"Maafkan Paman, Tania. Paman tak punya jalan keluar lain," ucap Danu pada keponakannya penuh penyesalan.
"Tapi kenapa harus dengan pernikahan, Paman?" tanya Tania sambil menangis sesenggukan.
"Atau kamu akan membiarkan dia menjebloskan pamanmu ke penjara?" tanya Eni, istri Danu pada Tania.
Tania tak bisa lagi menjawab apa-apa. Hanya air mata yang terus saja mengalir di pipi putihnya.
"Sekali lagi maafkan Paman, Tania. Kamu harus dikorbankan. Bukannya Paman menjualmu. Tapi cuma kamu satu-satunya yang bisa menolong Paman, agar dia tidak menyeret Paman ke penjara. Paman tak bisa melunasi hutang-hutang itu. Bahkan sekarang semakin menumpuk karena bunganya pun, Paman tak bisa menyicil," ucap Danu lagi.
"Tapi semua terserah padamu, Tania. Paman dan Bibi hanya mengharapkan belas kasihanmu. Kamu tau sendiri kan, pamanmu hanya sopir angkot yang tidak setiap hari narik. Gaji Bibi sebagai ART juga tak seberapa. Tak cukup untuk membayar bunganya sekali pun," ujar Eni sambil membelai kepala keponakan suaminya.
"Tapi Bi, Tania tidak mau menikah dengan laki-laki tua itu. Tania janji akan mencari pekerjaan untuk membayar hutang paman," ucap Tania sambil terus menangis.
Danu dan Eni hanya bisa saling menatap.
"Ya sudah. Masuklah ke kamarmu. Tidurlah, sudah malam," ujar Danu kepada Tania.
Dengan langkah lunglai, Tania berjalan masuk ke kamarnya. Air mata masih membasahi pipinya.
Tania sebenarnya gadis yang penurut. Tak sekali pun dia membangkang pada paman dan bibinya yang telah mengasuhnya sejak kecil.
Sejak kedua orang tuanya berpisah, dan mereka meninggalkan Tania kecil seorang diri di rumah kontrakan yang kumuh.
Saat itu, Danu adik dari ibunya Tania, baru saja pulang dari menarik angkot. Istrinya, Eni mendapati keponakannya menangis tersedu-sedu karena terkunci di dalam rumah kontrakan petak, tak jauh dari kontrakannya.
"Pak. Itu seperti suara tangisan Tania. Coba kamu lihat," ucap Eni pada Danu yang baru saja pulang.
"Kamu saja yang melihatnya, Bu. Bapak capek," jawab Danu, lalu masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Eni terpaksa menghampiri kontrakan kakak iparnya, yang letaknya tiga rumah di sebelahnya.
Semakin dekat, suara tangisan Tania semakin terdengar keras.
Eni mengetuk pintu rumah itu dan memberi salam. Tak ada sahutan, hanya tangisan Tania yang semakin terdengar kencang.
"Tadi saya lihat, papa dan mamanya pergi sendiri-sendiri sambil membawa tas besar. Kelihatannya mereka habis bertengkar lagi, Mbak," ucap tetangga sebelah yang juga merasa terganggu oleh tangisan Tania.
"Ini pintunya dikunci lagi," ucap Eni sambil berusaha mencari dimana orang tua Tania menyimpan kuncinya.
"Biasanya mereka menaruh kuncinya di bawah keset, Mbak!" ucap tetangga lain yang melihat Eni kebingungan mencari kunci.
Lalu Eni membuka keset yang ada di depan pintu, dan ternyata benar. Eni mengambil kunci itu dan segera membuka pintunya.
"Bibi...." Tania kecil segera menghambur dan memeluk bibinya.
"Cup...cup...cup. Kamu kenapa, Sayang? Kemana mama kamu?" tanya Eni pada Tania.
Tania yang masih menangis hanya menggelengkan kepalanya.
Lalu Eni menggendong Tania dan membawanya ke rumah kontrakannya.
Eni dan Danu yang belum dikaruniai anak memang sangat dekat dan menyayangi Tania, keponakan Danu.
"Pak! Ini Tanianya. Dia sendirian di rumahnya," ucap Eni pada suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Kemana mama dan papanya?" tanya Danu lalu meraih Tania dari gendongan Eni.
"Mana aku tau, Pak. Kata tetangga sih mereka pergi sendiri-sendiri membawa tas besar," jawab Eni.
Eni ke bagian dapur rumahnya dan membuatkan kopi untuk suaminya.
Lalu dia membawanya ke ruang tamu rumahnya dan tak lupa membawakan susu kotak yang diambilnya dari kulkas kecil miliknya, untuk Tania.
Eni sering membelikan susu kotak kesukaan Tania dan menyimpan di kulkasnya, untuk diberikan saat Tania berada di rumahnya.
"Tania mau susu?" tawar Eni kepada Tania.
Tania yang melihat susu kotak itu, langsung menghentikan tangisnya dan meraih susu kotak itu.
Dengan masih sesenggukan, dia meminumnya memakai sedotan yang sudah dibukakan oleh Eni.
"Jangan nangis lagi, Sayang. Nanti kamu keselek," ucap Eni.
"Tania, mama kamu kemana?" tanya Eni lagi setelah melihat Tania lebih tenang.
Tania hanya menggelengkan kepala. Wajah anak berusia lima tahun itu terlihat sedih lagi.
"Udah jangan sedih lagi ya. Tania di sini dulu sama paman dan bibi. Nanti kalau mama kamu sudah datang, baru pulang," ucap Eni.
Tania menganggukan kepala. Dia yang sudah biasa berada di rumah pamannya tidak keberatan dengan permintaan bibinya.
"Tania mau makan? Bibi tadi masak sayur sop kesukaanmu," tanya Eni lagi.
"Iya. Tania lapar," jawab Tania bersemangat.
Sejak siang tadi Tania memang belum dikasih makan oleh orang tuanya. Mereka malah sibuk bertengkar tanpa mempedulikan anak semata wayangnya.
Dan pertengkaran mereka diakhiri dengan pergi sendiri-sendiri, dan meninggalkan Tania yang tertidur.
Eni menyiapkan makan untuk suami dan keponakannya. Mereka makan di ruang tamu yang hanya beralaskan karpet plastik. Tanpa ada kursi tamu apalagi sofa mewah.
Eni dengan telaten menyuapi keponakan suaminya. Sambil dia juga menyuap untuk dirinya sendiri.
Pemandangan keluarga kecil yang hidup pas-pasan. Tapi mereka lebih akur daripada rumah tangga orang tua Tania.
Danu hanya seorang sopir angkot pedesaan yang penghasilannya tidak terlalu banyak, karena setiap harinya harus memikirkan setoran untuk juragan yang mobilnya di pakai untuk angkot.
Sedangkan Eni kerja serabutan, karena di rumah dia tidak punya kegiatan. Kadang mencuci dan menyetrika baju tetangga, kadang juga di suruh membersihkan rumah tetangga.
Apa pun dilakukannya untuk bisa menutup kebutuhan rumah tangganya.
Danu sebagai sopir angkot pedesaan, kadang harus libur kalau mobil butut yang disewanya mogok atau dipakai juragannya sendiri.
Usia pernikahan mereka yang hampir seumur Tania, belum juga diberi momongan.
Tapi tidak membuat hubungan mereka retak seperti kisah-kisah di sinetron, yang suaminya menginginkan anak, lalu menceraikan istrinya yang dianggap mandul.
Mereka menikmati kehidupan sederhananya dengan akur. Saling bahu membahu mencari recehan.
Diwaktu senggangnya mereka sering mengajak Tania sekedar berjalan-jalan ke pasar atau taman kota.
Di kamar kecilnya, Tania yang sudah beranjak dewasa merenung seorang diri. Haruskah dia menikah dengan bandot tua itu?
Tania pernah melihatnya sekali, sewaktu pulang sekolah dahulu. Laki-laki itu sedang menagih hutang di rumah pamannya.
Dan mata laki-laki tua menyebalkan itu, langsung melotot begitu melihat Tania yang masih berseragam SMA.
Tania yang risi dengan pandangan tajam itu langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Itu anak kalian?" Tania mendengar pertanyaan lelaki itu pada pamannya, karena kamar Tania berhadapan langsung dengan ruang tamu kecil tempat mereka berbicara.
"Iya. Dia anakku," jawab paman Tania.
Tak lama Tania mendengar lelaki itu pamit pulang. Setelah itu, Tania tak pernah lagi bertemu dengan lelaki itu.
Yang ada di ingatan Tania, lelaki tua itu mungkin seumuran dengan pamannya atau bahkan lebih tua lagi.
Badannya kurus ceking. Giginya agak tonggos. Jauh dari kata ganteng.
Itu yang akan jadi suamiku? Tania bergidig ngeri membayangkannya.
"Pak, bagaimana kalau Tania menolaknya?" tanya Eni khawatir pada nasib suaminya.
Memang dulu kesalahannya yang nekat meminjam uang pada rentenir tua itu, untuk berobat suaminya.
Danu pernah mengalami penyakit memalukan, menurut Eni. Itu makanya tak ada satu orang pun yang tahu, selain dia dan suaminya.
Termasuk juga Tania. Tania tidak pernah tahu kenapa pamannya sampai terlibat hutang yang sangat banyak.
Pernikahan Danu dan Eni yang tak juga dikaruniai anak, membuat pasangan ini berfikir tidak logis. Ini bisa dimaklumi karena pendidikan mereka yang tak cukup tinggi, membuat mereka berspekulasi dengan cara mereka sendiri yang dianggap sudah benar.
Pasangan ini memang cukup fair. Mereka tidak saling menyalahkan, kenapa mereka sampai tidak bisa punya anak. Mereka sama-sama mencari solusi dengan cara mereka sendiri.
Mulai dari Eni yang harus selalu tampil seksi di depan suaminya. Hingga memaksa Eni membeli berbagai lingerie hanya untuk membuat suaminya selalu bergairah melihatnya. Sampai Eni yang selalu melakukan perawatan ekstra pada aset pribadinya.
Bahkan Danu yang harus selalu mengkonsumsi doping agar senjatanya bisa bertahan lama.
Dan dampaknya, Danu jadi kecanduan dengan doping itu dan senjatanya tak bisa greng kalau tidak menggunakannya.
Lama-lama, rudal Danu menjadi benar-benar loyo karena over dosis.
Hal itu membuat Danu dan Eni kalang kabut. Mereka mencari pengobatan untuk bisa membangunkan lagi si entong milik Danu.
Berbagai pengobatan yang tidak murah mereka jalani. Mulai dari aneka obat-obatan yang ditawarkan penjual jamu di pasar sampai mendatangi orang yang mengaku bisa membuat perkasa.
Sampai akhirnya, setelah merasa putus asa, mereka mau berobat ke dokter atas saran dari rekan Danu yang seorang ahli syaraf.
Kini, rudal Danu bisa normal lagi. Tapi terlambat, karena mereka sudah banyak menghabiskan biaya.
Dan yang membuat masalah makin runyam, Eni nekat meminjam uang pada seorang rentenir yang terkenal sebagai lintah darat.
Kondisi fisik Danu yang saat itu kurang fit, membuat Danu jarang narik angkotnya. Sementara gaji Eni sebagai ART hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan untuk membayar kontrakan pun mereka mengandalkan uang dari si rentenir itu.
Padahal mereka juga sudah memilih pindah ke kontrakan yang lebih besar, bukan lagi rumah petak yang tidak ada pembatasnya. Karena saat mereka melakukan 'live' versi mereka, tidak ingin terganggu oleh Tania yang sudah beranjak remaja.
Dan akibatnya, hutang mereka semakin menumpuk tanpa bisa membayarnya, bahkan bunga yang sudah disepakati pun tak bisa mereka cicil.
Kini saat rentenir itu menghitung semua hutang mereka, membuat mata mereka melotot melihat angka yang banyak sekali nol-nya.
Rentenir itu mengancam akan mempidanakan Danu dan menyeretnya ke penjara kalau mereka tidak bisa membayarnya sampai batas waktu yang sudah disepakati.
Si rentenir itu, tidak bisa menyita barang berharga apa pun. Karena Danu dan Eni memang sudah tidak memiliki barang berharga sama sekali.
Perhiasan yang selama ini dipakai oleh Eni hanya barang imitasi yang dibelinya di pasar. Sementara yang aslinya sudah berganti dengan berbagai macam lingerie mahal yang kini hanya teronggok di dalam lemari plastik.
Pintarnya Eni mengelabuhi para tetangga yang suka nyinyir, dia membeli perhiasan imitasinya dengan model dan besar hampir sama dengan aslinya.
Suatu saat si rentenir menagih ke rumah kontrakan mereka. Eni yang bangga dengan wajah cantik anak angkatnya, mencetak foto keponakannya itu dengan ukuran besar dan memajangnya di ruang tamu dengan pigura mahal.
Apesnya, si bandot tua itu begitu melihat foto Tania dengan pakaian yang agak ketat, langsung merasa greng.
Sifat liciknya langsung muncul. Dia pura-pura mengancam akan segera mempidanakan Danu jika tidak juga melunasi hutangnya, atau barter dengan anak angkatnya itu.
Bagai tersambar petir di siang bolong, saat mendengar opsi terakhir dari si bandot tua.
Baik Danu atau pun Eni, tak pernah rela jika anak gadisnya diembat oleh si bandot tua itu. Bagaimana pun mereka telah mengasuh Tania sejak kecil dan menyayanginya seperti anak mereka sendiri.
Tapi mereka pun tidak siap dengan ancaman penjara. Terutama Eni, dia tidak tega jika sampai suaminya tercinta mendekam di balik jeruji besi.
Akhirnya setelah melewati perdebatan yang panjang dengan si rentenir, Danu terpaksa menyetujui keinginan gila itu.
Awalnya keputusan Danu ditentang keras oleh Eni. Eni sempat memohon-mohon meminta perpanjangan waktu, seperti permainan sepak bola yang sering ditonton Danu di televisi kecilnya.
Rentenir licik itu hanya memberi waktu satu bulan terhitung sejak hari itu.
Setelahnya, Danu dan Eni berusaha mati-matian mencari pinjaman kesana kemari. Tapi hasilnya nihil.
Mana ada orang yang mau memberikan pinjaman bernilai puluhan juta tanpa jaminan.
Sampai pada akhirnya mereka pasrah dan merelakan anak gadisnya pada bandot itu.
"Aku juga tidak tahu, Bu. Semua terserah Tania. Kalau memang Tania menolak, ya ikhlaskan aku, Bu. Ini semua salah kita," jawab Danu tak bersemangat lagi.
Bayangan dinginnya lantai penjara ada di depan matanya. Belum lagi pembully-an yang akan dilakukan oleh senior-senior di sana.
Karena setahunya, di penjara berlaku hukum senioritas. Para warga baru akan jadi bulan-bulanan mereka yang sudah mendekam di sana lebih dulu.
"Tidak, Pak. Aku tidak akan pernah ikhlas kamu masuk bui. Ini kesalahan kita berdua. Tidak adil kalau hanya kamu yang menanggung akibatnya!" ujar Eni lantang.
"Terus kamu mau ikut juga masuk bui?" tanya Danu sambil mengernyitkan dahinya.
Dia tidak paham dengan cara berfikir istrinya. Bagaimana mungkin masuk bui beregu, toh pada akhirnya akan dipisah juga. Karena bui untuk laki-laki tidak bercampur dengan bui untuk perempuan.
Apa istriku pikir di bui itu sama seperti menginap di hotel, yang bisa tidur bareng dan bermesraan?
