NovelToon NovelToon

Diamnya Seorang Menantu

DSM-01

..."Terlalu banyak hal yang sudah aku perjuangan, tetapi kau sama sekali tidak melihatnya. Aku memaksa tinggal di tempat yang aku sendiri merasa tidak nyaman. Semua demi dirimu, demi baktiku sebagai seorang istri. Namun, kau sama sekali tidak bisa mengerti atau sekadar peka terhadap perasaanku." ...

..._Fahira Maharani_...

...****************...

"Bukankah sudah kubilang! Aku ini anak tunggal dan tidak mungkin pergi dari rumah ini meskipun sudah menikah! Seharusnya kau tahu itu. Memang apa susahnya? Kau sudah menikah denganku seharusnya kau bisa bersikap baik kepada ibuku!" 

Aku hanya bisa menunduk ketika Mas Ashraf, suamiku, kembali menjawab pertanyaanku dengan suara yang menggelegar seolah akan memecahkan gendang telingaku. 

Ini bukanlah pertengkaran pertama kita. Setelah dua tahun membina rumah tangga, aku yang mulai merasa tidak nyaman karena tinggal seatap dengan mertua, selalu berusaha berbicara dengan lembut kepada Mas Ashraf. Meminta untuk membangun rumah tangga yang mandiri, tetapi yang kudapati selalu seperti ini. 

Bentakan keras yang mampu menggetarkan hati bahkan membuat jantungku seperti akan meledak dan hancur. 

Lelaki yang menjadi teman tidurku sejak dua tahun lalu itu, pergi dengan membanting pintu dan aku hanya bisa menangis di tepi ranjang. Merem*s ujung baju yang kukenakan untuk menyalurkan rasa lara yang menggunung dalam jiwa. 

Sakit. 

Ya, ini sangat sakit. Aku yang memaksa untuk tetap bertahan demi baktiku sebagai seorang istri, justru merasa tidak dihargai sama sekali. Padahal selama ini aku berusaha untuk tetap diam dan menjalani semuanya. 

Ketika menunggu cukup lama tidak ada tanda-tanda Mas Ashraf kembali masuk kamar, aku memilih untuk naik ke ranjang. Menarik selimut sampai sebatas dada. Kubiarkan bulir-bulir bening mengalir dari setiap sudut mataku tanpa berniat untuk mengusapnya. 

Bukankah air mata adalah tanda rasa sakit saat mulut tak mampu lagi berbicara untuk mengatakan lara? 

Di saat tangisanku belum reda, kudengar pintu diketuk dari luar. Kupikir itu adalah Mas Ashraf, tetapi ternyata bukan suamiku melainkan Ibu Sumarni, ibu mertuaku. Ketika mendengar langkah kaki yang mendekat, aku pun menarik selimut sampai menutup seluruh tubuh dan hanya sebagian rambutku yang terlihat. 

Aku tidak mau jika ibu mertuaku tahu kalau aku sedang menangis. Biarlah ia mengira aku sedang tertidur. Begitulah pikirku. 

"Dasar kebo!" umpatnya lirih. Namun, aku masih bisa mendengarnya dengan baik. "Suami berangkat kerja, bukannya bangun dan bantu-bantu malah tidur. Pantes sampai sekarang belum punya anak." 

Aku hanya bisa memejamkan mata. Membiarkan bulir bening makin mengalir saat mendengar ucapan ibu yang terasa menyakitkan. Rasanya seperti menghujam jantungku dan  menyalurkan rasa sakit yang membuatku hampir tidak berdaya. 

Setelah kudengar pintu tertutup rapat, aku segera membuka selimut. Menatap nanar ke arah langit kamar. Pikiranku melayang. Membayangkan saat sebelum menikah dan orang tuaku selalu melimpahiku dengan curahan kasih sayang. 

Ya Tuhan, aku sakit. 

***

Setelah pertengkaranku dengan Mas Ashraf tadi pagi, aku benar-benar kehilangan semangat. Suasana hatiku benar-benar memburuk sampai tidak ingin melakukan apa pun selain rebahan dan rebahan. Bahkan, ketika bermain ponsel pun aku hanya menggulir benda pipih itu, tanpa tahu apa tujuanku.

Prang! 

Aku bergegas keluar kamar ketika mendengar suara benda terjatuh. Menuju ke dapur dan aku hanya bisa menghela napas panjang ketika sebuah panci sudah tergeletak di samping kompor. Airnya tumpah ke mana-mana. 

Dengan gegas aku mengambil panci tersebut lalu mengambil kain pel untuk membersihkannya. 

"Lain kali hati-hati, Bu. Kalau tidak bisa biar aku yang lakuin nanti. Lagi pula, Mas Ashraf juga pulangnya masih satu jam lagi," ucapku pelan. Takut menyinggung perasaan ibu mertuaku. 

"Kau bilang apa!" bentak wanita itu. "Kau dari tadi hanya di kamar seperti ayam yang sedang mengerami. Apa kau tahu kalau Ashraf hari ini pulang lebih awal?" 

Aku menggeleng lemah karena memang tidak tahu apa pun. Mas Ashraf bahkan tidak mengirim satu pesan pun padaku. 

"Ini kenapa?" 

Aku tersentak saat mendengar suara suamiku. Aku berbalik dan melihat lelaki itu sedang berdiri di ambang pintu. "Kau sudah pulang, Mas?" 

"Kau lihat aku sudah di sini, itu artinya aku sudah pulang. Ini kenapa ada panci di bawah dan lantainya sangat licin?" Pertanyaan Mas Ashraf begitu menuntut jawaban. Ia bahkan sudah menatapku dengan sangat tajam seolah akan mengulitiku hidup-hidup. 

Sialnya lagi, lidahku mendadak kelu hingga tidak mampu memberi jawaban apa pun. 

"Maafkan Ibu, Shraf. Ibu sudah bilang pada Ira kalau kau pulang cepat hari ini, tapi dia tidak percaya. Jadi, ibu yang memanaskan air untukmu mandi dan ibu terpaksa menjatuhkannya karena tidak kuat," adunya penuh kebohongan. Membuatku berada dalam posisi terpojok. 

"Ma-maafkan aku, Mas." 

Lagi-lagi aku hanya bisa diam menunduk dan berada dalam posisi paling lemah. Aku tidak mampu melawan meskipun aku tahu, aku tidak berada dalam posisi salah. 

DSM-02

Hal yang sudah menjadi kebiasaan. Di saat kita bertengkar, Mas Ashraf selalu saja tidur membelakangiku atau memakai selimut sampai menutup seluruh tubuh bahkan tidak peduli pada keberadaanku di sampingnya. Sementara itu, aku hanya bisa diam tanpa berbicara sepatah kata. Tidak ingin pertengkaran ini kian menjadi masalah rumit. 

Aku lebih memilih untuk diam dan memendam semuanya. 

Padahal, tidak dipungkiri bahwa dalam hati kecilku ingin membicarakan semuanya dengan baik-baik. Saling bertukar pendapat agar bisa saling berusaha mengerti satu sama lain. Lalu berpelukan setelahnya. 

Namun, tidak untuk Mas Ashraf. Hal itu hanyalah menjadi sebatas angan-angan saja. Ia tidak pernah memelukku kecuali dirinya 'ingin'. Di saat pikiranku kacau dan ingin pelukannya untuk menenangkan kegelisahan hati ini, tetapi Mas Ashraf tidak pernah memberikannya. Bahkan, terkadang aku mengeluh karena merasa diri ini seperti seorang wanita panggilan. Yang disentuh ketika hendak dipakai untuk memuaskan hasratnya saja. 

"Mas," panggilku lirih. Namun, Mas Ashraf tidak mendengarkan sama sekali. Aku pun hanya bisa mendes*hkan napas ke udara secara kasar. Lalu ikut membelakangi lelaki tersebut. 

Mengeluh. 

Aku tidak ingin mengeluh, tetapi sadar bahwa diri ini hanyalah manusia biasa yang sudah sepantasnya mengeluh ketika rasa lelah hampir sampai di puncaknya. 

Akhirnya, malam panjang kulewati dengan tidur yang tidaklah nyenyak. Beberapa kali harus terbangun karena mimpi buruk. Mimpi yang menjadi bunga tidur karena pikiranku sedang tidak baik-baik saja sekarang ini. 

Aku hendak turun dari ranjang, tetapi Mas Ashraf langsung menahan tanganku. Padahal lelaki itu masih memejamkan mata. Aku pun menoleh dan menatap senang padanya meskipun tatapanku tidak mendapatkan balasan. 

"Kau mau ke mana?" tanya Mas Ashraf. 

"Turun, Mas. Mau mandi terus masak," balasku. 

"Tunggu dulu. Kita main satu kali. Semalam aku ketiduran," ajaknya. 

"Tapi, Mas. Ini sudah hampir siang dan aku tidak mau kalau sampai ibu mengira aku ini tidak mau membantunya," tolakku halus. 

Aku memang tidak ingin jika pagi-pagi mendapat omelan dari mertua. Hal itu pasti sangat membuatku kesal dan bisa saja merusak moodku seharian. Namun, perintah Mas Ashaf pun tidak bisa ditolak. Sebagai seorang istri, aku harus menuruti semua perintah suami. 

Pada akhirnya, aku pun kembali merebahkan diri dan menuruti keinginan Mas Ashraf walaupun aku tidak terlalu menikmati karena pikiranku melayang. Takut pada kemarahan ibu. 

***

"Aku berangkat dulu." Mas Ashraf berpamitan padaku. 

Hanya kusambut dengan anggukan dan menyalami tangan lelaki itu. Setelah mengantar sampai depan pintu, aku bergegas masuk kembali. 

Hah! Kudes*hkan napasku cukup kasar. Setelah ini aku harus bersiap menghadapi ibu mertua yang akan berubah sikap ketika Mas Ashraf sudah berangkat kerja. Wanita paruh baya itu, akan terlihat seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. 

Sebelum wanita itu mengoceh, bergegas kuambil keranjang yang berisi baju kotor lalu membawanya ke kamar mandi untuk mencucinya. Aku hanya diam saja ketika menyadari bahwa tatapan ibu mertuaku sangat tajam dari arah dapur. Langsung kupalingkan muka karena tidak mau bertatapan dengannya. 

"Ira!" 

Suara menyebalkan itu terdengar memekik hingga membuatku berdecak malas. Tidak ingin makin menambah masalah, aku bergegas bangun dan mendekati Nyonya di rumah itu. 

"Buatkan minum. Dua gelas," perintahnya saat aku baru saja sampai di ruang tamu. 

Dengan langkah lebar, kubawa kakiku menuju ke dapur membuatkan pesanan sang ibu mertua. Setelahnya, aku berpamitan untuk kembali mencuci. Walaupun aku tidak langsung mencuci. Melainkan berdiri di belakang tembok untuk mendengar obrolan kedua wanita yang sama-sama julid tersebut. 

"Bu Sumarni, senang ya punya mantu mau bantu-bantu. Tidak seperti mantuku yang adanya cuma tiduran di kamar apalagi sekarang lagi hamil muda." 

Aku bisa mendengar jelas suara Mpok Idah, tetangga sebelah. Kedua orang itu jika sedang berkumpul pasti bisa betah  mengobrol sampai berjam-jam dan entah apa yang dibahas..

 "Kata siapa." 

Kudengar ibu mertuaku membantah. Ah, aku yakin pasti setelah ini akan ada kalimat menyakitkan dan bodohnya aku masih saja berdiri di tempatku sekarang ini. 

"Dia itu mau bantu kalau lagi mood saja. Padahal tidak hamil, kalau hamil 'kan wajar." 

"Iya ya, Bu Sumarni. Ira belum hamil juga ya padahal sudah dua tahun menikah. Anakku saja sudah hamil. Apa jangan-jangan Ira mandul, Bu Sumarni." 

Kurem*s dadaku saat merasakan sakit di sana. Sungguh, obrolan mereka melukai harga diriku. Tidak ingin batin makin lara, aku memilih untuk kembali mencuci. 

Sudah cukup aku mendengar obrolan orang-orang yang menyakiti hatiku. 

DSM-3

Jam sudah menunjuk angka lima sore, tetapi Mas Ashraf belum juga pulang. Padahal biasanya saat adzan ashar berkumadang, lelaki itu sudah di rumah. Bahkan, air hangat yang sudah kusiapkan saja, mulai perlahan dingin. 

Aku berjalan ke pintu depan sekadar duduk di teras rumah sambil bermain ponsel. Entah mengapa, jika hanya berdua dengan ibu mertuaku di rumah, rasanya tidak betah. Seperti berada dalam sebuah kurungan yang membuatku tertekan dan tidak bebas. Mau mengobrol saja seperti ada sekat di antara kita. 

Bukan karena tidak mau mengobrol dengan beliau, tetapi aku takut jika saking asyiknya mengobrol maka ada hal-hal yang tanpa sengaja kuucapkan dan itu akan menyebar ke mana-mana. Bukan mau menghina, tetapi ibu mertuaku itu tipikal orang yang mudah heboh. Baru mendengar berita yang 'katanya' saja sudah langsung menyebar seantero kampung. 

"Kamu lagi ngapain di sini, Ra?" tanya Ibu mertuaku. 

Aku menoleh dan melihat wanita itu duduk di kursi yang terletak di belakangku. 

"Duduk aja, Bu. Bosen di rumah." Aku menjawab santai. 

"Bilang aja kalau kamu lagi nungguin Ashraf. Kamu tenang saja, palingan juga kerjaan dia lagi tanggung. Ashraf mana mungkin kencan sama wanita lain," cetus ibu mertuaku. 

Aku tidak menjawab apa pun. Hanya tersenyum canggung karena khawatir jika menjawab nanti akan salah di mata wanita itu. 

Selang beberapa saat, Mas Ashraf pulang dan aku langsung berdiri menyambutnya. Tak lupa kusalami tangan kanan lelaki yang merupakan imamku ini. Lalu mengajak masuk tanpa peduli pada ibu yang masih duduk di tempatnya. 

