Mandul.
Beban suami.
Tidak becus melakukan apa pun.
Sepertinya hal itu sudah menjadi topik hangat perbincangan antara ibu mertuaku dengan Mpok Idah. Sudah berapa kali saja aku mendengarkan obrolan mereka yang selalu saja membuat hati ini terluka.
Sesampainya di warung, kupesan satu bungkus keripik singkong dan makaroni pedas. Hanya untuk mengisi toples saja agar Ibu mertuaku diam.
"Memangnya sedang ada tamu, Mbak Ira?" tanya pemilik warung itu.
Aku menggeleng lemah. "Tidak, Bu. Ada Mpok Idah di rumah."
"Waduh, cocok itu kalau Mpok Idah sama Bu Sumarni. Satu frekuensi. Tukang ghibah," ujarnya menggebu-gebu.
Aku hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Walaupun tidak suka kepada mertuaku, tetapi tetap saja tidak etis kalau mengobrolkan kejelekan wanita itu di depan orang lain. Lebih memilih untuk memendamnya saja. Setelah membayar, aku pun bergegas pulang karena tidak ingin mendengar obrolan lebih jauh lagi tentang Ibu mertuaku.
***
"Ashraf, lihatlah. Ibu beli cincin baru. Ini uang yang kau berikan pada ibu kemarin. Bagus 'kan?" Ibu mertuaku melirikku dan aku tahu arti lirikannya itu.
Dengan gegas kupalingkan muka. Rasanya begitu muak karena aku yakin setelah ini akan ada pembicaraan dengan Mas Ashraf yang mungkin akan menyakiti hatiku. Tidak mau terlibat pembicaraan lebih jauh, aku pun memilih untuk berpamitan ke kamar dengan dalih ingin tidur.
Mas Ashraf mengiyakan, sementara Ibu mertuaku tetap saja melayangkan lirikan tajam dan aku hanya berpura-pura tidak melihatnya.
Sudahlah, aku merasa lebih baik sekarang berada di kamar. Ini tempat paling nyaman. Selain tidak melihat Ibu mertuaku, aku juga tidak akan mendengar pembicaraan mereka.
Kuambil ponsel yang tergeletak di atas lemari kecil. Lalu kuhubungi orang tuaku. Rasanya rindu sekali dengan mereka karena sudah sebulan ini tidak datang berkunjung.
Jika ditanya apakah orang tuaku tidak menginginkan cucu. Sudah pasti mereka ingin. Namun, sikap mereka sangatlah jauh berbeda dengan ibu mertuaku. Mendengar aku yang tidak hamil juga, ibu kandungku memberikan banyak nasehat dan solusi. Termasuk obat-obat herbal dan juga sering memberikan buah kurma muda dan Zaitun, tetapi Allah belum berkehendak untukku punya anak.
Apalagi aku yang merupakan anak pertama dan perempuan satu-satunya karena kedua adikku laki-laki. Sudah pasti, mereka sangat mengharapkan cucu. Namun, mereka masih bisa menjaga perasaan putrinya.
Melihat Mas Ashraf yang masuk ke kamar, aku pun segera mematikan panggilan tersebut. Kutaruh ponselku di tempat semula sebelum Mas Ashraf mengomeli. Ia selalu mengira kalau aku mengadu pada orang tuaku dan menjelekkan ibu mertuaku.
"Kau sudah lihat ibu tadi?"
Pertanyaan Mas Ashraf membuatku hanya menatapnya heran. Tidak tahu apa maksud dan ke mana arah pembicaraan kami.
"Lihatlah, aku memberi uang kepada Ibu. Dia bisa beli emas. Cincin, kalung, sedangkan kamu? Aku sudah memberimu uang, tapi tidak jelas!"
"Kau bilang apa, Mas?"
Aku naik pitam. Sungguh, ucapan Mas Ashraf sangat melukai hatiku. Bagaimana bisa lelaki itu mengatakan kalau aku tidak jelas memegang uang. Rasanya sungguh sangat sakit sekali. Kulihat sorot mata Mas Ashraf yang menajam, tetapi kali ini aku tidak akan takut. Sudah cukup Mas Ashraf mengekangku selama ini.
"Bagaimana aku bisa membeli cincin seperti ibumu, Mas? Sementara kau hanya memberiku uang cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari. Kau memberi uang kepada ibu lebih banyak, tapi semua kebutuhan hidup kita, aku yang harus mengeluarkan uang. Bahkan, aku ingin membeli baju saja tidak bisa."
Mataku berkaca-kaca dan kubenci di saat situasi seperti ini. Membuatku terlihat sangat lemah.
"Kalau kau mau beli baju, tinggal beli saja. Bukannya aku sudah memberimu uang, jangan bersikap seolah-olah aku tidak memberi nafkah padamu." Suara Mas Ahsraf sudah naik satu oktaf, tetapi aku tetap tidak takut padanya.
"Ya, kalau aku beli baju dan lainnya. Lalu belum akhir bulan uang kita sudah habis, apa kau yakin tidak akan protes padaku? Kau yakin tidak akan menuduhku yang bukan-bukan. Kita menikah sudah dua tahun lebih, Mas. Jadi, aku sudah paham bagaimana kau!"
Tumpah ruah sudah air mataku. Membanjir membasahi pipi. Rasanya aku tidak sanggup lagi seperti ini, tetapi aku pun tidak bisa pergi karena Mas Ashraf terus menahanku.
Kulihat lelaki itu hanya diam dan bingung. Mau berdebat seperti apa pun, sekarang ini aku tidak mau kalah lagi.
"Lalu apa maumu?" tanyanya lirih.
"Aku mau kita tinggal terpisah dari Ibumu. Ngontrak tidak apa, asal kita bisa membangun rumah tangga mandiri," ucapku pada akhirnya. Walaupun aku yakin Mas Ashraf tidak akan menyanggupi.
"Kau selalu saja meminta seperti ini! Tidak bisakah kau berbuat baik pada ibuku? Dia juga orang tuamu sekarang!" bentak Mas Ashraf menggebu-gebu.
"Mas, aku sudah berbuat baik selama ini kepada Ibu, tapi aku tetap saja salah di matanya. Katakan padanya, bisakah beliau berbuat baik kepadaku? Aku sudah rela meninggalkan keluargaku demi tinggal di sini!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
benar apa yang dikatakan oleh Ira..tapi Ashraf saja yang mau.. tidak tau apa yang dialami oleh Ira
2023-10-03
0
Yuli Eka Puji R
periksa kedokter dua"nya biar ketahuan di mana kekurangannya krn wnaita ga hamil sendirian ada suami yg bikin hamil klo suami bermasalah sm kesuburannya istri ya ga akan kunjung hamil
2023-07-10
0
Nofita Sari
sruh aj suami mu yg pegang uang dn memenuhi kebutuhan sehari hari
2023-05-05
0