"Kau bilang aku tidak peduli padamu? Kau tidak menganggap semua perjuanganku selama ini? Dasar istri tidak tahu terima kasih!" Ucapan Mas Ashraf begitu menggelegar. Membuat hatiku kian sakit.
Aku melupakan satu hal bahwa Mas Ashraf tidak pernah mau disalahkan dan selalu menganggap bahwa dirinya itu paling benar.
"Mas, kau menganggap dengan memberi uang adalah bentuk kepedulian maka kau salah selama ini. Asal kau tahu, bukan hanya uang dan harta yang diinginkan seorang istri, tapi juga perhatian." Kutahan air mata sekuat tenaga.
"Benar ya memang kata ibu kalau aku lebih baik menikah lagi. Kau terlalu banyak menuntut."
"Kalau begitu, ceraikan aku, Mas!" Sekali lagi kupinta hal itu dengan nada bicara yang lebih keras, tetapi Mas Ashraf justru hanya mematung saja. "Jangan bilang kau tidak mau menceraikanku! Sudah cukup aku sakit selama ini dan kuharap kau tidak pernah egois, Mas!"
Dadaku naik turun karena napas yang memburu. Sudah cukup aku bertahan selama ini. Mas Ashraf sudah berbicara lebih baik menikah lagi, itu artinya lelaki tersebut sudah keterlaluan dan tidak seharusnya aku terus mempertahankan pernikahan ini.
Namun, apa yang terjadi? Bukannya menyelesaikan masalah, Mas Ashraf justru naik ke atas kasur dan pergi tidur. Tidak peduli meskipun aku masih dipenuhi amarah. Sungguh, semua ini terasa penuh di dada hingga membuatku ingin menangis sekeras mungkin.
Ya Tuhan, aku benar-benar kecewa.
***
Pagi ini, aku bangun dengan bermalasan. Kulihat jam baru menunjuk pukul tiga pagi. Aku pun melakukan sholat tahajud terlebih dahulu. Lalu bersiap untuk masak.
Pertengkaran yang tak kunjung usai, juga rasa kecewa kepada ibu mertua membuatku merasa sangat enggan kepada mereka. Sangat malas jika harus bertemu apalagi berbicara. Aku pun memilih untuk menyelesaikan semuanya dengan cepat dan setelah sholat shubuh, dengan gegas aku menuju ke rumah Ibu Mery.
Beruntung, Ibu Mery sangat percaya padaku hingga memasrahkan kunci rumah dan membebaskanku untuk tinggal di sana selama tiga hari. Karena Ibu Mery berada di luar kota selama tiga hari. Bahkan, jika menginap di rumah wanita itu pun, Ibu Mery tidak pernah merasa keberatan.
Andai tidak ada pertengkaran atau rasa enggan, aku lebih memilih berada di rumah sendiri, lebih bebas. Namun, kenyamanan yang kudapat sekarang adalah di rumah Ibu Mery. Bukan di rumah ibu mertuaku.
Mas, semua sarapan dan bajumu sudah kusiapkan. Aku berangkat lebih awal karena banyak yang harus kubereskan sebelum Ibu Mery pulang dari luar kota. Berhati-hatilah saat bekerja.
Aku menulis pesan tersebut di secarik kertas lalu menaruhnya di samping Mas Ashraf. Agar saat suamiku bangun nanti langsung membaca pesan tersebut.
Aku belajar bersikap tidak peduli. Berusaha menghiraukan agar batinku tidak terlalu tersiksa. Aku memang sengaja menjauh dari mereka karena menganggap sikap mereka sudah keterlaluan.
Walaupun tidak ada majikan, aku tetap membersihkan rumah tersebut sampai bersih. Mencuci dan mengepel seperti biasa. Akan tetapi, ketika sedang mengepel bagian depan, tubuhku mematung ketika melihat Mas Ashraf lewat depan rumah berboncengan dengan Yuni.
Hatiku memanas apalagi tanpa sengaja melihat tangan Yuni yang melingkar di perut Mas Ashraf. Membuat diri ini merasa cemburu. Aku tidak percaya kalau Mas Ashraf tidak melihat keberadaanku di sini. Dengan gegas, aku masuk ke rumah dan menangis di ruang tamu.
"Ya Tuhan, Mas Ashraf jahat sekali." Batinku benar-benar sakit seperti dikoyak.
Segera kutaruh kain pel di tempat semula lalu bergegas pulang. Ada hal yang harus kubicarakan dengan ibu mertuaku. Setibanya di rumah, kulihat ibu mertuaku sedang duduk di ruang tengah.
"Bu ...."
Aku memanggilnya lirih. Kulihat ibu mertuaku menoleh ke arahku. Tatapannya terlihat begitu sengit dan aku sudah terbiasa karenanya.
"Mas Ashraf berboncengan mesra dengan Yuni," ucapku seperti tidak bersemangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments