Keesokan paginya Tania sudah bangun lebih awal. Seperti biasanya, selesai sholat subuh Tania memasak seadanya untuk sarapan mereka.
Paman dan bibinya masih bergelung dibalik selimut, setelah semalam baku hantam di atas ranjang empuk mereka.
Salah satu jurus mereka untuk bisa mendapatkan momongan adalah membeli springbed bermerk yang harganya cukup mahal untuk ukuran mereka.
Karena mereka selalu berfikir bisa berduel dengan nyaman di atas ranjang empuk. Dan berharap cebong-cebong milik Danu bisa berkembang di goanya Eni.
"Bi! Bibi! Bangun sudah jam enam. Nanti Bibi terlambat ke tempat kerja!" teriak Tania dari dapur yang berada persis di depan kamar mereka.
"Pak! Bangun, Pak! Sudah jam enam." Eni mengguncang tubuh suaminya yang masih polos dibalik selimut.
"Kamu duluan. Aku menyusul," sahut Danu lalu kembali meringkuk memeluk guling.
"Ish. Bagaimana mau dapat rejeki banyak, bangun pagi saja malas," ucap Eni lalu
memakai daster longgarnya tanpa dalaman.
"Masak apa kamu, Tania?" tanya Eni setelah membuka pintu kamarnya.
"Nasi goreng, Bi. Sayang nasi yang kemarin masih banyak," sahut Tania lalu membagi nasi gorengnya menjadi tiga piring.
Satu piring dia isi paling banyak. Jatah untuk pamannya. Sedangkan untuk dia sendiri yang paling sedikit.
Kalau kata Eni, anak gadis jangan makan terlalu banyak biar badannya tidak melar.
Eni mencicipi sedikit nasi goreng itu dengan sendok.
"Enak," ucap Eni dan hendak menyendok lagi.
"Ih, Bibi jorok. Belum gosok gigi sudah makan." Tania menjauhkan piring berisi nasi goreng yang akan di sendok lagi oleh bibinya.
"Pelit amat sih ini anak gadis. Bibi laper banget ini," ujar Eni berusaha menyendok lagi.
"Mandi dulu, Bibi!" sahut Tania gemas melihat tinģkah bibinya yang kadang seperti anak kecil.
"Iya, bawel!" Eni terpaksa menaruh sendoknya asal.
"Kecil-kecil pelit," gerutu Eni sambil melangkah menuju ke kamar mandi. Tania yang mendengarnya hanya mengangkat bahunya saja.
"Tania! Ambilkan shampo!" teriak Eni dari dalam kamar mandi.
"Iya, Bi," jawab Tania lalu mencarikan shampo sachet yang biasa mereka pakai.
"Di mana, Bi?" tanya Tania karena tidak menemukannya.
"Ya di tempat biasanyalah. Masa di dalam kulkas!" jawab Eni.
"Cepetan! Bibi sudah lapar banget ini!" teriak Eni lagi.
"Gak ada, Bibi. Kayaknya abis," sahut Tania.
"Kamu kan bisa membelikannya di warung. Punya inisiatif dong!" seru Eni lagi.
"Apaan sih, berisik banget! Ganggu orang tidur saja!" seru Danu yang terbangun karena teriakan istrinya.
Danu keluar kamar hanya dengan selimut yang dililitkan di badan kekarnya.
"Bibi itu, Paman. Mana bagi duit buat beli shampo," ucap Tania sambil menengadahkan tangannya.
"Gak ada duit kecil," sahut Danu.
"Lagian kamu ngapain berisik sih, Bu? Pakai sabun mandi dulu kan bisa!" seru Danu kepada istrinya.
Eni terdengar ngedumel di dalam kamar mandi.
"Tania. Bikinkan Paman kopi ya," perintah Danu kepada keponakannya.
Tanpa diminta dua kali, Tania langsung membuatkan kopi untuk pamannya.
Danu sudah duduk di meja ruang tamu sambil menyalakan rokoknya.
"Ini kopinya, Paman." Tania meletakannya di meja kecil samping kursi pamannya.
"Hari ini Tania ke sekolah. Tapi mau nyamper teman dulu, Paman," ucap Tania.
"Kamu mau main? Memangnya punya teman?" tanya Danu, lalu menyeruput kopinya.
"Punya lah. Rumahnya gak jauh kok. Lagian Tania ada urusan ke sekolah. Tidak cuma main," sahut Tania.
"Oh, ya sudah. Jam berapa berangkatnya?" Danu menghisap rokoknya.
"Nanti jam delapan. Paman ada uang kecil tidak, buat ongkos?" tanya Tania pelan. Karena tadi pamannya bilang tidak punya uang kecil.
"Ambilkan dompet Paman, di kantung celana. Di kamar," sahut Danu.
Tania masuk ke dalam kamar pamannya. Dia geleng-geleng kepala melihat tempat tidur mereka acak-acakan seperti habis buat main perang-perangan.
"Ini dompetnya, Paman." Tania memberikan dompet Danu yang diambilnya di kantung celana pamannya.
Danu membuka dompetnya, lalu mengambil selembar uang lima puluh ribuan satu-satunya penghuni dompetnya.
"Nih. Belikan Paman rokok dan shampo. Sisanya ambil buat ongkos kamu ke rumah temanmu," ucap Danu, lalu menyeruput kopinya lagi.
Tania memanyunkan bibirnya. Dia pikir uang lima puluh ribu itu bakal untuknya semua. Jadi dia nanti bisa jajan seblak di dekat rumah temannya.
Tania berjalan ke warung mak Yuyun yang tak jauh dari rumahnya.
"Eh, si Eneng makin cantik aja. Mau gak jadi pacar Abang?" tanya seorang pemuda kampung yang biasa nongkrong di depan warung mak Yuyun.
Tania tak menggubris ocehan pemuda itu. Kalau diladeni tak akan ada habisnya.
Setelah membeli pesanan pamannya, Tania segera berbalik hendak pulang.
"Neng Tania. Abang serius nih. Jangan diam saja dong, Neng," ucap si pemuda pengangguran itu berusaha meraih tangan Tania.
Tania melotot pada pemuda itu. Lalu bergegas meninggalkannya. Tapi terlambat, tangan Tania terlanjur dipegang dengan erat.
Tania berusaha melepaskan tangannya, tapi genggaman tangan pemuda itu lebih kuat.
"Heh! Lepasin tangan calon istriku!" seru seorang lelaki paruh baya berbadan kecil dan giginya sedikit maju.
"Eh, Aki-aki sembarangan aja ngakuin pacarku!" sahut si pemuda tak mau kalah.
"Tajab! Kasih dia pelajaran!" seru lelaki tua itu pada lelaki berbadan tegap yang jalan di belakangnya.
Lelaki berbadan tegap itu mendekati Tania dan pemuda pengangguran yang tangannya masih menggenggam tangan Tania.
Hanya dengan sorot mata tajam, si pemuda pengangguran itu melepaskan tangan Tania.
Tania yang merasa sudah terbebas, segera berlari pulang ke rumahnya.
Tania berlari bukan hanya takut pada ulah si pemuda yang mencekal tangannya tadi, tapi juga takut karena rentenir tua itu pasti akan datang ke rumah pamannya.
"Kenapa kamu lari-lari, Tania?" tanya Danu yang masih saja duduk sambil merokok.
"Nih rokok Paman sama shamponya." Tanpa menjawab pertanyaan pamannya, Tania masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.
"Kenapa anak itu, Pak?" tanya Eni mendekati suaminya, sambil tangannya mengeringkan rambutnya menggunakan handuk bekas mandi.
Danu hanya mengangkat bahunya. Lalu menyerahkan shampo sachet kepada istrinya.
"Telat!" jawab Eni.
"Kan bisa buat besok pagi," sahut Danu tanpa merasa berdosa.
Eni menerimanya dan menaruhnya di meja dapur.
Tak lama, datanglah rentenir tua yang membuat Tania ngumpet.
Danu menelan ludahnya dengan susah payah. Eni tak kalah terkejutnya. Dia masuk kembali ke dapur. Bukan untuk membuatkan minuman, tapi ikut ngumpet seperti Tania.
"Assalamualaikum!" Dua orang lelaki itu mengucap salam.
"Wa-alaikum-salam" jawab Danu tergagap.
Tanpa dipersilakan, si rentenir itu duduk di kursi yang masih kosong. Sementara centengnya berdiri di tengah pintu rumah.
Tania yang mendengar orang-orang itu masuk ke dalam rumah pamannya, mengintip dari lubang kunci pintu kamarnya.
Tania bergidig ngeri melihat wajah tua bangka itu. Tania mencoba menajamkan pendengarannya, ingin mendengar apa maunya bandot tua itu datang.
"Bagaimana Danu! Kamu sudah bisa melunasi hutangmu sekarang?" tanya rentenir itu.
Danu menghela nafasnya. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Terus apa mau kamu sekarang?" tanyanya lagi.
Danu menggeleng lagi.
"Baik. Sekarang kamu tinggal memilih, penjara atau anak gadismu serahkan kepadaku. Dan...semua hutangmu aku anggap lunas!" ucap si rentenir tua itu dengan angkuhnya.
Tania yang terkejut, memundurkan badannya dan terduduk di ranjangnya.
"Tapi bukannya kamu memberiku waktu satu bulan lagi?" ucap Danu membela diri.
"Kamu yakin, dalam waktu satu bulan bisa melunasi semuanya?" tanyanya.
Danu hanya menatap nanar ke depan. Entah apa yang dilihatnya.
"Lebih baik kamu menyerah sekarang! Berikan anak gadismu padaku, maka aku akan memberimu uang dua kali lipat dari hutangmu. Enak kan?"
Tania yang mendengar hanya bisa meneteskan air matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments