Deretan karangan bunga berjejer rapi mengelilingi sebuah rumah mewah kediaman seorang pengusaha kaya, Anggoro.
Para rekanan masih berbodong-bondong menyampaikan simpatinya dan memberikan ucapan belasungkawa atas wafatnya sang pengusaha tersebut.
Wangi bunga kamboja tercium memenuhi ruang tamu bersamaan dengan rintik gerimis seolah menjadi penyempurna sebuah rasa kehilangan dari keluarga besar Anggoro. Tidak ada suara tawa sang pemilik rumah yang beberapa hari lalu masih terdengar di rumah ini. Hanya ada suara isakan kesedihan dari para kolega saat menemui Maureen, istrinya.
Beberapa saat lalu, Anggoro baru selesai dimakamkan. Ia meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung dini hari tadi. Padahal baru dua hari lalu rumah ini mengadakan sebuah pesta pernikahan meriah nan mewah untuk Anggoro dan Maureen. Pernikahan yang menjadi perbincangan banyak orang karena rentang usia yang sangat jauh antara mempelai wanita dan mempelai laki-laki.
Maureen berusia dua puluh empat tahun sementara Anggoro berusia lima puluh delapan tahun. Itulah mengapa pernikahan dua orang ini menjadi pernikahan yang cukup menarik perhatian di kalangan para pengusaha.
Di kediaman keluarga Anggoro, saat ini masih menerima banyak tetamu yang menyampaikan langsung ucapan bela sungkawanya pada Ruwina ibu dari Anggoro, Edwin adik dari Anggoro dan tentu saja, Maureen istri kedua Anggoro.
Masing-masing duduk terpisah, berjauhan karena ketiganya memiliki perasaan tidak nyaman untuk berdekatan dan kesan yang buruk satu sama lain.
Seperti komentar Ruwina berikut, “Tidak tau malu, pake pura-pura sedih segala. Padahal dia pasti sangat senang melihat putraku meninggal.” Ucap Ruwina dengan tatapan sinis pada wanita berkacamata hitam yang berdiri di salah satu sudut ruangan.
Wanita cantik berbaju hitam itu masih menerima ucapan belasungkawa dari para kolega yang mengenalnya sebagai nyonya Anggoro.
“Di belakang kita, wanita itu pasti tersenyum lebar.”
Tangan Ruwina mengepal, mengingat posisi wanita itu yang seolah di atas angin setelah kepergian putranya.
“Mamah masih sangat yakin kalau wanita itu yang menyebabkan kematian Anggoro. Mamah nggak akan rela kalau harta Anggoro jatuh sepenuhnya ke tangan wanita licik itu. Nggak akan!”
Mata Ruwina yang merah dan berairpun kini melotot tajam pada sosok wanita cantik itu. Bisa-bisanya ia berdiri tegak padahal suaminya baru saja dimakamkan.
“Mah, mamah harus tenang. Aku juga gak mungkin membiarkan semua harta mas Anggoro jatuh ke tangan wanita itu.” Edwin berusaha menenangkan sang ibu yang terduduk di atas kursi roda. Tubuhnya sampai gemetaran menahan amarah.
Bukan hanya Ruwina yang tidak terima jika harta keluarganya jatuh ke tangan Maureen, melainkan ia juga.
Ya, seperti itulah kondisi di keluarga pengusaha kaya ini. Padahal tanah pemakaman belum kering tapi mereka sudah berusaha mengamankan posisi warisan masing-masing.
“Kapan Byan akan pulang? Bagaimana bisa dia bersikukuh diam di luar negeri padahal papahnya meninggal?!”
Kali ini Ruwina menatap Edwin dengan kesal. Kesal karena cucu satu-satunya tidak juga menunjukkan batang hidungnya di hari berkabung ini.
“Dia masih menghadiri conferensi penting. Tapi aku akan mencoba menghubunginya lagi. Akan aku pastikan kalau Byan akan pulang. Karena dia satu-satunya yang bisa menyelesaikan masalah ini.” Sahut Edwin dengan penuh keyakinan.
“Iya. Jangan sampai karena kekesalannya pada Anggoro, Byan tidak mau pulang. Bisa hancur keluarga kita.”
