar, Mas Ashraf langsung bertanya seperti itu. Kupikir suamiku tersebut masih tertidur lelap. 

"Sudah, Mas. Sana kalau kau mau mandi. Aku siapin bajunya." 

Baru saja sampai di depan lemari, Mas Ashraf sudah menarik tubuhku padahal saat ini posisiku hanya memakai handuk. Mas Ashraf bahkan langsung menindihku. 

"Mas, aku sudah mandi." Aku menolak karena malas jika harus mandi lagi. Belum lagi jika mendapat tatapan dari ibu mertuaku yang sedang memasak, aku bisa membayangkan betapa judesnya muka ibu mertuaku nanti. 

"Tidak papa. Kita mandi bareng nanti," ucap Mas Ashraf sambil tersenyum centil. 

Aku pun tidak lagi menolak dan pada akhirnya kami memadu kasih. Berikhtiar untuk bisa memiliki momongan. 

****

"Jangan pergi ke mana pun tanpa izinku." Mas Ashraf memberi perintah saat akan berangkat kerja. Aku hanya mengiyakan lalu menyalami tangan lelaki itu. Setelahnya, Mas Ashraf pun melajukan motornya meninggalkan rumah. 

Yang bisa kulakukan sekarang ini hanyalah menghela napas panjang. Mas Ashraf sudah berangkat bekerja, itu artinya aku harus mulai lagi menebalkan hatiku untuk menghadapi gempuran dari ibu mertuaku. 

Aku pun bergegas masuk untuk bersih-bersih sebelum ibu mertuaku memberi tausiyah. Baru saja mulai menyapu, Ibu mertuaku datang menghampiri. 

"Ra, belikan gula dan teh ya. Sudah habis. Sama sabun detergen juga," perintah ibu mertuaku. Aku hanya mengiyakan saja. Walaupun dalam hati agak ngegrundel juga. 

Sudah kepalang tanggung, aku memilih untuk menyelesaikan pekerjaanku menyapu dulu barulah pergi ke warung. Aku diam dan bersikap seolah tidak peduli saja ketika kudengar beberapa kali ibu mertuaku berdeham keras. Mungkin wanita itu kesal karena aku tidak langsung ke warung. 

Biarkan saja. Batinku kesal. 

***

Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, tetapi Mas Ashraf sudah pulang. Wajahnya pun tampak lesu tidak seperti biasanya. Buru-buru kutaruh ponselku dan kudekati lelaki itu. Entahlah, mengapa saat melihat raut wajah Mas Ashraf, membuatku mendadak gelisah. Sepertinya terjadi sesuatu terhadap suamiku.

"Kok tumben sudah pulang, Mas?" tanyaku. 

"Aku sudah berhenti kerja," sahutnya lirih. 

"Berhenti kerja?" Keningku mengerut dalam. "Apa maksudnya kau dipecat?" 

"Ya." Mas Ashraf menjawab singkat. 

Kulihat ia memijat pelipis, mungkin merasakan pusing. 

"Kenapa, Mas? Apa kau melakukan kesalahan?" Aku mulai cemas dan ingin tahu. Namun, bukan jawaban yang kudapati. Justru tatapan Mas Ashraf yang seperti akan menelanku. 

"Diamlah! Jangan membuatku semakin pusing!" bentaknya. 

Tubuhku beringsut takut mendengar bentakannya yang menggelegar. Padahal, aku adalah istrinya dan sudah sewajarnya tahu apa alasan yang membuat suamiku diberhentikan dari pekerjaannya. Tidak ingin menjadi sebuah masalah, aku memilih untuk diam. 

Hal yang sering sekali kulakukan sekarang ini. Diam, diam, dan diam. 

Di saat suasana  sedang tegang seperti itu. Ibu mertuaku datang. Kulihat keningnya mengerut dalam mungkin beliau merasa sama herannya seperti aku melihat Mas Ashraf pulang lebih awal. Aku jadi ingin tahu bagaimana reaksi ibu mertuaku ketika melihat putranya dipecat. 

"Tumben kau pulang cepat, Shraf." 

"Aku udah tidak kerja, Bu. Aku dipecat." Mas Ashraf menjawab lirih.

Kulihat ibu mertuaku mendelik tajam.

 "Dipecat? Bagaimana bisa?" Ibu mertuaku berjalan dengan tergesa lalu duduk di sofa dengan gerakan kilat. "Apa kau melakukan kesalahan?" 

"Tidak, Bu. Di sana sedang sepi kerjaan, jadi ada pengurangan pekerja dan aku salah satunya," sahutnya lirih. 

"Ya sudah. Mungkin kau disuruh istirahat dulu, Shraf." 

Aku hanya menghela napas panjang. Merasa iri sekaligus cemburu. Di saat aku yang bertanya, Mas Ashraf menjawab dengan bentakan. Sementara saat ibunya bertanya, ia menjawab dengan  lembut. 

Apakah aku salah jika iri seperti ini? Aku tahu surga di telapak kaki ibu, tetapi ketika seorang lelaki sudah menikah. Bukankah ia juga harus memuliakan istrinya? 

Rasanya aku ingin menangis keras dan berlari kembali ke rumah orang tuaku. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!