"Mas, aku sudah siapkan orek tempe dan sambal tomat. Habis ini kita makan bersama," ajakku antusias. 

Mas Ashraf hanya menoleh sekilas padaku lalu sibuk melepas baju kerjanya. "Ibu masak apa?" 

"Balado terong," sahutku lesu. 

"Kalau begitu, aku makan sama balado terong saja," ujar lelaki itu sambil berlalu pergi ke kamar mandi. 

Aku bergeming. Menatap punggung Mas Ashraf yang perlahan menjauh dari padangan. Kurem*s dada perlahan saat merasakan nyeri di sana. Entah mengapa, mendengar jawaban Mas Ashraf yang lebih memilih untuk memakan masakan ibunya membuat hatiku terasa sakit. 

Aku sudah berusaha payah memasak untuknya, tetapi ia justru memilih masakan orang lain. Aku merasa tidak dihargai. Namun, seperkian detik selanjutnya, aku menggeleng cepat. Mengusir pikiran jahat yang tidak seharusnya bersarang dalam pikiran. Tidak ingin semakin dikacaukan oleh pikiranku sendiri dan hatiku yang mudah baperan maka aku memilih untuk ke dapur menyiapkan makan malam untuk kita bertiga. 

"Balado terongnya jangan lupa. Ashraf sangat suka balado terong daripada orek tempe," ucap Ibu mertuaku tanpa memikirkan perasaanku.

Aku hanya mengiyakan lalu menyiapkan semuanya. Ketika sedang makan, Mas Ashraf terlihat begitu antusias memakan balado terong buatan ibunya. Padahal biasanya jika aku makan balado terong pun, Mas Ashraf tidak seantusias itu. 

Lagi-lagi aku harus menyingkirkan perasaan ini. Sebelum aku kehilangan selera makan. 

***

"Ira!" 

Aku tersentak saat ada orang yang memanggil namaku ketika sedang berbelanja sayuran. Aku membalik badan dan terkejut melihat Emira—sahabatku—sedang berjalan mendekat. Aku pun mendadak heboh dan bersorak kegirangan seperti anak kecil yang melihat penjual ice cream. 

Lalu kita berpelukan erat. Saling meluapkan rindu karena hampir setahun tidak bertemu. 

"Ya ampun, Mir. Kamu betah banget di kota," kataku sembari melerai pelukan kita.

Kutatap wajah cantik Emira. Kulitnya terlihat putih dan bersih bahkan rambutnya terlihat sangat terawat. Berbeda dengan diriku yang hitam, kumal, dan tidak terawat. 

"Kamu tambah cantik sekarang, Mir." Aku memuji wanita itu. 

"Tentu saja. Aku perawatan, Ra. Setiap bulan aku punya gaji dan belum memiliki kebutuhan apa pun, jadi lebih baik aku gunakan untuk menyenangkan diriku sendiri." Emira terkekeh dan aku pun hanya tersenyum canggung. 

Benar apa yang dikatakan Emira. Aku pun dulu seperti itu. Bisa melakukan perawatan, membeli apa pun yang kumau, bebas pergi ke mana saja tanpa ada yang melarang. Namun, sekarang semua berbeda. Hidupku berubah ketika aku menjadi ibu rumah tangga karena Mas Ashraf melarangku bekerja. 

Padahal, jika diizinkan maka aku akan memilih untuk bekerja karena belum memiliki anak. Selain bisa punya uang sendiri untuk menyenangkan diri, aku juga bisa jauh dari ibu mertuaku. Lebih baik bekerja di bawah tekanan atasan daripada hidup di bawah tekanan mertua. 

Seandainya Mas Ashraf mengizinkan, sudah pasti hatiku akan senang karena bisa hidup dengan tenang. 

Ah, kenapa aku justru mengeluh seperti ini. 

"Ra! Jangan ngalamun. Ntar kesambet!" Emira mengejutkanku. 

Aku pun mencebik dan berpura-pura kesal. Setelahnya kami pun mengobrol banyak hal sampai lupa kalau aku belum berbelanja. Sekembalinya ke rumah, aku mendadak bimbang saat Emira mengatakan bahwa ada lowongan kerja di kota. Bos tempat Emira bekerja membutuhkan seorang pembantu karena ada yang baru saja keluar.

Aku benar-benar dilanda kebimbangan. Ingin  sekali berangkat ke kota dan bekerja bersama Emira. Apalagi Emira bilang bahwa bosnya itu sangat baik dan dermawan. Namun, aku tidak yakin Mas Ashraf akan mengizinkan. 

"Lebih baik aku coba bilang saja. Siapa tahu boleh," gumamku lirih. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!