“Iya mah, aku akan memastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.” Tekad Edwin.
Di tempatnya, Maureen sedang menerima laporan autopsy yang disampaikan oleh dokter keluarga Anggoro. Ia menatap lekat amplop coklat di tangannya. Ini akan menjadi bukti ke pihak keluarga Anggoro kalau Maureen tidak ada niatan untuk mencelakai apalagi membunuh suaminya.
“Tim forensic menyatakan, kalau kematian tuan besar karena serangan jantung nyonya. Mereka menemukan kandungan alcohol yang sangat tinggi di tubuh tuan besar. Sepertinya hal itu terjadi setelah beliau meminum minuman beralkohol bersama rekan bermain golf-nya.” Ujar laki-laki itu memberi simpulan.
Maureen mengangguk paham. Kemarin, Anggoro memang menghadiri acara bersama teman-teman dekatnya. Ia merayakan pernikahan Anggoro setelah delapan tahun menduda dan berganti-ganti pasangan.
Mereka merayakannya di sebuah restoran mewah dengan whisky yang menjadi minuman pembuka perayaan mereka.
“Apa kuasa hukumnya sudah menerima salinan surat ini?” tanya Maureen dengan suara rendah. Ia masih menyesalkan karena gagal melarang Anggoro untuk minum minuman beralkohol tinggi, sementara mendiang suaminya memiliki penyakit jantung.
Anggoro bahkan pernah melakukan operasi pemasangan ring jantung dua tahun silam.
“Saya akan menyampaikannya. Seperti yang nyonya minta, alasan kematian tuan besar harus diketahui juga oleh nyonya besar dan tuan Edwin.” Terang dokter Faisal.
“Terima kasih.” Hanya itu sahutan Maureen. Ia sudah tidak mau lagi dituduh sebagai orang yang menyebabkan kematian mendiang suaminya.
“Kalau begitu, saya permisi nyonya.” Pamit dokter Faisal.
Maureen membalasnya dengan anggukan sopan. Ia kembali duduk di tempatnya dan menunggu tamu lainnya datang menghampiri.
*****
Hari yang menjadi rencana keberangkatan bulan madu antara ia dan Anggoro, tidak disangka malah berubah menjadi hari pemakaman Anggoro.
Maureen terduduk di depan meja riasnya. Melepas kacamata yang sedari tadi menutupi mata sembabnya.
Walau ia tidak pernah mengharapkan pernikahan ini dengan Anggoro, tapi nyatanya, ia pun merasakan kehilangan atas kepergian tuan besar yang selama dua tahun ini ia layani sebagai bosnya.
Anggoro pria yang baik, ya dalam memperlakukan Maureen ia sangat baik. Walau di belakang itu, ia memiliki kebiasaan yang buruk. Minum-minuman beralkohol dan berpesta dengan para gadis yang mengelilinginya.
Kebiasaan Anggoro itu terhenti sejak laki-laki itu memutuskan untuk menikahi Maureen. Tidak ada kisah cinta romantis antara Maureen dan Anggoro. Hanya cerita cinta sederhana antara sang bos besar dengan personal assistant-nya. Anggoro menikahi Maureen untuk melengkapi statusnya sebagai seorang tuan besar sementara Maureen bersedia menikah karena alasan harta yang dimiliki Anggoro.
Tidak dipungkiri, alasan Maureen menerima pernikahan itu karena alasan harta semata.
Dalam pikirannya, menikah dengan Anggoro, tentu saja akan membuat hidupnya terjamin. Di dalam suarat wasiatnya bahkan Anggoro menyebut nama Maureen sebagai penerima warisan terbesar dari semua harta kekayaannya.
Tidak pernah ada yang bersuka cita di atas sebuah kematian, begitupun dengan Maureen. Ia tidak menyangka kalau Anggoro akan pergi secepat ini padahal laki-laki itu terlihat sangat sehat.
Maureen membuka amplop coklat yang ada di hadapannya dan membaca ulang laporan hasil autopsy dengan lengkap.
Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau kematian Anggoro bukan karena dirinya.
Setela puas memandangi surat itu, Maureen memasukkan kembali kertas putih itu ke dalam amplop coklat. Ia juga melepas cincin berlian pemberian Anggoro dan menggantinya dengan cincin biasa yang sederhana.
Kalung berlian yang melingkar di lehernya dan tersembunyi dibalik baju hitamnya yang tertutup, ia lepas dan dimasukkan bersamaan ke dalam amplop berikut antingnya. Semua pemberian Anggoro yang melekat di tubuhnya, ia simpan bersama surat hasil autopsy.
“Kamu bukan pembunuh Maureen. Tidak pernah menjadi pembunuh bagi suamimu sendiri, sekalipun hatimu tidak pernah menginginkan pernikahan ini.” Ucap Maureen yang berbicara dengan dirinya sendiri.
Ia melihat wajahnya yang kuyu dan pucat pasi tanpa polesan make up. Dandanan glamor yang disukai Anggoro sudah tidak lagi menghiasi wajah cantiknya.
Ia memandangi ranjang pengantinnya yang ditutupi kelambu dengan kelopak mawar merah yang mulai layu di atasnya.
Memang baru hari ini Maureen baru masuk ke kamar pengantinnya setelah dua hari kemarin ia tinggal di hotel bersama mendiang suaminya. Suasananya tenang namun sangat asing. Di dalam ruangan yang luas ini, Maureen benar-benar merasa sendirian.
“Ranjang pengantin itu sudah bukan lagi menjadi milikku.” Ucap Maureen yang menatap nanar kasur berukuran super king yang sengaja disiapkan Anggoro.
Statusnya sebagai seorang pengantin dan seorang istri, selesai hari ini.
*****
Sebuah mobil mewah melaju kencang dari arah bandara menuju kediaman Anggoro. Adalah Byantara, putra satu-satunya dari Anggoro dengan istrinya yang pertama, Andini.
Setelah kematian sang ayah, ia dipaksa pulang oleh Ruwina dan Edwin karena menurut keduanya perusahaan akan hancur kalau jatuh ke tangan Maureen, ibu tirinya.
Akh, mendengar istilah ibu tiri, perasaan Byan benar-benar tidak nyaman. Ada rasa mencelos setiap kali mengingat bagaimana kelakuan sang ayah dulu yang kerap bermain-main dengan banyak wanita bahkan saat ibunya masih ada.
Hal yang tidak pernah hilang dari ingatannya adalah saat ibunya meninggal karena kecelakaan, itupun karena memergoki Anggoro yang sedang berduaan dengan wanita malam di sebuah hotel. Hal itulah yang membuat Byan akhirnya memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan merintis bisnis barunya di sana. Ia tidak mau terikat dengan nama besar Anggoro yang menurutnya sangat mengecewakan.
“Byan, kamu harus ingat, kalau wanita itu tidak berhak mendapatkan harta peninggalan papahmu. Walaupun kamu sangat marah sama papahmu, kamu tetap tidak bisa membiarkan wanita itu yang menguasai kerajaan bisnis peninggalan beliau. Dia pasti akan semena-mena memperlakukan om dan nenek kamu.”
“Dia juga menguasai rumah utama yang papahmu bangun untuk ibumu. Apa kamu mau membiarkan rumah itu jatuh ke tangan wanita serakah itu?” Suara Edwin yang penuh provokasi masih terdengar dari sambungan telepon.
Byan membuka atap mobilnya, agar udara bebas lebih banyak masuk ke dalam mobilnya. Mendengar semua aduan Edwin, membuat dadanya bergemuruh dan nafasnya sesak. Hembusan angin itu menerbangkan rambutnya juga menerbangkan ingatannya ke masa lalu.
Ia memang mengumpati kesalahan mendiang Anggoro tapi perempuan yang menjadi ibu tirinya, menurut Byan sangat tidak tahu diri. Bagaimana bisa hanya dengan menjadi istri ayahnya selama dua hari, wanita itu langsung menguasai semua kekayaan milik Anggoro?
“Kamu juga harus memikirkan nenek, Byan. Bagaimana kalau perempuan itu mengambil semuanya dan mengusir nenek ke jalanan? Nenek sudah tua, tidak ada tempat berlindung kecuali kamu dan om kamu.” Kali ini suara Ruwina yang terdengar. Bahkan diiringi isakan sedih dari mulut wanita tua itu.
“Saat papah melakukan banyak kesalahan terhadap mamah, kalian diam aja. Sekarang, kalian menggunakanku sebagai alat untuk menghadapi wanita itu.” Decik Byan yang tersenyum sinis. Ia tidak habis pikir dengan dua orang yang menurutnya cukup tidak tahu diri ini.
“Kami bukan tidak membela mamahmu. Tapi, papahmu memegang kuasa sepenuhnya. Mana mungkin kami berani melawannya, Byan.” Timpal Edwin dengan penuh keputusasaan.
Byan tidak menimpali, ia lebih memilih mengakhiri sambungan telepon dan fokus pada jalanan yang ada di hadapannya. Seperti apa sebenarnya sosok wanita yang membuat ia sampai harus turun tangan?
Dalam perjalanan, Byan mengenakan kacamata hitam untuk menghalau cahaya matahari yang menyilaukan matanya. Ia menyetel musik bergenre rock kesukaannya untuk meningkatkan adrenalinenya. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan wanita yang dikatakan licik oleh paman dan neneknya.
Perjalanan itu dinikmati Byan beberapa saat. Hembusan angin ia biarkan menerbangkan rambutnya yang tanpa pomade. Sungguh, ia pun merindukan suasana kota ini yang ia tinggalkan delapan tahun lalu.
Sudah banyak yang berubah dari kota ini. Lebih tertata rapi dan bersih walau udaranya tetap tidak sesejuk dulu.
“Uhuk!” Byan sampai batuk saat menghela nafasnya terlalu dalam. Hah, kelegaan itu tidak lagi terasa.
*****
Di tempat berbeda, Maureen masih menikmati makan siangnya seorang diri. Ia hanya ditemani dua pelayan yang berdiri di belakangnya dan menunggu titah Maureen selanjutnya.
Satu keratan roti bakar, masuk ke mulut Maureen. Roti gandum yang biasanya terasa enak kali ini tidak terasa nyaman saat masuk ke tenggorokannya. Entah apa yang salah dengan makanan ini.
Sesekali ia menoleh kursi utama yang menjadi tempat biasanya Anggoro duduk.
Memotongkan steak untuknya lalu memberikannya pada Maureen sebagai bentuk ungkapan cinta. Hubungan mereka memang sedekat itu bahkan sebelum mereka memutuskan menikah. Bayangan laki-laki itu masih jelas terlihat terlebih saat ia melihat karangan bunga yang berjejer di depan rumahnya.
“Bi,” pangil Maureen pada pelayannya.
“Iya nyonya muda.” Satu pelayan segera mendekat dan tertunduk di belakang Maureen.
“Segera bersihkan karangan bunga di sekitar rumah. Saya sudah tidak mau melihatnya lagi. Baunya terlalu mengganggu saya.” Ucap Maureen.
Melihat karangan bunga sebanyak itu membuat Maureen merasa sama-sama berada dalam kuburan yang sama dengan mendiang suaminya.
“Baik nyonya, akan kami bersihkan.” Sahut pelayan itu patuh.
Maureen tidak lagi berbicara. Ia memilih meneguk minumannya yang terasa tetap hangat walau udara hari ini tidaklah terik. Masih ada titik-titik embun yang berkumpul di dedaunan.
“Selamat datang tuan.” Suara pelayan laki-laki terdengar jelas menyapa seseorang.
Diikuti dengan suara derap langkah kaki tegas seseorang masuk ke rumahnya. Maureen mengira kalau yang datang paling juga Edwin yang selalu mencak-mencak memintanya keluar dari rumah ini.
“Apa nyonyamu ada di rumah.” Tanya seorang laki-laki yang samar terdengar oleh Maureen.
“Ada tuan. Beliau sedang makan siang.” Ucap kepala pelayan pada seorang laki-laki.
Laki-laki itu kini berdiri di hadapan Maureen, melepas kacamatanya lalu tersenyum kecil pada wanita yang terlihat kaget melihat kedatangannya.
“Selamat siang ibu tiri.” Sapa Byan seraya mengangguk.
Maureen mengernyitkan dahinya. Ia mengenal garis wajah laki-laki ini, rasanya tidak asing.
“Mohon maaf nyonya, beliau adalah tuan Byantara, tuan muda kami. Putra satu-satunya dari mendiang tuan Anggoro.” Terang kepala pelayan yang mengangguk sopan pada Maureen.
“Atau kamu bisa memanggilku, pewaris Anggoro.” Imbuh Byan dengan senyum tipis yang penuh ancaman.
“Tentu, silakan masuk putraku. Apa kamu sudah makan siang?” Maureen bertanya dengan tenang. Lihat saja ekspresi wajahnya yang seolah mengejek pengakuan Byan sebagai sang pewaris.
Byan tidak menjawab, ia berjalan mendekat ke meja makan dan menarik salah satu kursi dengan kasar. Menurutnya ia tidak perlu penawaran.
“Tidak perlu berbasa-basi, aku tidak perlu sambutan pura-pura ramah dari seorang perempuan murahan.” Ucap Byan seraya duduk di kursi dan menaruh tasnya di atas meja dengan kasar.
Pelayan yang melihat tingkah tuan mudanya terhenyak kaget. Tapi Maureen tetap dengan ketenangannya melihat tingkah Byan yang sengaja memancing emosinya.
“Aku tidak perlu berpura-pura menyambutmu karena sebenarnya kedatanganmu tidak diharapkan di sini. Suamiku bahkan tidak pernah membahas kalau aku akan punya anak tiri yang tidak tahu tata krama sepertimu.”
“Aku pikir, kamu gelandangan yang kelaparan.” Maureen tersenyum sinis seraya meneguk minumannya dengan elegan. Pikirnya, tidak ada yang boleh merendahkannya di rumah ini.
“BRAK!!!” Byan menggebrak meja dengan keras. Kepala pelayan dan kedua pelayan di belakang Maureen sampai terhenyak. Mereka berkeringat dingin melihat tatapan tajam antara Maureen dengan Byan.
Tapi Maureen tetap dengan ketenangannya.
“Beri dia makan yang cukup sampai dia kekenyangan. Setelah itu, suruh dia pergi. Aku tidak terbiasa satu meja makan dengan manusia tidak punya sopan santun pada orang tua.” Decik Maureen seraya menaruh serbet di tangannya dengan kasar.
Ia beranjak dari tempatnya, membiarkan Byan yang mengeram kesal di tempatnya.
Andai Maureen bukan seorang wanita, mungkin ia akan mengajak wanita itu berduel.
Melihat Byan yang tidak menimpali, Maureen hanya tersenyum kecil. Sepertinya ia berhasil membungkam mulut laki-laki yang lebih tua darinya itu. Ingat, dalam hal ini ia adalah istri dari mendiang pemilik rumah ini. Maka, ia lah yang lebih berkuasa.
“Telpon salon langgananku. Aku ingin perawatan di rumah.” Pesan Maureen sebelum benar-benar pergi.
“Baik nyonya.” Sahut salah satu pelayan.
Byan hanya berdecik mendengar ucapan Maureen. Rupanya wanita itu sedang memamerkan kekuasaannya di depan Byan.
“Seseorang yang sebelumnya tidak memiliki apa-apa, memang akan sangat congak saat dititipi secuil berlian.” Gumam Byan yang tersenyum sinis pada bayangan ibu tirinya.
****
Boleh share like, komen, vote dan gitf nya yaa untuk Byan dan Maureen... terima kasih
Byan masih terduduk di kursi meja makan sambil memandangi kursi yang beberapa saat lalu di tinggalkan ibu tirinya, Maureen.
Ada rasa tidak nyaman dalam hatinya saat melihat kursi itu. Masih segar dalam ingatan kalau kursi itu yang dulu selalu ditempati ibunya setiap mereka makan bersama. Bayangan interaksi penuh kehangatan mulai mengisi pikiran Byan.
Tawa ibunya, candaan Anggoro yang menggoda Andini hingga kecupan lembut Andini di pucuk kepala Byan, masih begitu terasa.
“Ini buat abang, omelete special buatan mamih.” Ucap mendiang Andini yang saat ini hanya bisa membuat Byan tersenyum pedih.
Bayangan-bayangan itu malah membuat Byan merasakan sesak dan kecewa di waktu yang bersamaan. Memang benar, manusia tidak bisa selalu bersama. Tapi kenapa harus seperti ini ujung perpisahan ia dengan kedua orang tuanya?
Ia bisa memaklumi kekesalan Ruwina dan Edwin karena ia pun merasakan perasaan berjogol saat melihat wanita itu duduk di singgasana yang tidak seharusnya dia tempati. Ia merasa kalau ia tidak bisa membiarkan posisi ibunya itu terus ditempati oleh orang asing yang tidak seharusnya masuk ke dalam keluarganya.
Menjeda makan siangnya yang tidak terlalu nikmat dan seperti berada di tepat asing, dilakukan Byan dengan mencari info tentang siapa ibu tirinya sebenarnya.
Jill Maureen Emrys, usia dua puluh empat tahun adalah informasi pertama yang ia dapat. Itupun dari akun media sosialnya.
Byan tersenyum sinis, ternyata usia ibu tirinya jauh lebih muda di bawah usianya. Benar adanya kalau daun muda selalu lebih memikat bagi banyak mata pejantan.
Ia jadi penasaran, identitas lengkap wanita yang telah menjadi pelabuhan terakhir Anggoro sang Casanova yang biasa bermain-main dan berganti-ganti pasangan wanita layaknya berganti baju. Ia ingin tahu, apa yang dimiliki wanita itu hingga Anggoro memutuskan untuk menikahinya.
Byan mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang.
“Lo lagi sibuk?” tanyanya, saat panggilan tersambung.
“Gue mau minta tolong, cariin identitas lengkap seseorang. Datanya nanti gue kirim.” Hanya itu permintaan singkat Byan.
Dalam beberapa saat ia mengirimkan dua identitas utama Maureen, yaitu nama dan usia. Biarkan saja orang kepercayaannya mencari tahu tentang wanita itu.
Sambil menunggu, Byan melanjutkan makan siangnya. Walau tidak begitu nikmat tapi ia perlu mengisi perutnya yang keroncongan. Setelah beberapa tahun, akhirnya ia bertemu lagi dengan butiran nasi. Kerinduan yang cukup besar pada butiran putih yang mengenyangkan ini.
“Tring!” sebuah pesan masuk ke ponsel Byan.
“Cakepp wooyy… Ini nyokap tiri lo kan? Hahahaha….” Begitu isi pesan yang dikirim sahabat sekaligus orang kepercayaannya, Wisnu.
Byan berdecik sebal saat ternyata kemampuan Wisnu hanya sebatas mencari foto Maureen.
“Gue gak nyuruh lo nyariin fotonya. Cari data lengkapnya.” Balas Byan dengan kesal.
“Traktir gue minuman, nanti gue kasih info lengkap.” Nego Wisnu.
Byan hanya bisa menggelengkan kepala, terkadang sahabatnya ini memang tidak bisa di andalkan.
“Kirim gue lokasinya. Gue kasih lo minuman sampe perut lo sekeras jidat!” balas Byan yang tersenyum kesal.
Sepertinya ia memang perlu teman untuk berbicara dan membuat rencana untuk menghancurkan ibu tirinya.
“Okey, gue tunggu. Gue sediain juga para pere, mana tau lo butuh belaian. Hah!” balas Wisnu dengan tawa khasnya.
Byan tidak lagi membalas. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku sembari meneguk minuman.
“Huwek!” tiba-tiba saja Byan memuntahkan minumannya.
“Gila ini perempuan. Jam segini minum anggur.” Gerutunya sambil menaruh gelasnya dengan kasar. Ia pikir itu air mineral biasa ternyata minuman beralkohol.
“Ada bekas bibirnya lagi.” Byan mengusap bibirnya sendiri dengan kasar saat sadar ada jejak lipstick di gelas yang ia pakai.
“Rumah ini emang udah gak nerima gue. Liat aja, gue pasti rebut lagi rumah ini dan semua akan kembali seperti semula.” Gumamnya, seraya berlalu pergi meninggalkan rumah mewah dan megah yang menjadi tempat tinggalnya sejak kecil.
****
Di kamarnya, Maureen sedang menikmati pijatan lembut dari seorang terapis. Wajahnya dilumuri masker organic sementara matanya terpejam menikmati sensasi pijatan yang menenangkan. Ia memang sengaja merelaksasi dirinya karena menurutnya, tidak ada gunanya ia terus terlarut dalam kesedihan atas kematian suaminya.
Ia perlu melanjutkan hidupnya. Menata kembali mimpi-mimpi yang harus ia raih yang terhenti dan lebih sulit digapai setelah Anggoro wafat. Ia harus menguatkan hatinya dari sindiran-sindiran pedas Ruwina juga decikan kasar orang-orang kepercayaan Edwin yang memusuhinya.
Setelah ini, bukankah ia harus bersiap untuk perang yang lebih besar? Musuhnya bertambah seiring kepulangan Byan ke rumah ini.
Saat ini, di samping Maureen ada seorang pelayan yang sedang ia introgasi. Ia sudah menyumpah pelayan itu agar berkata jujur. Ada banyak hal yang harus ia ketahui.
“Kapan dia berangkat ke luar negeri?” Maureen bertanya pada pelayan yang katanya sudah bekerja untuk keluarga ini selama lima belas tahun.
“Delapan tahun lalu nyonya. Tepatnya, satu bulan setelah meninggalnya mendiang nyonya besar.” Tanpa ragu pelayan itu menjawab.
“Kenapa dia pergi ke luar negeri?” Maureen dengan rasa penasarannya yang sangat besar pada sosok menyebalkan yang beberapa saat lalu merendahkannya.
“Setelah nyonya besar meninggal, tuan muda selalu menyalahkan tuan besar dan menganggap kematian nyonya besar gara-gara tuan besar. Mereka sering berselisih, ribut setiap hari hingga tuan besar sempat menampar tuan muda dan menghajarnya sampai babak belur.”
“Tuan muda pergi ke luar negeri tanpa modal sepeserpun dari tuan besar. Ia merintis usahanya sendiri dari nol.”
“Kata siapa mas Anggoro gak ngasih dia modal? Bukannya dia tumbuh sampai usia dua puluh dua tahun itu dengan uang dari mas Anggoro? Kamu terlalu melebih-lebihkan usaha kecil anak nakal itu.” Timpal Maureen tidak suka. Ia tersenyum sinis pada pelayan itu walau matanya tetap terpejam.
“I-iya, maksud saya beliau tidak membawa uang modal untuk memulai usahanya.” Pelayan itu meralat kalimatnya.
“Lalu, dari mana dia makan saat awal tinggal di luar negeri? Dia juga perlu ongkos untuk ke sana.” Usut Maureen yang belum puas dengan jawaban pelayannya.
“Tuan muda seorang pelukis nona. Beliau menjual semua lukisannya untuk biaya hidup di luar negeri. Beliau bahkan menolak uang pemberian nyonya Ruwina. Beliau,”
“Apa dia sudah menikah?” Maureen langsung bertanya pada hal penting saja.
“Dulu beliau memiliki seorang kekasih. Dia seorang penyanyi terkenal. Dia juga,”
“Pertanyaanku, apa dia sudah menikah?” Maureen mengulang pertanyaannya. Tidak suka jawaban yang tidak penting.
“Oh, belum nyonya.” Jawab pelayan tersebut.
“Kamu boleh pergi. Jangan mengganggu waktuku.” Titah Maureen seraya mengibaskan tangannya, memberi isyarat pelayan itu untuk pergi. Baginya, info yang ia butuhkan tentang Byan sudah lengkap.
Setelah pelayan itu pergi Maureen mengambil ponselnya lalu mencari info tentang Byan di kolom pencarian.
“Byantara Ethan Anggoro,” gumam Maureen sambil mengetikkan nama laki-laki itu.
Namanya cukup unik sehingga pencariannya langsung spesifik pada sosok Byan yang ia maksud.
“Wah, medsosnya update juga.” Puji Maureen. Banyak foto Byan yang terpajang di dunia maya.
Tapi baru akan mengklik profilnya, jemarinya langsung terhenti.
“Hey, kamu punya akun medsos?” tanya Maureen pada sang terapis yang masih muda.
"A-ada nyonya.” Sahut terapis tersebut.
“Aku pinjam sebentar. Nanti aku bayar per menit lima puluh ribu.” Pinta Maureen.
Gadis itu hanya terdiam, ragu untuk mengiyakan atau menolak permintaan Maureen.
“Aku tidak akan melakukan hal aneh. Aku hanya perlu melihat profil seseorang.” Tentu saja, ia tidak mau ada notifikasi di medsos Byan kalau Maureen mengujungi profilnya.
“Boleh?” tegasnya.
“Oh, silakan nyonya.” Dengan senang hati terapis itu memberikan ponselnya.
Maureen telungkup dengan nyaman. Ia menggunakan bantal bulu burung angsa untuk menopang dadanya. Dengan tenang Ia mulai berselancar di dunia maya, mencari tahu akun media sosial Byan dan melihat-likat apa saja yang ada di sana.
“Hahahaha… dia pernah sealay ini.” Belum apa-apa Maureen sudah tertawa melihat foto Byan yang bergaya punk, baju serba hitam, celana melorot, jaket kulit, rambut gondrong, tubuh kurus tidak terurus dan berfoto sambil menjulurkan lidahnya.
“Wah, ini aksesoris apa rantai bulldog?” Gumam Maureen yang terkekeh saat melihat rantai besar yang menjadi aksesoris celana Byan.
“Lain kali, pilih-pilih lah foto yang akan kamu posting ya nak supaya tidak menjadi bahan tertawaan di masa depan.” Nasihat Maureen pada foto remaja Byan yang membuatnya geli sendiri.
Banyak foto masa lalu Byan yang membuatnya tertawa. Tapi ada satu foto yang membuat tawanya langsung terhenti yaitu foto Byan dengan Anggoro dan Andini. Mungkin saat itu usia Byan masih belasan. Dimana yang ia pikirkan hanya tentang peer sekolah dan cara meminta uang jajan lebih, bukan tentang masalah rumit yang ia hadapi sekarang.
“Mas, kenapa kamu menitipkan seorang anak tiri yang nakal? Apa sesekali aku boleh menyentilnya?” Maureen berbicara sendiri pada layar ponsel sang terapis.
Bisa ia bayangkan bagaimana hidup Byan yang dulu sangat bebas. Dan sekarang, anak kecil itu sudah tumbuh dewasa. Ia menabuh genderang perang dan secara nyata menjadikan Maureen sebagai musuhnya. Ia yakin kepulangan Byan dari luar negeri bukan tanpa alasan.
Lalu tentang kekasihnya, tidak ada satu pun foto wanita yang di posting Byan.
“Akh, dia sama dengan laki-laki lainnya. Tidak suka mempublikasi sosok wanita yang dia kencani. Pengecut!” decik Maureen. Bagi Maureen, hanya orang yang menghormati komitmennya dan pemberani yang bisa mempublikasikan hubungannya dengan lawan jenis.
Alasan takut pasangannya di puja orang lain, hanya alasan bodoh yang menunjukkan kalau sebenarnya ia ingin menyembunyikan hubungannya. Pengecut bukan?
Tapi sesuatu kemudian melintas di pikirannya.
“Dia bujang lapuk, akan sangat mudah menyingkirkannya.” Gumam Maureen sambil terkekeh sendiri.
Beragam cara sudah langsung tersusun di kepalanya. Satu per satu siasat akan ia lakukan demi melindungi apa yang seharusnya menjadi miliknya.
“Maaf nak, kali ini kita gak bisa harmonis sebagai anak dan ibu tiri pada umumnya. Sekarang kita saingan yaa… hem?” gumam Maureen sambil mengusap foto Byan di masa sekarang yang sedang berfoto dengan lukisannya.
Lukisan seorang wanita dengan banyak wajah. Mungkin saja ini salah satu firasat kalau Byan akan bertemu dengan seorang Maureen yang memiliki banyak wajah.
Beberapa saat ia tersenyum sampai kemudian ia wajahnya berubah dingin. Ia memandangi foto lain di ponselnya. Foto sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan.
"Bersabarlah, kepergian kalian tidak akan lagi sia-sia." Ucapnya dengan penuh kemarahan.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!