DSM-19

Diam saja? 

Tentu saja tidak. Sekarang aku tidak mau jika hanya diam ketika Mas Ashraf terus memojokkanku. Aku punya harga diri yang harus kujunjung tinggi. 

Aku pun bangkit dan berdiri sejajar dengan Mas Ashraf. Kutatap matanya tanpa rasa takut meskipun sorot mata Mas Ashraf terlihat dipenuhi oleh amarah. 

"Kenapa kau tidak terima, Mas? Bukankah kita ini melakukan hal yang sama. Kau mengadu bahkan diam saja ketika ibumu menjelekkanku. Aku hanya mengikuti apa yang kau lakukan, Mas." Ucapanku terdengar keras. Mas Ashraf pun masih terus menatapku dan kulihat rahangnya masih terlihat mengetat. 

"Apa? Katakan apa yang harus kulakukan padamu? Selama ini aku sudah banting tulang, mencari nafkah untukmu, tapi itu masih kurang bagimu. Kau memang terlalu banyak menuntut!" Mas Ashraf tetap tidak mau kalah. 

"Menuntut? Kau bilang aku terlalu banyak menuntut? Mas, asal kau tahu! Seorang istri tidak hanya membutuhkan nafkah batin saja, tetapi nafkah lahir juga, Mas. Lebih baik kau ingat-ingat, apa kau sudah memberikan nafkah lahir yang cukup padaku?" 

"Tentu saja." 

Mas Ashraf benar-benar tidak tahu diri! Umpatku dalam hati. 

"Apa? Ingat, Mas. Nafkah lahir bukan hanya tentang bercinta atau berhubungan badan saja, tapi perhatian juga rasa kasih sayang. Apakah pantas seorang suami menyebut bahkan memuji nama wanita lain di depan istrinya sendiri? Bermesraan dan mengatakan bahwa wanita itu lebih baik daripada istrinya sendiri? Apakah pantas, Mas!" 

Kutahan air mataku. Sungguh, aku sangat membenci diriku yang sangat rapuh ini. Kenapa mudah sekali menangis hanya karena mengungkapkan apa yang sangat mengganggu batinku. Selama ini aku hanya menangisi dalam diam, tetapi tidak untuk sekarang ini. Sudah cukup aku bertahan pada batas kesabaranku yang maksimal. 

"Kuharap kau diam, Mas. Sebelum aku selesai bicara. Dengarkan semua keluh kesahku sebelum aku melayangkan gugatan cerai untukmu." Aku menghindari tatapan Mas Ashraf karena tidak ingin jika hatiku luluh kepada lelaki itu. 

"Jangan ngarang! Bukankah sudah kubilang aku tidak akan ...." 

"Aku tidak mau dimadu! Lebih baik aku menyandang gelar seorang janda daripada harus memiliki madu. Aku tidak akan sanggup jika perhatianmu terbagi. Belum menikah lagi saja, kau sudah cuek padaku apalagi kalau sampai ada istri muda? Aku tidak tahu aku tampak seperti apa aku di matamu, Mas. Mungkin hanya seperti butiran debu saja."  

Aku sengaja menyela ucapan Mas Ashraf karena tidak ingin lelaki itu terus membela dirinya sendiri. 

"Mas, hubungan kita sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Terlalu banyak hal yang membuat kesabaranku kian hari kian menipis. Aku memang sayang padamu bahkan kucoba untuk terus berbakti padamu. Tapi ... sekarang ini aku menyerah, Mas. Aku benar-benar lelah dan tidak bisa lagi meneruskan semuanya." 

"Kau sudah yakin pada kemauanmu itu? Jangan salahkan aku kalau sampai suatu saat ada omongan buruk tentang hubungan kita apalagi tentangmu." Nada Mas Ashraf terdengar penuh ancaman. Namun, sekarang ini aku tidak lagi gentar apalagi takut. 

Aku bukan wanita lemah. 

"Ya. Aku sudah sangat siap, Mas. Aku tidak mau lagi jika harus tinggal dengan ibumu yang tidak pernah bisa menjaga perasaanku. Aku tidak sanggup lagi jika menghadapi sikapmu yang cuek padaku dan aku pun tidak bisa lagi menahan rasa cemburu karena kedekatanmu dengan Yuni. Aku sudah terlalu banyak bersabar selama ini, Mas." 

"Kalau memang itu maumu maka sekarang ini akan aku turuti. Aku akan menalakmu dan sekarang ini kita bukan lagi suami-istri!"

Mas Ashraf berbicara lantang dan setelahnya pergi dari kamarku. Meninggalkanku yang kini terduduk lemas di atas kasur. Kutangkup wajahku untuk meredam tangis yang mulai terdengar. Selang beberapa saat kedua orang tuaku pun masuk dan bahkan Ibu langsung memelukku erat. Memberiku kekuatan agar bisa menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini.  

"Ra ... Ibu yakin ini terbaik untuk kalian. Kau harus banyak bersabar." Ibu mengusap punggungku dengan lembut seolah memberi ketenangan padaku, sedangkan Bapak hanya menatapku dengan tatapan yang susah dijelaskan. 

Melihat itu, aku segera bangun dan berlari memeluk Bapak. Kurasakan tangan lelaki itu membalas pelukanku tak kalah erat.

"Bapak yakin setelah ini kau akan hidup bahagia. Lepaskan lelaki brengsek seperti Ashraf. Jika suatu saat nanti dia meminta kau kembali maka Bapak tidak akan sudi! Bapak tidak mau lagi menyesal karena menyerahkanmu pada lelaki yang salah."  

Aku hanya diam sembari mengeratkan pelukanku. Sekarang aku yakin bahwa kasih sayang paling tulus dari seorang lelaki untuk perempuan adalah rasa sayang seorang ayah kepada putrinya. Seorang ayah akan memberikan kasih sayang setulus mungkin kepada putrinya yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh lelaki mana pun. 

"Pak, aku janji setelah ini akan hidup bahagia meskipun dengan gelar janda." 

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

yes akhirnya Ira terlepas juga dari 2 manusia durjana..... Ashraf pasti menyesal..

2023-10-03

0

Rahma Inayah

Rahma Inayah

kok blm up thor...

2023-05-18

1

🥀⃞Weny🅠🅛

🥀⃞Weny🅠🅛

semoga saja kamu menyesal telah memilih Yuni😏

2023-05-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!