Ranjang Dingin Ibu Tiri
Deretan karangan bunga berjejer rapi mengelilingi sebuah rumah mewah kediaman seorang pengusaha kaya, Anggoro.
Para rekanan masih berbodong-bondong menyampaikan simpatinya dan memberikan ucapan belasungkawa atas wafatnya sang pengusaha tersebut.
Wangi bunga kamboja tercium memenuhi ruang tamu bersamaan dengan rintik gerimis seolah menjadi penyempurna sebuah rasa kehilangan dari keluarga besar Anggoro. Tidak ada suara tawa sang pemilik rumah yang beberapa hari lalu masih terdengar di rumah ini. Hanya ada suara isakan kesedihan dari para kolega saat menemui Maureen, istrinya.
Beberapa saat lalu, Anggoro baru selesai dimakamkan. Ia meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung dini hari tadi. Padahal baru dua hari lalu rumah ini mengadakan sebuah pesta pernikahan meriah nan mewah untuk Anggoro dan Maureen. Pernikahan yang menjadi perbincangan banyak orang karena rentang usia yang sangat jauh antara mempelai wanita dan mempelai laki-laki.
Maureen berusia dua puluh empat tahun sementara Anggoro berusia lima puluh delapan tahun. Itulah mengapa pernikahan dua orang ini menjadi pernikahan yang cukup menarik perhatian di kalangan para pengusaha.
Di kediaman keluarga Anggoro, saat ini masih menerima banyak tetamu yang menyampaikan langsung ucapan bela sungkawanya pada Ruwina ibu dari Anggoro, Edwin adik dari Anggoro dan tentu saja, Maureen istri kedua Anggoro.
Masing-masing duduk terpisah, berjauhan karena ketiganya memiliki perasaan tidak nyaman untuk berdekatan dan kesan yang buruk satu sama lain.
Seperti komentar Ruwina berikut, “Tidak tau malu, pake pura-pura sedih segala. Padahal dia pasti sangat senang melihat putraku meninggal.” Ucap Ruwina dengan tatapan sinis pada wanita berkacamata hitam yang berdiri di salah satu sudut ruangan.
Wanita cantik berbaju hitam itu masih menerima ucapan belasungkawa dari para kolega yang mengenalnya sebagai nyonya Anggoro.
“Di belakang kita, wanita itu pasti tersenyum lebar.”
Tangan Ruwina mengepal, mengingat posisi wanita itu yang seolah di atas angin setelah kepergian putranya.
“Mamah masih sangat yakin kalau wanita itu yang menyebabkan kematian Anggoro. Mamah nggak akan rela kalau harta Anggoro jatuh sepenuhnya ke tangan wanita licik itu. Nggak akan!”
Mata Ruwina yang merah dan berairpun kini melotot tajam pada sosok wanita cantik itu. Bisa-bisanya ia berdiri tegak padahal suaminya baru saja dimakamkan.
“Mah, mamah harus tenang. Aku juga gak mungkin membiarkan semua harta mas Anggoro jatuh ke tangan wanita itu.” Edwin berusaha menenangkan sang ibu yang terduduk di atas kursi roda. Tubuhnya sampai gemetaran menahan amarah.
Bukan hanya Ruwina yang tidak terima jika harta keluarganya jatuh ke tangan Maureen, melainkan ia juga.
Ya, seperti itulah kondisi di keluarga pengusaha kaya ini. Padahal tanah pemakaman belum kering tapi mereka sudah berusaha mengamankan posisi warisan masing-masing.
“Kapan Byan akan pulang? Bagaimana bisa dia bersikukuh diam di luar negeri padahal papahnya meninggal?!”
Kali ini Ruwina menatap Edwin dengan kesal. Kesal karena cucu satu-satunya tidak juga menunjukkan batang hidungnya di hari berkabung ini.
“Dia masih menghadiri conferensi penting. Tapi aku akan mencoba menghubunginya lagi. Akan aku pastikan kalau Byan akan pulang. Karena dia satu-satunya yang bisa menyelesaikan masalah ini.” Sahut Edwin dengan penuh keyakinan.
“Iya. Jangan sampai karena kekesalannya pada Anggoro, Byan tidak mau pulang. Bisa hancur keluarga kita.”
“Iya mah, aku akan memastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.” Tekad Edwin.
Di tempatnya, Maureen sedang menerima laporan autopsy yang disampaikan oleh dokter keluarga Anggoro. Ia menatap lekat amplop coklat di tangannya. Ini akan menjadi bukti ke pihak keluarga Anggoro kalau Maureen tidak ada niatan untuk mencelakai apalagi membunuh suaminya.
“Tim forensic menyatakan, kalau kematian tuan besar karena serangan jantung nyonya. Mereka menemukan kandungan alcohol yang sangat tinggi di tubuh tuan besar. Sepertinya hal itu terjadi setelah beliau meminum minuman beralkohol bersama rekan bermain golf-nya.” Ujar laki-laki itu memberi simpulan.
Maureen mengangguk paham. Kemarin, Anggoro memang menghadiri acara bersama teman-teman dekatnya. Ia merayakan pernikahan Anggoro setelah delapan tahun menduda dan berganti-ganti pasangan.
Mereka merayakannya di sebuah restoran mewah dengan whisky yang menjadi minuman pembuka perayaan mereka.
“Apa kuasa hukumnya sudah menerima salinan surat ini?” tanya Maureen dengan suara rendah. Ia masih menyesalkan karena gagal melarang Anggoro untuk minum minuman beralkohol tinggi, sementara mendiang suaminya memiliki penyakit jantung.
Anggoro bahkan pernah melakukan operasi pemasangan ring jantung dua tahun silam.
“Saya akan menyampaikannya. Seperti yang nyonya minta, alasan kematian tuan besar harus diketahui juga oleh nyonya besar dan tuan Edwin.” Terang dokter Faisal.
“Terima kasih.” Hanya itu sahutan Maureen. Ia sudah tidak mau lagi dituduh sebagai orang yang menyebabkan kematian mendiang suaminya.
“Kalau begitu, saya permisi nyonya.” Pamit dokter Faisal.
Maureen membalasnya dengan anggukan sopan. Ia kembali duduk di tempatnya dan menunggu tamu lainnya datang menghampiri.
*****
Hari yang menjadi rencana keberangkatan bulan madu antara ia dan Anggoro, tidak disangka malah berubah menjadi hari pemakaman Anggoro.
Maureen terduduk di depan meja riasnya. Melepas kacamata yang sedari tadi menutupi mata sembabnya.
Walau ia tidak pernah mengharapkan pernikahan ini dengan Anggoro, tapi nyatanya, ia pun merasakan kehilangan atas kepergian tuan besar yang selama dua tahun ini ia layani sebagai bosnya.
Anggoro pria yang baik, ya dalam memperlakukan Maureen ia sangat baik. Walau di belakang itu, ia memiliki kebiasaan yang buruk. Minum-minuman beralkohol dan berpesta dengan para gadis yang mengelilinginya.
Kebiasaan Anggoro itu terhenti sejak laki-laki itu memutuskan untuk menikahi Maureen. Tidak ada kisah cinta romantis antara Maureen dan Anggoro. Hanya cerita cinta sederhana antara sang bos besar dengan personal assistant-nya. Anggoro menikahi Maureen untuk melengkapi statusnya sebagai seorang tuan besar sementara Maureen bersedia menikah karena alasan harta yang dimiliki Anggoro.
Tidak dipungkiri, alasan Maureen menerima pernikahan itu karena alasan harta semata.
Dalam pikirannya, menikah dengan Anggoro, tentu saja akan membuat hidupnya terjamin. Di dalam suarat wasiatnya bahkan Anggoro menyebut nama Maureen sebagai penerima warisan terbesar dari semua harta kekayaannya.
Tidak pernah ada yang bersuka cita di atas sebuah kematian, begitupun dengan Maureen. Ia tidak menyangka kalau Anggoro akan pergi secepat ini padahal laki-laki itu terlihat sangat sehat.
Maureen membuka amplop coklat yang ada di hadapannya dan membaca ulang laporan hasil autopsy dengan lengkap.
Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau kematian Anggoro bukan karena dirinya.
Setela puas memandangi surat itu, Maureen memasukkan kembali kertas putih itu ke dalam amplop coklat. Ia juga melepas cincin berlian pemberian Anggoro dan menggantinya dengan cincin biasa yang sederhana.
Kalung berlian yang melingkar di lehernya dan tersembunyi dibalik baju hitamnya yang tertutup, ia lepas dan dimasukkan bersamaan ke dalam amplop berikut antingnya. Semua pemberian Anggoro yang melekat di tubuhnya, ia simpan bersama surat hasil autopsy.
“Kamu bukan pembunuh Maureen. Tidak pernah menjadi pembunuh bagi suamimu sendiri, sekalipun hatimu tidak pernah menginginkan pernikahan ini.” Ucap Maureen yang berbicara dengan dirinya sendiri.
Ia melihat wajahnya yang kuyu dan pucat pasi tanpa polesan make up. Dandanan glamor yang disukai Anggoro sudah tidak lagi menghiasi wajah cantiknya.
Ia memandangi ranjang pengantinnya yang ditutupi kelambu dengan kelopak mawar merah yang mulai layu di atasnya.
Memang baru hari ini Maureen baru masuk ke kamar pengantinnya setelah dua hari kemarin ia tinggal di hotel bersama mendiang suaminya. Suasananya tenang namun sangat asing. Di dalam ruangan yang luas ini, Maureen benar-benar merasa sendirian.
“Ranjang pengantin itu sudah bukan lagi menjadi milikku.” Ucap Maureen yang menatap nanar kasur berukuran super king yang sengaja disiapkan Anggoro.
Statusnya sebagai seorang pengantin dan seorang istri, selesai hari ini.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Ririn
anggoro usia 58. ibunya ruwina usia brp
2023-06-06
1
💦Mak Phi-khun
Bagus sekali sih dalam setiap merangkai kata... kalah dengan diriku yang baru lahir...
2023-06-02
1
Lefkilavanta
sugar Daddy kah, xixixixi
2023-05-09
1