Jam sudah menunjuk angka lima sore, tetapi Mas Ashraf belum juga pulang. Padahal biasanya saat adzan ashar berkumadang, lelaki itu sudah di rumah. Bahkan, air hangat yang sudah kusiapkan saja, mulai perlahan dingin.
Aku berjalan ke pintu depan sekadar duduk di teras rumah sambil bermain ponsel. Entah mengapa, jika hanya berdua dengan ibu mertuaku di rumah, rasanya tidak betah. Seperti berada dalam sebuah kurungan yang membuatku tertekan dan tidak bebas. Mau mengobrol saja seperti ada sekat di antara kita.
Bukan karena tidak mau mengobrol dengan beliau, tetapi aku takut jika saking asyiknya mengobrol maka ada hal-hal yang tanpa sengaja kuucapkan dan itu akan menyebar ke mana-mana. Bukan mau menghina, tetapi ibu mertuaku itu tipikal orang yang mudah heboh. Baru mendengar berita yang 'katanya' saja sudah langsung menyebar seantero kampung.
"Kamu lagi ngapain di sini, Ra?" tanya Ibu mertuaku.
Aku menoleh dan melihat wanita itu duduk di kursi yang terletak di belakangku.
"Duduk aja, Bu. Bosen di rumah." Aku menjawab santai.
"Bilang aja kalau kamu lagi nungguin Ashraf. Kamu tenang saja, palingan juga kerjaan dia lagi tanggung. Ashraf mana mungkin kencan sama wanita lain," cetus ibu mertuaku.
Aku tidak menjawab apa pun. Hanya tersenyum canggung karena khawatir jika menjawab nanti akan salah di mata wanita itu.
Selang beberapa saat, Mas Ashraf pulang dan aku langsung berdiri menyambutnya. Tak lupa kusalami tangan kanan lelaki yang merupakan imamku ini. Lalu mengajak masuk tanpa peduli pada ibu yang masih duduk di tempatnya.
"Mas, aku sudah siapkan orek tempe dan sambal tomat. Habis ini kita makan bersama," ajakku antusias.
Mas Ashraf hanya menoleh sekilas padaku lalu sibuk melepas baju kerjanya. "Ibu masak apa?"
"Balado terong," sahutku lesu.
"Kalau begitu, aku makan sama balado terong saja," ujar lelaki itu sambil berlalu pergi ke kamar mandi.
Aku bergeming. Menatap punggung Mas Ashraf yang perlahan menjauh dari padangan. Kurem*s dada perlahan saat merasakan nyeri di sana. Entah mengapa, mendengar jawaban Mas Ashraf yang lebih memilih untuk memakan masakan ibunya membuat hatiku terasa sakit.
Aku sudah berusaha payah memasak untuknya, tetapi ia justru memilih masakan orang lain. Aku merasa tidak dihargai. Namun, seperkian detik selanjutnya, aku menggeleng cepat. Mengusir pikiran jahat yang tidak seharusnya bersarang dalam pikiran. Tidak ingin semakin dikacaukan oleh pikiranku sendiri dan hatiku yang mudah baperan maka aku memilih untuk ke dapur menyiapkan makan malam untuk kita bertiga.
"Balado terongnya jangan lupa. Ashraf sangat suka balado terong daripada orek tempe," ucap Ibu mertuaku tanpa memikirkan perasaanku.
Aku hanya mengiyakan lalu menyiapkan semuanya. Ketika sedang makan, Mas Ashraf terlihat begitu antusias memakan balado terong buatan ibunya. Padahal biasanya jika aku makan balado terong pun, Mas Ashraf tidak seantusias itu.
Lagi-lagi aku harus menyingkirkan perasaan ini. Sebelum aku kehilangan selera makan.
***
"Ira!"
Aku tersentak saat ada orang yang memanggil namaku ketika sedang berbelanja sayuran. Aku membalik badan dan terkejut melihat Emira—sahabatku—sedang berjalan mendekat. Aku pun mendadak heboh dan bersorak kegirangan seperti anak kecil yang melihat penjual ice cream.
Lalu kita berpelukan erat. Saling meluapkan rindu karena hampir setahun tidak bertemu.
"Ya ampun, Mir. Kamu betah banget di kota," kataku sembari melerai pelukan kita.
Kutatap wajah cantik Emira. Kulitnya terlihat putih dan bersih bahkan rambutnya terlihat sangat terawat. Berbeda dengan diriku yang hitam, kumal, dan tidak terawat.
"Kamu tambah cantik sekarang, Mir." Aku memuji wanita itu.
"Tentu saja. Aku perawatan, Ra. Setiap bulan aku punya gaji dan belum memiliki kebutuhan apa pun, jadi lebih baik aku gunakan untuk menyenangkan diriku sendiri." Emira terkekeh dan aku pun hanya tersenyum canggung.
Benar apa yang dikatakan Emira. Aku pun dulu seperti itu. Bisa melakukan perawatan, membeli apa pun yang kumau, bebas pergi ke mana saja tanpa ada yang melarang. Namun, sekarang semua berbeda. Hidupku berubah ketika aku menjadi ibu rumah tangga karena Mas Ashraf melarangku bekerja.
Padahal, jika diizinkan maka aku akan memilih untuk bekerja karena belum memiliki anak. Selain bisa punya uang sendiri untuk menyenangkan diri, aku juga bisa jauh dari ibu mertuaku. Lebih baik bekerja di bawah tekanan atasan daripada hidup di bawah tekanan mertua.
Seandainya Mas Ashraf mengizinkan, sudah pasti hatiku akan senang karena bisa hidup dengan tenang.
Ah, kenapa aku justru mengeluh seperti ini.
"Ra! Jangan ngalamun. Ntar kesambet!" Emira mengejutkanku.
Aku pun mencebik dan berpura-pura kesal. Setelahnya kami pun mengobrol banyak hal sampai lupa kalau aku belum berbelanja. Sekembalinya ke rumah, aku mendadak bimbang saat Emira mengatakan bahwa ada lowongan kerja di kota. Bos tempat Emira bekerja membutuhkan seorang pembantu karena ada yang baru saja keluar.
Aku benar-benar dilanda kebimbangan. Ingin sekali berangkat ke kota dan bekerja bersama Emira. Apalagi Emira bilang bahwa bosnya itu sangat baik dan dermawan. Namun, aku tidak yakin Mas Ashraf akan mengizinkan.
"Lebih baik aku coba bilang saja. Siapa tahu boleh," gumamku lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
mudahan saja Ashraf bagi izin..apa lagi mertua mu yang seperti setan.m
2023-10-03
0
Yuli Eka Puji R
itu ibunya bukan orang lain ra, suamimu aja yg kelakukannya kaya binatang
2023-07-10
0