Rendi membalas pelukan Tania. Tangannya membelai punggung Tania.
"Jangan cerita kalau kamu belum siap. Tapi percayalah padaku, aku berjanji tak akan pernah meninggalkanmu. Apapun yang terjadi," ucap Rendi.
Suara deburan ombak yang pecah di pinggir pantai tak mampu menghibur hati Tania yang sedang kacau.
Padahal dulu semasa kecilnya, Tania paling suka kalau paman dan bibinya mengajaknya ke pantai.
Tania kecil pasti tak akan mau pulang sampai sore. Dia akan asik bermain pasir dan berlarian mengejar ombak yang datang dan pergi.
Bibinya akan berteriak-teriak ketakutan kalau Tania berlari terlalu ke tengah.
Pamannya akan mengejarnya dan mengangkat tubuh kecilnya bagai melayang di angkasa.
Sekarang, Tania berada di sini lagi. Setelah bertahun-tahun kemudian.
Tidak bersama paman dan bibinya, tapi bersama laki-laki yang semestinya akan menjadi pendamping hidupnya kelak.
Tapi semua hanya impian Tania saja. Bukan Rendi yang akan menjadi pendampingnya, tapi laki-laki lain yang bahkan Tania tak pernah menyukainya.
Tania melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Rendi dengan lekat. Ada keraguan di hati Tania.
"Percayalah padaku, Ayang. Aku tak akan pernah meninggalkanmu." Rendi berusaha meyakinkan kekasih yang telah menguasai hatinya saat ini.
Tania menundukan wajahnya. Dia sangat tidak yakin Rendi tak akan meninggalkannya kalau tahu Tania akan menikah dengan lelaki lain.
Apalagi lelaki yang akan menikahi Tania berumur jauh diatasnya, Rendi pasti akan berfikir Tania gadis matre.
"Kamu kenapa sih? Kok jadi tidak percaya padaku?" tanya Rendi sambil tangannya mengangkat dagu Tania.
Hingga wajah Tania menghadap ke wajah Rendi. Tiba-tiba air mata Tania keluar lagi dari mata indahnya.
"Kenapa menangis lagi?" Rendi menghapus lagi air mata Tania.
Rendi yang biasanya selengekan, kini berubah jadi sangat romantis dan penuh kesabaran menghadapi Tania yang sedang dilanda kegalauan.
Tania ingin selalu bisa bersama Rendi selamanya. Tapi minggu depan dia akan dinikahi si bandot tua.
Tania menghela nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia sadar tak akan bisa bersama Rendi lagi setelah pernikahannya nanti.
Saat ini Tania hanya ingin merasakan kebahagiaan sebelum hari itu datang.
Tania meraih tangan Rendi, lalu menggenggamnya dengan erat.
Rendi mengecup kening Tania dengan lembut.
"Aku mencintaimu Tania. Belum pernah aku merasakan cinta seperti ini sebelumnya," ucap Rendi yang membuat adem hati Tania. Tapi sekaligus juga sakit.
"Kamu jangan terpengaruh dengan cewek-cewek yang dulu sering aku kencani ya? Mereka tak pernah ada artinya bagiku," ucap Rendi lagi.
Tania terharu mendengar pengakuan Rendi. Sebenarnya Tania juga sama saja dengan Rendi. Dia sangat mencintai Rendi. Sampai-sampai Tania rela menjomblo demi menunggu Rendi menyatakan perasaannya.
Dan cintanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Walau pun Tania tidak pernah berusaha untuk mendapatkan Rendi, tapi Tania selalu setia menunggu.
"Tania, maukah kamu menikah denganku?" tanya Rendi.
Tania terhenyak. Perasaan Tania hancur lebur bagai tersambar petir.
Bagaimana mungkin Tania akan menikah dengan Rendi, kalau minggu depan adalah hari pernikahannya dengan si bandot tua itu. Kecuali....
Tania membayangkan dia memberikan sedikit racun sianida yang dulu sempat viral, pada minuman si bandot tua itu.
Lalu si bandot tua itu mati. Dan Tania bisa menikah dengan Rendi.
Tapi bagaimana aku melakukannya? Sedangkan aku saja tidak pernah tau bentuk dari racun sianida itu dan di mana membelinya.
Belum lagi kalau sampai ketahuan dia pelakunya. Pasti dia akan dijebloskan ke penjara.
Tania bergidig membayangkan hidupnya akan berakhir di penjara. Bukan di pelukan kekasihnya.
"Tania! Hey, kok malah melamun?" Rendi mengguncang bahu Tania.
"Oh...Eh...Enggak kok Ren. Aku cuma...lagi...kedinginan. Iya aku kedinginan, Ren," sahut Tania gugup karena tadi dia sedang asik berhayal menjadi orang jahat.
Rendi memeluk Tania dari samping. Tania pun memeluk pinggang Rendi dengan erat.
Tania jadi membayangkan bagaimana jika yang memeluknya adalah calon suaminya. Tania pasti akan lari terbirit-birit. Karena Tania tak pernah mencintainya. Bahkan jijik melihatnya.
Tania semakin mengeratkan pelukannya ke pinggang Rendi. Seakan tak ingin melepaskannya.
Rendi mencium ujung kepala Tania dengan lembut. Tangannya terus menggenggam tangan Tania.
Rendi tak berani berbuat lebih jauh lagi. Walau pun sama-sama menginginkannya.
Hingga alarm di ponsel Tania berbunyi dan Tania melepaskan pelukan Rendi.
"Sudah jam sembilan, Ren. Nanti aku dimarahi bibi dan pamanku kalau pulang terlalu malam," ucap Tania.
"Tapi aku masih kangen sama kamu, Ayang," sahut Rendi dengan suara manja.
"Besok kita masih punya waktu untuk bersama lagi, Ren," sahut Tania. Dia pun sebenarnya tak ingin berpisah dari Rendi.
"Sebentar lagi, Ayang." Rendi seperti tak rela menyudahi kebersamaan mereka.
"Kita pulang ya," ajak Tania.
Tania membayangkan wajah pamannya yang pasti akan semakin kecut jika dia pulang malam.
Dengan sedikit kecewa, Rendi mengangguk ,lalu mengecup kening Tania.
"Maafkan aku, Ren. Aku tak punya banyak waktu untukmu," ucap Tania.
"Tidak apa-apa, Ayang. Bukankah tadi kamu bilang, kita bisa bertemu lagi besok?" sahut Rendi.
Tania menganggukan kepalanya. Dalam hati dia berkata, Rendi tak mengerti apa yang ada dalam kepalanya saat ini.
Waktu Tania untuk Rendi hanya tinggal beberapa hari ke depan. Tania sudah tak bisa mundur lagi dari perjanjiannya dengan calon suaminya.
Tania melangkah tak bersemangat di samping Rendi.
Hingga sepanjang perjalanan pulang pun Tania tak banyak bicara. Dia hanya menyandarkan kepalanya saja di punggung Rendi.
Air mata yang mengalir di pipi Tania, kering bersama hembusan angin yang mengiringi perjalanan mereka.
Berkali-kali Tania menyesali keputusannya membuat kesepakatan sialan itu.
Gubug di pinggir pantai saksi cinta mereka, pasti tak akan pernah dilupakan oleh Tania sepanjang hidupnya.
Sementara di rumah orang tua Rendi, mama dan papanya masih membahas tentang masa depan anak semata wayangnya.
Sebenarnya kedatangan papa Rendi ke rumahnya bukan untuk itu. Ada hal lain yang ingin disampaikan pada istrinya.Dia akan menikah lagi.
Tapi entah mengapa kali ini dia tak berani mengatakan pada istrinya.
Kemarin-kemarin saat dia berganti-ganti istri simpanan, sangat mudah mengatakan pada istrinya.
"Kamu kenapa sih, diajak ngomongin tentang anak malah bengong terus?" tanya Sari pada suaminya.
"Oh. Eh. Tidak apa-apa, Ma. Papa cuma...cuma capek," jawab suaminya gelagapan.
"Capek apa mau kawin lagi?" tanya Sari.
Karena kebiasaan suaminya, akan kebingungan seperti ayam yang mau bertelor kalau punya keinginan kawin lagi.
"E...Enggak kok, Ma." Papa Rendi masih belum bisa mengatakannya.
"Sudah begini saja. Mama atur saja soal kuliah Rendi nanti. Dia maunya dimana, terserah dia. Papa akan biayai semuanya." Papa Rendi beranjak dari duduknya.
"Eh, mau kemana kamu?" tanya Sari.
"A...aku mau pu..pulang," jawabnya.
"Oh, ya sudah. Pulanglah," sahut Sari tak bersemangat.
Papa Rendi melangkah meninggalkan rumah istri dan anaknya.
Niatnya untuk meminta ijin pada istrinya, gagal. Dia belum punya nyali untuk itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments