"Pak, bagaimana kalau Tania menolaknya?" tanya Eni khawatir pada nasib suaminya.
Memang dulu kesalahannya yang nekat meminjam uang pada rentenir tua itu, untuk berobat suaminya.
Danu pernah mengalami penyakit memalukan, menurut Eni. Itu makanya tak ada satu orang pun yang tahu, selain dia dan suaminya.
Termasuk juga Tania. Tania tidak pernah tahu kenapa pamannya sampai terlibat hutang yang sangat banyak.
Pernikahan Danu dan Eni yang tak juga dikaruniai anak, membuat pasangan ini berfikir tidak logis. Ini bisa dimaklumi karena pendidikan mereka yang tak cukup tinggi, membuat mereka berspekulasi dengan cara mereka sendiri yang dianggap sudah benar.
Pasangan ini memang cukup fair. Mereka tidak saling menyalahkan, kenapa mereka sampai tidak bisa punya anak. Mereka sama-sama mencari solusi dengan cara mereka sendiri.
Mulai dari Eni yang harus selalu tampil seksi di depan suaminya. Hingga memaksa Eni membeli berbagai lingerie hanya untuk membuat suaminya selalu bergairah melihatnya. Sampai Eni yang selalu melakukan perawatan ekstra pada aset pribadinya.
Bahkan Danu yang harus selalu mengkonsumsi doping agar senjatanya bisa bertahan lama.
Dan dampaknya, Danu jadi kecanduan dengan doping itu dan senjatanya tak bisa greng kalau tidak menggunakannya.
Lama-lama, rudal Danu menjadi benar-benar loyo karena over dosis.
Hal itu membuat Danu dan Eni kalang kabut. Mereka mencari pengobatan untuk bisa membangunkan lagi si entong milik Danu.
Berbagai pengobatan yang tidak murah mereka jalani. Mulai dari aneka obat-obatan yang ditawarkan penjual jamu di pasar sampai mendatangi orang yang mengaku bisa membuat perkasa.
Sampai akhirnya, setelah merasa putus asa, mereka mau berobat ke dokter atas saran dari rekan Danu yang seorang ahli syaraf.
Kini, rudal Danu bisa normal lagi. Tapi terlambat, karena mereka sudah banyak menghabiskan biaya.
Dan yang membuat masalah makin runyam, Eni nekat meminjam uang pada seorang rentenir yang terkenal sebagai lintah darat.
Kondisi fisik Danu yang saat itu kurang fit, membuat Danu jarang narik angkotnya. Sementara gaji Eni sebagai ART hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan untuk membayar kontrakan pun mereka mengandalkan uang dari si rentenir itu.
Padahal mereka juga sudah memilih pindah ke kontrakan yang lebih besar, bukan lagi rumah petak yang tidak ada pembatasnya. Karena saat mereka melakukan 'live' versi mereka, tidak ingin terganggu oleh Tania yang sudah beranjak remaja.
Dan akibatnya, hutang mereka semakin menumpuk tanpa bisa membayarnya, bahkan bunga yang sudah disepakati pun tak bisa mereka cicil.
Kini saat rentenir itu menghitung semua hutang mereka, membuat mata mereka melotot melihat angka yang banyak sekali nol-nya.
Rentenir itu mengancam akan mempidanakan Danu dan menyeretnya ke penjara kalau mereka tidak bisa membayarnya sampai batas waktu yang sudah disepakati.
Si rentenir itu, tidak bisa menyita barang berharga apa pun. Karena Danu dan Eni memang sudah tidak memiliki barang berharga sama sekali.
Perhiasan yang selama ini dipakai oleh Eni hanya barang imitasi yang dibelinya di pasar. Sementara yang aslinya sudah berganti dengan berbagai macam lingerie mahal yang kini hanya teronggok di dalam lemari plastik.
Pintarnya Eni mengelabuhi para tetangga yang suka nyinyir, dia membeli perhiasan imitasinya dengan model dan besar hampir sama dengan aslinya.
Suatu saat si rentenir menagih ke rumah kontrakan mereka. Eni yang bangga dengan wajah cantik anak angkatnya, mencetak foto keponakannya itu dengan ukuran besar dan memajangnya di ruang tamu dengan pigura mahal.
Apesnya, si bandot tua itu begitu melihat foto Tania dengan pakaian yang agak ketat, langsung merasa greng.
Sifat liciknya langsung muncul. Dia pura-pura mengancam akan segera mempidanakan Danu jika tidak juga melunasi hutangnya, atau barter dengan anak angkatnya itu.
Bagai tersambar petir di siang bolong, saat mendengar opsi terakhir dari si bandot tua.
Baik Danu atau pun Eni, tak pernah rela jika anak gadisnya diembat oleh si bandot tua itu. Bagaimana pun mereka telah mengasuh Tania sejak kecil dan menyayanginya seperti anak mereka sendiri.
Tapi mereka pun tidak siap dengan ancaman penjara. Terutama Eni, dia tidak tega jika sampai suaminya tercinta mendekam di balik jeruji besi.
Akhirnya setelah melewati perdebatan yang panjang dengan si rentenir, Danu terpaksa menyetujui keinginan gila itu.
Awalnya keputusan Danu ditentang keras oleh Eni. Eni sempat memohon-mohon meminta perpanjangan waktu, seperti permainan sepak bola yang sering ditonton Danu di televisi kecilnya.
Rentenir licik itu hanya memberi waktu satu bulan terhitung sejak hari itu.
Setelahnya, Danu dan Eni berusaha mati-matian mencari pinjaman kesana kemari. Tapi hasilnya nihil.
Mana ada orang yang mau memberikan pinjaman bernilai puluhan juta tanpa jaminan.
Sampai pada akhirnya mereka pasrah dan merelakan anak gadisnya pada bandot itu.
"Aku juga tidak tahu, Bu. Semua terserah Tania. Kalau memang Tania menolak, ya ikhlaskan aku, Bu. Ini semua salah kita," jawab Danu tak bersemangat lagi.
Bayangan dinginnya lantai penjara ada di depan matanya. Belum lagi pembully-an yang akan dilakukan oleh senior-senior di sana.
Karena setahunya, di penjara berlaku hukum senioritas. Para warga baru akan jadi bulan-bulanan mereka yang sudah mendekam di sana lebih dulu.
"Tidak, Pak. Aku tidak akan pernah ikhlas kamu masuk bui. Ini kesalahan kita berdua. Tidak adil kalau hanya kamu yang menanggung akibatnya!" ujar Eni lantang.
"Terus kamu mau ikut juga masuk bui?" tanya Danu sambil mengernyitkan dahinya.
Dia tidak paham dengan cara berfikir istrinya. Bagaimana mungkin masuk bui beregu, toh pada akhirnya akan dipisah juga. Karena bui untuk laki-laki tidak bercampur dengan bui untuk perempuan.
Apa istriku pikir di bui itu sama seperti menginap di hotel, yang bisa tidur bareng dan bermesraan?
"Ya tidak, Pak. Siapa juga yang mau tidur di sana walau pun gratis," jawab Eni.
"Ya terus bagaimana maumu, Bu?" tanya Danu lagi.
Eni hanya menggelengkan kepalanya dengan lesu.
Setelah beberapa saat saling terdiam, tiba-tiba Eni mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi.
"Aha...! Aku punya ide, Pak!" ucapnya bersemangat.
"Ide apa? Jangan bilang idemu itu kabur dari sini lho ya," sahut Danu.
Eni menundukkan wajahnya. Kesal karena ide yang menurutnya sangat cemerlang sudah terbaca oleh suaminya. Bahkan langsung di jegal.
"Uangnya si Tono gila itu banyak, Bu. Dia bisa saja membayar preman pasar buat nyariin kita. Kamu mau mati digebugin mereka kalau ketangkep?"
Eni mendongakan wajahnya dan menggelengkan kepalanya. Mati konyol itu namanya.
Eni memejamkan matanya sejenak. Mencari ide apa lagi yang bisa menyelamatkan mereka.
"Ah, kenapa di saat seperti ini tidak ada ide yang datang sih?" gerutu Eni.
Danu yang mendengar gerutuan istrinya hanya tersenyum. Sejak kapan istriku jadi orang jenius yang punya banyak ide cemerlang?
"Bapak kok malah senyam senyum sih?" tanya Eni yang merasa kesal karena Danu bukannya mikir malah cengengesan.
"Kamu cantik kalau sedang bete," ujar Danu meledek istrinya sambil menowel bibir seksi milik istrinya.
"Jangan becanda, Pak. Aku lagi serius ini." Eni menyingkirkan tangan Danu dari bibirnya.
"Aku juga lagi serius, Bu. Kamu pingin dapat ide cemerlang?" tanya Danu dengan gaya sok serius.
Eni mengangguk bersemangat. Danu langsung menarik tangan istrinya dan membawanya ke kamar mereka. Tak lupa Danu menguncinya dengan satu tangannya yang nganggur.
"Bagaimana caranya, Pak?" Eni masih saja menagih.
"Begini, Bu...." Tanpa melanjutkan kalimatnya, Danu langsung melahap bibir seksi istrinya dengan rakus.
"Pak...." Eni mulai mendesah saat tangan kekar suaminya mulai traveling menjelajah ke seantero tubuh sintalnya.
Klik.
Tangan Danu mematikan lampu kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
Zainon Sabran
blum lg...
2023-06-27
0