Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal bahkan mandi sebelum Shubuh. Setelah itu, aku memasak untuk sarapan Mas Ashraf dan ibu mertuaku. Setelah semua beres dan sudah bersiap untuk berangkat, kulihat Mas Ashraf baru saja membuka mata. Wajahnya masih terlihat lesu. Bahkan, sepertinya nyawa lelaki itu belum terkumpul.
"Kau mau ke mana? Sudah rapi sekali," tanya Mas Ashraf. Kulihat bola matanya naik turun, seolah sedang mengamatiku dari atas sampai bawah.
"Aku mau kerja, Mas. Bukankah kemarin aku sudah izin padamu. Aku masuk jam enam, jadi aku harus berangkat sekarang," sahutku. Mas Ashraf tidak berbicara apa pun, mungkin lelaki itu masih belum terbiasa. Sama seperti aku yang juga belum terbiasa. "Sarapan sudah aku siapkan, termasuk baju kerjamu, Mas. Aku berangkat dulu."
Aku pun bergegas keluar dari kamar dan berjalan kaki menuju tempat kerjaku. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu lima belas menit paling lama jika berjalan kaki. Itulah kenapa aku tidak meminta Mas Ashraf untuk mengantar.
Yang kutahu, Ibu Mery, majikan baruku itu orang yang sangat baik dan dermawan. Bahkan, tidak pernah membeda-bedakan orang dari status sosial apalagi rupa. Kepada siapa pun wanita itu terkenal bersikap ramah. Sangat berbeda dengan orang kaya kebanyakan.
Setibanya di rumah Ibu Mery, ternyata Mbak Santi sudah menunggu di depan. Kami berdua pun masuk dan langsung bersalaman. Banyak hal yang kami obrolkan sebelum akhirnya aku memulai tugasku. Bersih-bersih di rumah tersebut. Sementara hari ini Mbak Santi masih memasak, sebelum besok hal itu pun menjadi tugasku.
Kulirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul tujuh, sudah waktunya Mas Ashraf berangkat kerja dan lelaki itu pasti akan lewat depan rumah Ibu Mery yang merupakan jalan utama. Dengan sengaja aku menyapu bagian depan, siapa tahu melihat suamiku lewat.
Ah, aku benar-benar merasa seperti anak kecil yang sedang menunggu penjual cilok lewat.
Namun, sampai cukup lama aku menunggu, tidak ada tanda-tanda Mas Ashraf lewat. Bahkan, sampai aku selesai menyapu. Lelaki itu belum terlihat batang hidungnya. Termasuk suara motornya yang sudah sangat kuhafal pun tidak terdengar sama sekali. Akhirnya, aku pun memilih untuk masuk karena akan membersihkan ruangan bagian dalam.
Akan tetapi, langkahku terhenti sebelum masuk ke rumah ketika melihat Mas Ashraf sedang berboncengan dengan Yuni. Anak itu satu kampung denganku, tetapi berbeda RT saja.
Aku hanya melihat mereka berdua tanpa bisa berkata apa-apa. Yuni duduk di belakang Mas Ashraf yang mengemudikan motornya begitu saja saat lewat depan rumah Ibu Mery. Entah lelaki itu memang tidak melihatku atau hanya berpura-pura tidak melihat saja.
Kudes*hkan napas ke udara secara kasar. Bahkan, sudah kurem*s gagang sapu yang masih kupegang saat kurasakan desiran rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh.
Aku tahu, ini salah. Tidak sepantasnya aku cemburu dengan mereka. Mas Ashraf berboncengan dengan Yuni karena mereka berkerja di tempat yang sama. Kugelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran buruk yang tiba-tiba bersarang dalam otakku. Aku tidak boleh berburuk sangka. Aku harus yakin kalau suamiku itu sedang berkerja untuk mencari nafkah. Bukan untuk mencari wanita lain.
***
Sepulang bekerja, aku segera duduk di sofa ruang tamu. Sekadar beristirahat sebentar karena tubuhku merasa sangat lelah. Walaupun terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian, tetapi entah mengapa ketika bekerja di rumah orang lain, aku merasa berbeda. Rasanya lebih capek. Apalagi aku terus saja kepikiran Mas Ashraf yang berboncengan dengan Yuni. Sungguh, sangat mengusik pikiranku.
"Capek kerja?"
Suara Ibu mertuaku dari arah dapur berhasil mengalihkan perhatianku. Rasanya malas sekali melihat wanita itu, tetapi mau bagaimana lagi. Kami tinggal serumah, jadi mana mungkin tidak bertemu.
"Makanya, jadi wanita itu jangan ngeyel. Suami udah nyuruh di rumah aja. Santai, tinggal kipas-kipas, tiap bulan dapat jatah uang kok masih kurang bersyukur. Harusnya itu kamu nurut sama suami. Kalau mau bebas kerja atau apa ya terserah. Selama masih lajang mah tidak apa, seperti Yuni. Kalau udah bersuami itu harusnya nurut."
Kukepalkan tanganku dengan kuat. Rasanya sungguh sangat menyakitkan. Dari sekian banyak nama wanita, kenapa harus Yuni yang disebut oleh ibu mertuaku. Padahal nama itu sejak tadi mengusik pikiranku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
seperti nya mertua mu Ira menyokong kalo Ashraf dekat dengan Yuni..hati² bisa jadi Yuni pelakor
2023-10-03
0