"Bagaimana? Masih belum menyerah juga?" tanya si bandot tua.
"Aku akan bicarakan dulu dengan putriku," jawab Danu.
"Bawa kesini putrimu itu! Aku ingin memastikan kalau putrimu memang layak untuk aku jadikan istri," ucapnya sambil tersenyum licik.
Cleguk.
Danu menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa kering.
Tania galau di dalam kamarnya. Bagaikan makan buah simalakama. Kalau dia menyerahkan diri, berarti dia akan menjadi istri si bandot tua itu.
Tapi kalau dia menolak, maka pamannya akan dijebloskan ke penjara. Dan Tania akan merasa berdosa seumur hidupnya.
Dulu saat Tania kecil dan ditinggal pergi kedua orang tuanya, paman dan bibinya itu yang menyelamatkannya.
Sekaranglah saatnya Tania membalas budi. Menyelamatkan pamannya dari jeratan hukum.
Ceklek.
Tania membuka pintu kamarnya. Ditatapnya wajah orang yang hendak memperistrinya.
Dalam hati Tania ingin sekali muntah melihat wajah yang menurutnya sangat menjijikan itu.
Tania menghela nafasnya. Lalu dia memberanikan diri berbicara.
"Aku akan menebus hutang pamanku!" ucap Tania dengan tegas.
Si bandot tua itu tak berkedip menatap wajah cantik Tania. Bahkan kalau di dekati mungkin akan terlihat air liurnya hampir menetes.
Danu spontan beranjak dari duduknya. Eni pun yang dari tadi ngumpet di dapur, langsung keluar dengan mulut masih menganga.
"Tapi aku minta syarat," ucap Tania.
"Iya. Pasti akan aku penuhi semua syaratnya, Cantik," sahut si bandot tua itu.
"Yakin kamu akan memenuhi semua persyaratan dariku?" tanya Tania lagi.
Tania yang sudah pasrah dengan nasibnya, akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menguras harta si bandot tua ini.
Tania berfikir, itu akan impas dengan dirinya yang akan diperistri olehnya.
"Pasti! Katakan semua syaratmu!" sahut si bandot tua itu.
"Tadi aku dengar, kamu akan memberikan uang dua kali lipat dari hutang pamanku. Betul?" tanya Tania.
"Iya betul. Itu pasti akan aku berikan," jawabnya.
"Aku juga meminta kamu membelikan rumah untuk tempat tinggal paman dan bibiku. Sebuah angkot baru untuk bekerja pamanku. Dan sebuah kios untuk usaha bibiku." Tania menghela nafasnya.
"Hanya itu?" tanyanya dengan angkuh.
"Aku juga mau kamu membiayaiku kuliah!" ucap Tania.
"Kuliah? Untuk apa? Kamu akan menjadi nyonya Tono. Orang terkaya di kampung ini!" ucap Tono dengan sangat sombong.
"Aku tetap mau kuliah! Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Aku cabut kembali keputusanku!" ancam Tania.
"Bagaimana Paman?" tanya Tania pada pamannya. Danu langsung menganggukan kepalanya.
"Baiklah. Aku akan turuti semua permintaanmu." Tono menyerah karena dia sudah kepalang jatuh hati pada kecantikan Tania.
"Berikan semua sebelum ijab qobul!" ucap Tania.
"Tajab. Urus semuanya sekarang juga! Berikan apa yang calon istriku mau!" perintah Tono si bandot itu pada centengnya.
"Siap, Juragan!" jawab Tajab.
"Danu! Kamu bisa menempati rumahku di ujung jalan sana bersama istrimu! Soal angkot, nanti Tajab yang akan mencarikannya untukmu. Dan kamu Eni, di dekat pasar ada kiosku yang lama tak terpakai. Kamu bisa menempatinya untuk buka usaha!" ucap Tono dengan sombongnya.
"Mana nomor rekeningmu! Aku akan transferkan uang dua kali lipat dari hutangmu sekarang juga! Atau kamu mau uang cash? Tajab akan memberikannya siang ini!" lanjutnya.
"Dan kau, Cantik. Bersiaplah untuk menjadi bidadariku. Untuk persiapan pernikahan kita, akan diurus semua oleh anak buahku. Kamu hanya tinggal duduk manis saja di rumah," ucapnya sambil tangannya mulai nakal, menowel pipi mulus Tania.
Tania memalingkan muka. Dia tidak sudi di pegang oleh Tono sebelum sah menjadi istrinya.
"Pegang sedikit, Cantik," ucap Tono.
"Tidak! Atau aku akan membatalkan semuanya!" ancam Tania.
"Baiklah, aku pulang sekarang. Minggu depan kita menikah," ucap Tono dengan senyum penuh kemenangan.
Setelah mereka menghilang dari pandangan, Tania langsung merosot ke lantai. Tangisnya pecah sejadi-jadinya.
Eni menghambur ke arah Tania. Dan ikut menangis histeris.
"Maafkan Paman, Tania. Paman tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu. Paman tidak bisa melindungimu. Paman merasa sangat berdosa karena telah menjualmu pada bandot tua itu," ucap Danu lalu bersimpuh di depan Tania.
Tania mendekap pamannya.
"Paman tidak bersalah. Paman telah menjadi orang tua yang baik buat Tania. Mungkin ini semua takdir Tania, Paman. Tania akan menjalaninya dengan ikhlas," ujar Tania. Lalu beralih memeluk bibinya.
"Bibi, tolong temani Tania terus ya? Tania takut tidak kuat menjalaninya," pinta Tania pada Eni yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.
"Pasti, Sayang. Bibi pasti akan selalu menemanimu. Sampai kapan pun. Kami tidak memiliki anak. Anak kami ya kamu. Hanya kamu, Tania," ucap Eni sambil menangis tersedu-sedu.
Setelah lelah menangis, Tania melihat jam di dinding. Dia teringat sudah janji nyamper temannya sebelum ke sekolahan.
"Paman, Bibi, Tania mau ke rumah teman dulu. Sudah jam delapan lewat." Tania lalu buru-buru masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Dengan langkah lesu, Tania berpamitan pada paman dan bibinya.
"Apa perlu Paman antar?" tanya Danu.
"Mau ngantar pakai apa, Pak?" Eni balik bertanya pada suaminya.
"Naik angkot juga, Bu," sahut Danu.
"Tidak usah, Paman. Tania bisa sendiri kok." Lalu Tania menyalami tangan kedua orang tua angkatnya itu.
"Bu. Kamu tidak masuk kerja?" tanya Danu pada istrinya.
"Astaghfirullah...Aku sampai lupa, Pak," sahut Eni lalu berganti pakaian.
"Kamu tidak menawari mengantarkan aku, Pak?" tanya Eni.
"Mau ngantar pakai apa?" tanya Danu membalikan pertanyaan Eni tadi.
"Naik angkotlah," jawab Eni, lalu bergegas pergi.
"Bu!" panggil Danu.
"Apa lagi sih, Pak? Aku sudah terlambat nih. Jangan sampai gajiku di potong bulan ini," ucap Eni kesal pada suaminya.
"Kamu tidak cium tangan?" Danu mengulurkan tangannya.
"Ish. Kamu tuh ya. Sudah tau aku terlambat, malah bikin makin lama." Eni langsung mencium tangan suaminya.
"Bu!" panggil Danu lagi.
"Apa lagi sih, Pak?" Eni makin kesal.
"I lop yu,"ucap Danu sambil memberikan tanda kiss bye dengan tangannya.
Eni pura-pura cuek. Padahal dalam hati sangat bahagia melihat tingkah suaminya yang kadang kayak abege.
Setelah istri dan keponakannya pergi, Danu merasa kepingin BAB. Dan Danu baru sadar kalau dia dari tadi hanya mengenakan selimut yang melilit di tubuhnya.
"Astaghfirullah...kenapa aku lupa kalau dari tadi tidak pakai baju?" Lalu Danu bergegas ke kamar mandi.
Tania masih berdiri menunggu angkot yang lewat.
"Lho kamu belum dapat angkot?" tanya Eni tiba-tiba dari belakang Tania.
Saking kagetnya Tania hampir saja jatuh karena melonjak.
"Bibi ih, ngagetin aja."
"Maaf. Kamu ngapain melamun aja di jalanan?" tanya bibinya.
"Siapa yang melamun? Tania lagi nunggu angkot. Lama banget gak lewat-lewat," sahut Tania.
"Hay, Tania! Kamu mau kemana?" Seorang pemuda menaiki sebuah motor sport menyapa Tania.
"Hay, Ren. Aku mau ke rumah Mike. Lalu ke sekolah," sahut Tania.
"Bareng aku yuk. Tapi kita langsung ke sekolah saja," ajak Rendi, teman sekolah Tania.
Tania menoleh pada bibinya, minta persetujuan. Bibinya mengangguk tanda setuju.
"Naik," ucap Rendi sambil memberi isyarat pada Tania untuk naik di belakangnya.
"Pegangan," ucap Rendi, tangannya menarik tangan Tania agar memeluk pinggangnya.
"Ih, apaan sih." Tania berusaha melepaskan tangannya. Tapi siku Rendi menjepit tangan Tania dengan kuat.
Dan Rendi segera melajukan motor sportnya dengan kecepatan tinggi. Memaksa Tania mendekap pinggang Rendi.
Eni yang melihat pemandangan itu menitikan air matanya. Mestinya Tania barsanding dengan lelaki sebayanya, bukan dengan lelaki setengah baya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments