DSM-9

Setelah merasakan sikap Mas Ashraf seperti itu, aku lebih memilih untuk diam selama beberapa saat. Tidak menyapanya. Semua kulakukan bukan karena marah kepada Mas Ashraf karena ia berhenti kerja. Namun, lebih ke rasa kecewa dengan sikap Mas Ashraf yang terlalu membedakan antara diriku dan ibunya. 

Kusiapkan makan malam dan meminta lelaki itu untuk makan bersama. Sikapku sedikit tak acuh bahkan ketika sedang makan pun, aku sama sekali tidak berselera. Beberapa kulihat Mas Ashraf melirikku, tetapi aku berpura-pura tidak mengetahui itu. 

"Kau marah karena aku dipecat?" Suara Mas Ashraf terdengar penuh penekanan ketika kami baru saja masuk kamar.

Aku menggeleng lemah tanpa menjawab sama sekali. Rasanya masih sangat malas untuk membuka suara apalagi mengobrol dengan lelaki itu. 

"Kalau kau tidak marah lalu kenapa sikapmu seperti ini? Belum ada sehari aku berhenti kerja, tapi kau sudah langsung bertingkah seperti musuh bagiku. Bagaimana kalau aku tidak berkerja sama sekali." 

"Aku yang akan bekerja, Mas." Aku menimpali dengan cepat. Kuangkat kepala dan kulihat Mas Ashraf terlihat sedang mendelik ke arahku.

"Kenapa kau bersikukuh untuk terus bekerja? Padahal aku sudah memintamu untuk hidup enak. Tinggal di rumah, menungguku pulang dengan tiduran seharian dan menerima uang saat aku gajian. Kau tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga, bukan!" 

Aku hanya bisa menghela napas panjang ketika mendengar suara Mas Ashraf yang menggelegar. Sebegitu entengnya lelaki itu mengatakan aku hanya cukup tiduran di rumah. Ia benar-benar tidak membayangkan jika berada di posisiku. Mas Ashraf tidak tahu bagaimana tidak nyamannya tinggal bersama mertua. Harus memiliki mental baja, belum lagi suami yang tidak mau mengerti membuatku harus memiliki hati yang 'bakoh'.

Tidak ingin terjadi pertengkaran hebat, aku lebih memilih untuk menarik selimut sampai sebatas leher dan membiarkan Mas Ashraf masih bersama kemarahannya. Sudah cukup aku berdebat tadi dan aku tidak ingin terlalu banyak mengeluarkan tenaga. 

***

"Kamu mau ke mana, Mas?" tanyaku heran saat melihat Mas Ashraf sudah terlihat rapi padahal jam baru menunjuk pukul enam pagi. 

"Mau pergi sama Yuni, dia bilang di pabrik butuh karyawan. Jadi, aku berangkat sama dia," sahut Mas Ashraf. 

"Jadi, hari ini kamu mulai bekerja?" tanyaku lagi dengan heran karena Mas Ashraf tidak pernah membicarakan ini sebelumnya. 

Kulihat Mas Ashraf berdecak kesal. "Aku baru mau interview. Yuni yang akan mengajakku bertemu dengan atasannya supaya lebih mudah masuk. Doakan aku diterima." 

"Pasti, Mas. Semoga dilancarkan segala urusanmu. Di mana pun kau bekerja, semoga mendapat rezeki yang halal dan barokah," doaku. 

Aku terkejut ketika Mas Ashraf tiba-tiba mencium puncak kepalaku. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh lelaki tersebut. Aku tersenyum simpul ketika melihat Mas Ashraf berjalan keluar dari kamar. 

Ah, hanya dicium kening seperti ini saja, aku merasa seperti mendapat lotre. Rasanya sungguh sangat bahagia dan aku pun merasa bersemangat menjalani hari ini. 

Setelah kepergian Mas Ashraf, aku segera membersihkan diri lalu bersih-bersih rumah. Aku tidak peduli meskipun melihat Ibu Mertuaku yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari posisiku. Bahkan, wanita itu sejak tadi melirikku. Mungkin wanita itu sedang mengawasiku, tetapi aku sama sekali tidak peduli. 

"Ehem!" 

Ketika aku sedang menyapu ruang tamu di mana ibu mertuaku sedang duduk di sana, kudengar wanita paruh baya itu berdeham keras. Namun, aku tidak peduli dan tetap meneruskan pekerjaanku. 

"Kau bahagia sekali hari ini? Apa karena Ashraf sudah mulai bekerja dan kau bisa meminta uang padanya lagi!" 

Kuhentikan gerakan tanganku dan melihat ibu mertua yang terlihat sinis. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan ibu mertuaku yang seolah tidak suka dengan keberadaanku di sini. 

"Maaf, Bu. Tentu saja aku senang kalau Mas Ashraf berkerja lagi." 

"Dan kau bisa memoroti uangnya lagi, bukan!" tukasnya memotong ucapanku. 

Kurem*s gagang sapu yang sedang kupegang. Sungguh, rasanya aku ingin sekali merem*s mulut ibu mertuaku itu. Dia bilang aku memoroti Mas Ashraf, padahal selama ini beliau yang mendapat uang lebih banyak dari Mas Ashraf daripada aku. 

Wanita ini sungguh tidak ada bersyukur-bersyukurnya. Omelku dalam hati. 

"Aku tidak pernah memoroti Mas Ashraf, Bu. Tapi itu sudah menjadi kewajiban Mas Ashraf untuk memberiku nafkah. Bahkan, menurut ucapan yang aku dengar, bahwa uang suami adalah milik istri, bukan milik dirinya apalagi ibunya." 

Entah, sedang kerasukan setan apa. Aku bisa berbicara seperti itu. Bahkan, aku sama sekali tidak takut ketika melihat ibu mertuaku sudah melotot ke arahku. 

"Kau berani kurang ajar padaku!" 

Kudengar suaranya begitu menggelegar dan seperti akan memecahkan gendang telinga. "Aku hanya berbicara apa adanya, Bu." 

Aku pun langsung pergi ketika melihat ibu mertuaku sudah mendelik tajam. Aku dengan sengaja meninggalkan wanita itu dan hanya kudengar omelan-omelannya yang keras itu. 

Hah! Aku tidak boleh terlalu lemah sekarang. Jangan sampai kau mudah diinjak-injak oleh orang lain, Ra. Batinku. Menguatkan diriku sendiri. 

Terpopuler

Comments

Nofita Sari

Nofita Sari

kyk'ny ibu'ny asraf gk prnah nikah dech dn tdk merasakn jdi istri dech kok msih blg mw moroti uang suami kn emang tugas suami ngasih nafkah istri..

2023-05-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!