Di rumah Tania.
Tania masih menangis mengingat kebodohannya yang menyetujui keinginan dari si bandot tua tukang rentenir.
Harusnya aku tidak membuat kesepakatan itu. Harusnya aku jalan dengan Rendi dari kemarin-kemarin.
Kenapa aku baru ketemu Rendi setelah aku membuat kesepakatan itu?
Bagaimana kalau Rendi besok sore datang ke sini, dan menyatakan cintanya?
Apa yang akan aku katakan kepada Rendi? Kasihan sekali Rendi karena cewek yang ditembaknya akan menikah seminggu lagi.
Tapi lebih kasihan lagi diriku sendiri. Menikah dengan bandot tua di usiaku yang masih sangat muda.
Tania terus menerus menyesali keputusannya tadi pagi.
"Tania, makan dulu sayang! Bibi membelikan makanan kesukaan kamu nih!" teriak Eni dari luar kamar Tania.
"Tania tidak lapar, Bi! Tania sudah makan tadi!" jawab Tania dengan suara kencang dari dalam kamarnya.
"Iya! Tapi buka dulu pintu kamarnya! Bibi kangen sama kamu, Sayang!" Seru Eni lagi.
Eni memang sangat menyayangi Tania yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
Dan setiap pulang kerja selalu yang dicarinya lebih dulu adalah Tania.
"Ayo, Tania. Keluarlah!" seru Eni lagi.
"Tania! Keluar atau Paman akan mendobrak pintunya!" ancam Danu.
"Apaan sih kamu, Pak. Pake ngancam-ngancam segala!" protes Eni pada suaminya.
"Biar dia mau keluar, Bu," sahut Danu.
Dan benar, Tania langsung keluar mendengar ancaman Danu.
Dengan wajah cemberut, Tania duduk di sebelah bibinya. Kepalanya disandarkan di bahu bibinya. Eni membelai rambut panjang Tania.
"Kesayangannya Bibi kenapa sedih?" tanya Eni pura-pura tidàk tahu. Padahal Eni pun bisa merasakan kesedihan Tania.
Eni yang sudah tua pun, tak akan sudi menikah dengan bandot tua seperti Tono, apalagi Tania, yang baru saja lulus SMA.
Tapi mereka tak punya pilihan lain. Seandainya Eni punya harta yang banyak, atau punya rumah sendiri, pasti akan dikorbankan untuk membebaskan Tania dari si bandot tua itu.
"Benar kamu sudah makan?" tanya Eni yang sengaja ijin pulang cepat, agar bisa membelikan makanan kesukaan keponakannya ini.
Tania mengangguk. Dia lalu meletakan kepalanya di pangkuan bibinya.
"Makan apa, Sayang?" tanya Eni sambil memainkan anak rambut Tania, layaknya remaja sedang pacaran.
"Gurame bakar," sahut Tania.
"Widiih...makan enak kagak ngajak-ngajak Paman," sahut Danu yang dari tadi asik membolak balikan BPKB mobil angkotnya.
Tania hanya memanyunkan bibirnya.
"Sama temanmu tadi?" tanya Eni lagi. Tania kembali mengangguk.
"Ganteng banget temanmu tadi. Siapa namanya?" tanya Eni, dia ingat tadi temannya Tania yang naik motor sport. Badannya yang tinggi, gagah dan wajahnya ganteng berkulit putih bersih.
"Rendi!" jawab Tania. Wajahnya bersinar ketika menyebut nama Rendi.
Danu menajamkan pendengarannya. Dia tidak mau keponakannya yang telah membuat kesepakatan, berubah fikiran.
Dia tidak mau kalau dirinya dijebloskan ke penjara. Dia juga tidak mau kalau mobil angkot yang sudah menjadi miliknya diambil kembali oleh rentenir tua itu.
"Siapa Rendi?" tanya Danu dengan meninggikan suaranya.
Eni melotot ke arah suaminya. Dia tidak suka kalau Danu terlalu keras pada Tania.
"Teman sekolah Tania, Paman," jawab Tania.
"Cuma teman, kan?" tanya Danu lagi.
Tania yang masih tiduran di pangkuan bibinya memandang ke wajah bibinya. Eni pun memandang keponakannya dengan raut kasihan.
"Kenapa kalian berpandangan? Ada apa ini?" tanya Danu khawatir.
"Kamu kenapa sih, Pak? Namanya juga anak muda, wajarkan kalau saling suka," sahut Eni ketus.
"Tidak bisa! Seminggu lagi Tania akan menikah! Aku tidak mau semua rencana gagal hanya karena laki-laki lain!" Danu sudah mulai ngegas.
"Bilang saja kamu takut kehilangan mobilmu kan?" tanya Eni tak kalah ngegasnya.
"Bu! Apa kamu mau kalau bapak masuk penjara?" sentak Danu kepada istrinya.
"Sudah! Sudah! Kalian tidak usah ribut terus. Tania akan tetap menikah dengan laki-laki pilihan Paman. Walaupun Tania sangat mencintai Rendi!" Tania lalu berlari masuk lagi ke kamarnya.
"Bukan Paman yang memilihkan, Tania!" teriak Danu.
Blum!
Cekrek.
Tania membanting pintu kamarnya lalu menguncinya lagi.
"Lama-lama jebol tuh pintu," gerutu Danu. Eni sudah berkacak pinggang dengan mata melotot.
"Kamu dengar omongan Tania tadi, Pak?!" seru Eni membentak suaminya tercinta.
"Kenapa jadi aku yang disalahkan sih?" Danu masih saja menggerutu.
"Terus kamu mau menyalahkan aku? Menyalahkan Tania? Ini semua karena...." Eni tak meneruskan kalimatnya.
Bagaimana pun itu aib untuknya dan suaminya.
"Ya sudahlah, Bu. Kita berdua yang salah. Tania yang harus menanggung akibatnya. Tapi aku tidak mau Tania ketahuan berpacaran, lalu si Tono membatalkan pernikahannya," ucap Danu.
"Nah itu, Pak!" sahut Eni.
"Itu apa?" tanya Danu.
"Biarkan saja Tania berpacaran sama si Rendi yang ganteng itu. Asal jangan sampai ketahuan si Tono," usul Eni.
"Gila kamu, Bu! Itu namanya kamu mengajari Tania untuk berselingkuh," sahut Danu.
"Ya biar saja. Toh si Tono juga masih punya istri. Dan ceweknya di mana-mana. Apa bedanya?" ucap Eni.
"Dosa, Bu! Dosa!" sahut Danu.
"Pak...Pak! Hari gini masih ngomong dosa. Memangnya yang kita lakukan tidak dosa?" ucap Eni.
"Dosa apa?" tanya Danu tak mengerti maksud istrinya.
"Kita memaksa Tania menikah dengan si bandot tua. Itu artinya kita sudah mendzolimi Tania. Dosa tidak?" Eni berusaha menjelaskan arti dosa menurut versinya.
Danu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Tau ah, Bu. Aku pusing! Bikinkan aku kopi. Kepalaku sudah mau pecah!" Danu menyalakan rokoknya.
"Pecahin saja sekalian. Biar nanti aku ganti pake batok kelapa!" Eni menyahut omongan suaminya sambil berjalan ke dapur membuatkan kopi.
"Sembarangan saja kalau ngomong," gerutu Danu. Lalu menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara.
"Pingin jadi orang kaya saja, susahnya minta ampun." Danu masih saja menggerutu.
"Nih kopinya. Jangan menggerutu terus." Eni lalu masuk ke kamarnya.
Dia mau browsing pakai hapenya. Mau mencari ide usaha buatnya nanti. Bagaimana pun Eni bosan menjadi pembantu terus. Walau pun sekarang sebutannya lebih keren, Asisten Rumah Tangga. Tetap saja babu.
Tania di kamarnya membuka ponsel jadulnya. Dia tadi lupa meminta nomor whatsapp-nya Rendi.
Padahal Tania kangen sama Rendi. Bagi Tania yang sudah terbiasa menyimpan perasaannya untuk Rendi, bisa berkirim chat dengan Rendi saja sudah membuatnya bahagia.
Ting.
Satu pesan whatsapp masuk. Tania mengintip dulu siapa pengirimnya.
Hmm, dari nomor tak dikenal. Tania mengacuhkannya.
Tania sudah biasa menerima pesan atau pun telpon dari nomor tak dikenal. Biasanya mereka menanyakan kabar atau sekedar say hello saja.
Tania merebahkan badannya. Pikirannya melayang ke Rendi. Tania memejamkan matanya. Mengingat kembali kebersamaannya dengan Rendi tadi siang.
Seandainya waktu bisa diputar kembali. Tania tersenyum mengingat saat Rendi mengerem motornya mendadak.
Dada Tania menabrak punggung Rendi. Ada getaran yang hebat saat gunung kembarnya menabrak dengan keras punggung Rendi.
Tania memegang sendiri gundukannya itu. Lalu dia tersenyum sebelum akhirnya tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments