HUBUNGAN TERLARANG
"Maafkan Paman, Tania. Paman tak punya jalan keluar lain," ucap Danu pada keponakannya penuh penyesalan.
"Tapi kenapa harus dengan pernikahan, Paman?" tanya Tania sambil menangis sesenggukan.
"Atau kamu akan membiarkan dia menjebloskan pamanmu ke penjara?" tanya Eni, istri Danu pada Tania.
Tania tak bisa lagi menjawab apa-apa. Hanya air mata yang terus saja mengalir di pipi putihnya.
"Sekali lagi maafkan Paman, Tania. Kamu harus dikorbankan. Bukannya Paman menjualmu. Tapi cuma kamu satu-satunya yang bisa menolong Paman, agar dia tidak menyeret Paman ke penjara. Paman tak bisa melunasi hutang-hutang itu. Bahkan sekarang semakin menumpuk karena bunganya pun, Paman tak bisa menyicil," ucap Danu lagi.
"Tapi semua terserah padamu, Tania. Paman dan Bibi hanya mengharapkan belas kasihanmu. Kamu tau sendiri kan, pamanmu hanya sopir angkot yang tidak setiap hari narik. Gaji Bibi sebagai ART juga tak seberapa. Tak cukup untuk membayar bunganya sekali pun," ujar Eni sambil membelai kepala keponakan suaminya.
"Tapi Bi, Tania tidak mau menikah dengan laki-laki tua itu. Tania janji akan mencari pekerjaan untuk membayar hutang paman," ucap Tania sambil terus menangis.
Danu dan Eni hanya bisa saling menatap.
"Ya sudah. Masuklah ke kamarmu. Tidurlah, sudah malam," ujar Danu kepada Tania.
Dengan langkah lunglai, Tania berjalan masuk ke kamarnya. Air mata masih membasahi pipinya.
Tania sebenarnya gadis yang penurut. Tak sekali pun dia membangkang pada paman dan bibinya yang telah mengasuhnya sejak kecil.
Sejak kedua orang tuanya berpisah, dan mereka meninggalkan Tania kecil seorang diri di rumah kontrakan yang kumuh.
Saat itu, Danu adik dari ibunya Tania, baru saja pulang dari menarik angkot. Istrinya, Eni mendapati keponakannya menangis tersedu-sedu karena terkunci di dalam rumah kontrakan petak, tak jauh dari kontrakannya.
"Pak. Itu seperti suara tangisan Tania. Coba kamu lihat," ucap Eni pada Danu yang baru saja pulang.
"Kamu saja yang melihatnya, Bu. Bapak capek," jawab Danu, lalu masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Eni terpaksa menghampiri kontrakan kakak iparnya, yang letaknya tiga rumah di sebelahnya.
Semakin dekat, suara tangisan Tania semakin terdengar keras.
Eni mengetuk pintu rumah itu dan memberi salam. Tak ada sahutan, hanya tangisan Tania yang semakin terdengar kencang.
"Tadi saya lihat, papa dan mamanya pergi sendiri-sendiri sambil membawa tas besar. Kelihatannya mereka habis bertengkar lagi, Mbak," ucap tetangga sebelah yang juga merasa terganggu oleh tangisan Tania.
"Ini pintunya dikunci lagi," ucap Eni sambil berusaha mencari dimana orang tua Tania menyimpan kuncinya.
"Biasanya mereka menaruh kuncinya di bawah keset, Mbak!" ucap tetangga lain yang melihat Eni kebingungan mencari kunci.
Lalu Eni membuka keset yang ada di depan pintu, dan ternyata benar. Eni mengambil kunci itu dan segera membuka pintunya.
"Bibi...." Tania kecil segera menghambur dan memeluk bibinya.
"Cup...cup...cup. Kamu kenapa, Sayang? Kemana mama kamu?" tanya Eni pada Tania.
Tania yang masih menangis hanya menggelengkan kepalanya.
Lalu Eni menggendong Tania dan membawanya ke rumah kontrakannya.
Eni dan Danu yang belum dikaruniai anak memang sangat dekat dan menyayangi Tania, keponakan Danu.
"Pak! Ini Tanianya. Dia sendirian di rumahnya," ucap Eni pada suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Kemana mama dan papanya?" tanya Danu lalu meraih Tania dari gendongan Eni.
"Mana aku tau, Pak. Kata tetangga sih mereka pergi sendiri-sendiri membawa tas besar," jawab Eni.
Eni ke bagian dapur rumahnya dan membuatkan kopi untuk suaminya.
Lalu dia membawanya ke ruang tamu rumahnya dan tak lupa membawakan susu kotak yang diambilnya dari kulkas kecil miliknya, untuk Tania.
Eni sering membelikan susu kotak kesukaan Tania dan menyimpan di kulkasnya, untuk diberikan saat Tania berada di rumahnya.
"Tania mau susu?" tawar Eni kepada Tania.
Tania yang melihat susu kotak itu, langsung menghentikan tangisnya dan meraih susu kotak itu.
Dengan masih sesenggukan, dia meminumnya memakai sedotan yang sudah dibukakan oleh Eni.
"Jangan nangis lagi, Sayang. Nanti kamu keselek," ucap Eni.
"Tania, mama kamu kemana?" tanya Eni lagi setelah melihat Tania lebih tenang.
Tania hanya menggelengkan kepala. Wajah anak berusia lima tahun itu terlihat sedih lagi.
"Udah jangan sedih lagi ya. Tania di sini dulu sama paman dan bibi. Nanti kalau mama kamu sudah datang, baru pulang," ucap Eni.
Tania menganggukan kepala. Dia yang sudah biasa berada di rumah pamannya tidak keberatan dengan permintaan bibinya.
"Tania mau makan? Bibi tadi masak sayur sop kesukaanmu," tanya Eni lagi.
"Iya. Tania lapar," jawab Tania bersemangat.
Sejak siang tadi Tania memang belum dikasih makan oleh orang tuanya. Mereka malah sibuk bertengkar tanpa mempedulikan anak semata wayangnya.
Dan pertengkaran mereka diakhiri dengan pergi sendiri-sendiri, dan meninggalkan Tania yang tertidur.
Eni menyiapkan makan untuk suami dan keponakannya. Mereka makan di ruang tamu yang hanya beralaskan karpet plastik. Tanpa ada kursi tamu apalagi sofa mewah.
Eni dengan telaten menyuapi keponakan suaminya. Sambil dia juga menyuap untuk dirinya sendiri.
Pemandangan keluarga kecil yang hidup pas-pasan. Tapi mereka lebih akur daripada rumah tangga orang tua Tania.
Danu hanya seorang sopir angkot pedesaan yang penghasilannya tidak terlalu banyak, karena setiap harinya harus memikirkan setoran untuk juragan yang mobilnya di pakai untuk angkot.
Sedangkan Eni kerja serabutan, karena di rumah dia tidak punya kegiatan. Kadang mencuci dan menyetrika baju tetangga, kadang juga di suruh membersihkan rumah tetangga.
Apa pun dilakukannya untuk bisa menutup kebutuhan rumah tangganya.
Danu sebagai sopir angkot pedesaan, kadang harus libur kalau mobil butut yang disewanya mogok atau dipakai juragannya sendiri.
Usia pernikahan mereka yang hampir seumur Tania, belum juga diberi momongan.
Tapi tidak membuat hubungan mereka retak seperti kisah-kisah di sinetron, yang suaminya menginginkan anak, lalu menceraikan istrinya yang dianggap mandul.
Mereka menikmati kehidupan sederhananya dengan akur. Saling bahu membahu mencari recehan.
Diwaktu senggangnya mereka sering mengajak Tania sekedar berjalan-jalan ke pasar atau taman kota.
Di kamar kecilnya, Tania yang sudah beranjak dewasa merenung seorang diri. Haruskah dia menikah dengan bandot tua itu?
Tania pernah melihatnya sekali, sewaktu pulang sekolah dahulu. Laki-laki itu sedang menagih hutang di rumah pamannya.
Dan mata laki-laki tua menyebalkan itu, langsung melotot begitu melihat Tania yang masih berseragam SMA.
Tania yang risi dengan pandangan tajam itu langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Itu anak kalian?" Tania mendengar pertanyaan lelaki itu pada pamannya, karena kamar Tania berhadapan langsung dengan ruang tamu kecil tempat mereka berbicara.
"Iya. Dia anakku," jawab paman Tania.
Tak lama Tania mendengar lelaki itu pamit pulang. Setelah itu, Tania tak pernah lagi bertemu dengan lelaki itu.
Yang ada di ingatan Tania, lelaki tua itu mungkin seumuran dengan pamannya atau bahkan lebih tua lagi.
Badannya kurus ceking. Giginya agak tonggos. Jauh dari kata ganteng.
Itu yang akan jadi suamiku? Tania bergidig ngeri membayangkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
Zainon Sabran
blum habis baca
2023-06-27
0