"Ya tidak, Pak. Siapa juga yang mau tidur di sana walau pun gratis," jawab Eni.
"Ya terus bagaimana maumu, Bu?" tanya Danu lagi.
Eni hanya menggelengkan kepalanya dengan lesu.
Setelah beberapa saat saling terdiam, tiba-tiba Eni mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi.
"Aha...! Aku punya ide, Pak!" ucapnya bersemangat.
"Ide apa? Jangan bilang idemu itu kabur dari sini lho ya," sahut Danu.
Eni menundukkan wajahnya. Kesal karena ide yang menurutnya sangat cemerlang sudah terbaca oleh suaminya. Bahkan langsung di jegal.
"Uangnya si Tono gila itu banyak, Bu. Dia bisa saja membayar preman pasar buat nyariin kita. Kamu mau mati digebugin mereka kalau ketangkep?"
Eni mendongakan wajahnya dan menggelengkan kepalanya. Mati konyol itu namanya.
Eni memejamkan matanya sejenak. Mencari ide apa lagi yang bisa menyelamatkan mereka.
"Ah, kenapa di saat seperti ini tidak ada ide yang datang sih?" gerutu Eni.
Danu yang mendengar gerutuan istrinya hanya tersenyum. Sejak kapan istriku jadi orang jenius yang punya banyak ide cemerlang?
"Bapak kok malah senyam senyum sih?" tanya Eni yang merasa kesal karena Danu bukannya mikir malah cengengesan.
"Kamu cantik kalau sedang bete," ujar Danu meledek istrinya sambil menowel bibir seksi milik istrinya.
"Jangan becanda, Pak. Aku lagi serius ini." Eni menyingkirkan tangan Danu dari bibirnya.
"Aku juga lagi serius, Bu. Kamu pingin dapat ide cemerlang?" tanya Danu dengan gaya sok serius.
Eni mengangguk bersemangat. Danu langsung menarik tangan istrinya dan membawanya ke kamar mereka. Tak lupa Danu menguncinya dengan satu tangannya yang nganggur.
"Bagaimana caranya, Pak?" Eni masih saja menagih.
"Begini, Bu...." Tanpa melanjutkan kalimatnya, Danu langsung melahap bibir seksi istrinya dengan rakus.
"Pak...." Eni mulai mendesah saat tangan kekar suaminya mulai traveling menjelajah ke seantero tubuh sintalnya.
Klik.
Tangan Danu mematikan lampu kamar.
Keesokan paginya Tania sudah bangun lebih awal. Seperti biasanya, selesai sholat subuh Tania memasak seadanya untuk sarapan mereka.
Paman dan bibinya masih bergelung dibalik selimut, setelah semalam baku hantam di atas ranjang empuk mereka.
Salah satu jurus mereka untuk bisa mendapatkan momongan adalah membeli springbed bermerk yang harganya cukup mahal untuk ukuran mereka.
Karena mereka selalu berfikir bisa berduel dengan nyaman di atas ranjang empuk. Dan berharap cebong-cebong milik Danu bisa berkembang di goanya Eni.
"Bi! Bibi! Bangun sudah jam enam. Nanti Bibi terlambat ke tempat kerja!" teriak Tania dari dapur yang berada persis di depan kamar mereka.
"Pak! Bangun, Pak! Sudah jam enam." Eni mengguncang tubuh suaminya yang masih polos dibalik selimut.
"Kamu duluan. Aku menyusul," sahut Danu lalu kembali meringkuk memeluk guling.
"Ish. Bagaimana mau dapat rejeki banyak, bangun pagi saja malas," ucap Eni lalu
memakai daster longgarnya tanpa dalaman.
"Masak apa kamu, Tania?" tanya Eni setelah membuka pintu kamarnya.
"Nasi goreng, Bi. Sayang nasi yang kemarin masih banyak," sahut Tania lalu membagi nasi gorengnya menjadi tiga piring.
Satu piring dia isi paling banyak. Jatah untuk pamannya. Sedangkan untuk dia sendiri yang paling sedikit.
Kalau kata Eni, anak gadis jangan makan terlalu banyak biar badannya tidak melar.
Eni mencicipi sedikit nasi goreng itu dengan sendok.
"Enak," ucap Eni dan hendak menyendok lagi.
"Ih, Bibi jorok. Belum gosok gigi sudah makan." Tania menjauhkan piring berisi nasi goreng yang akan di sendok lagi oleh bibinya.
"Pelit amat sih ini anak gadis. Bibi laper banget ini," ujar Eni berusaha menyendok lagi.
"Mandi dulu, Bibi!" sahut Tania gemas melihat tinģkah bibinya yang kadang seperti anak kecil.
"Iya, bawel!" Eni terpaksa menaruh sendoknya asal.
"Kecil-kecil pelit," gerutu Eni sambil melangkah menuju ke kamar mandi. Tania yang mendengarnya hanya mengangkat bahunya saja.
"Tania! Ambilkan shampo!" teriak Eni dari dalam kamar mandi.
"Iya, Bi," jawab Tania lalu mencarikan shampo sachet yang biasa mereka pakai.
"Di mana, Bi?" tanya Tania karena tidak menemukannya.
"Ya di tempat biasanyalah. Masa di dalam kulkas!" jawab Eni.
"Cepetan! Bibi sudah lapar banget ini!" teriak Eni lagi.
"Gak ada, Bibi. Kayaknya abis," sahut Tania.
"Kamu kan bisa membelikannya di warung. Punya inisiatif dong!" seru Eni lagi.
"Apaan sih, berisik banget! Ganggu orang tidur saja!" seru Danu yang terbangun karena teriakan istrinya.
Danu keluar kamar hanya dengan selimut yang dililitkan di badan kekarnya.
"Bibi itu, Paman. Mana bagi duit buat beli shampo," ucap Tania sambil menengadahkan tangannya.
"Gak ada duit kecil," sahut Danu.
"Lagian kamu ngapain berisik sih, Bu? Pakai sabun mandi dulu kan bisa!" seru Danu kepada istrinya.
Eni terdengar ngedumel di dalam kamar mandi.
"Tania. Bikinkan Paman kopi ya," perintah Danu kepada keponakannya.
Tanpa diminta dua kali, Tania langsung membuatkan kopi untuk pamannya.
Danu sudah duduk di meja ruang tamu sambil menyalakan rokoknya.
"Ini kopinya, Paman." Tania meletakannya di meja kecil samping kursi pamannya.
"Hari ini Tania ke sekolah. Tapi mau nyamper teman dulu, Paman," ucap Tania.
"Kamu mau main? Memangnya punya teman?" tanya Danu, lalu menyeruput kopinya.
"Punya lah. Rumahnya gak jauh kok. Lagian Tania ada urusan ke sekolah. Tidak cuma main," sahut Tania.
"Oh, ya sudah. Jam berapa berangkatnya?" Danu menghisap rokoknya.
"Nanti jam delapan. Paman ada uang kecil tidak, buat ongkos?" tanya Tania pelan. Karena tadi pamannya bilang tidak punya uang kecil.
"Ambilkan dompet Paman, di kantung celana. Di kamar," sahut Danu.
Tania masuk ke dalam kamar pamannya. Dia geleng-geleng kepala melihat tempat tidur mereka acak-acakan seperti habis buat main perang-perangan.
"Ini dompetnya, Paman." Tania memberikan dompet Danu yang diambilnya di kantung celana pamannya.
Danu membuka dompetnya, lalu mengambil selembar uang lima puluh ribuan satu-satunya penghuni dompetnya.
"Nih. Belikan Paman rokok dan shampo. Sisanya ambil buat ongkos kamu ke rumah temanmu," ucap Danu, lalu menyeruput kopinya lagi.
Tania memanyunkan bibirnya. Dia pikir uang lima puluh ribu itu bakal untuknya semua. Jadi dia nanti bisa jajan seblak di dekat rumah temannya.
Tania berjalan ke warung mak Yuyun yang tak jauh dari rumahnya.
"Eh, si Eneng makin cantik aja. Mau gak jadi pacar Abang?" tanya seorang pemuda kampung yang biasa nongkrong di depan warung mak Yuyun.
Tania tak menggubris ocehan pemuda itu. Kalau diladeni tak akan ada habisnya.
Setelah membeli pesanan pamannya, Tania segera berbalik hendak pulang.
"Neng Tania. Abang serius nih. Jangan diam saja dong, Neng," ucap si pemuda pengangguran itu berusaha meraih tangan Tania.
Tania melotot pada pemuda itu. Lalu bergegas meninggalkannya. Tapi terlambat, tangan Tania terlanjur dipegang dengan erat.
Tania berusaha melepaskan tangannya, tapi genggaman tangan pemuda itu lebih kuat.
"Heh! Lepasin tangan calon istriku!" seru seorang lelaki paruh baya berbadan kecil dan giginya sedikit maju.
"Eh, Aki-aki sembarangan aja ngakuin pacarku!" sahut si pemuda tak mau kalah.
"Tajab! Kasih dia pelajaran!" seru lelaki tua itu pada lelaki berbadan tegap yang jalan di belakangnya.
Lelaki berbadan tegap itu mendekati Tania dan pemuda pengangguran yang tangannya masih menggenggam tangan Tania.
Hanya dengan sorot mata tajam, si pemuda pengangguran itu melepaskan tangan Tania.
Tania yang merasa sudah terbebas, segera berlari pulang ke rumahnya.
Tania berlari bukan hanya takut pada ulah si pemuda yang mencekal tangannya tadi, tapi juga takut karena rentenir tua itu pasti akan datang ke rumah pamannya.
"Kenapa kamu lari-lari, Tania?" tanya Danu yang masih saja duduk sambil merokok.
"Nih rokok Paman sama shamponya." Tanpa menjawab pertanyaan pamannya, Tania masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.
"Kenapa anak itu, Pak?" tanya Eni mendekati suaminya, sambil tangannya mengeringkan rambutnya menggunakan handuk bekas mandi.
Danu hanya mengangkat bahunya. Lalu menyerahkan shampo sachet kepada istrinya.
"Telat!" jawab Eni.
"Kan bisa buat besok pagi," sahut Danu tanpa merasa berdosa.
Eni menerimanya dan menaruhnya di meja dapur.
Tak lama, datanglah rentenir tua yang membuat Tania ngumpet.
Danu menelan ludahnya dengan susah payah. Eni tak kalah terkejutnya. Dia masuk kembali ke dapur. Bukan untuk membuatkan minuman, tapi ikut ngumpet seperti Tania.
"Assalamualaikum!" Dua orang lelaki itu mengucap salam.
"Wa-alaikum-salam" jawab Danu tergagap.
Tanpa dipersilakan, si rentenir itu duduk di kursi yang masih kosong. Sementara centengnya berdiri di tengah pintu rumah.
Tania yang mendengar orang-orang itu masuk ke dalam rumah pamannya, mengintip dari lubang kunci pintu kamarnya.
Tania bergidig ngeri melihat wajah tua bangka itu. Tania mencoba menajamkan pendengarannya, ingin mendengar apa maunya bandot tua itu datang.
"Bagaimana Danu! Kamu sudah bisa melunasi hutangmu sekarang?" tanya rentenir itu.
Danu menghela nafasnya. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Terus apa mau kamu sekarang?" tanyanya lagi.
Danu menggeleng lagi.
"Baik. Sekarang kamu tinggal memilih, penjara atau anak gadismu serahkan kepadaku. Dan...semua hutangmu aku anggap lunas!" ucap si rentenir tua itu dengan angkuhnya.
Tania yang terkejut, memundurkan badannya dan terduduk di ranjangnya.
"Tapi bukannya kamu memberiku waktu satu bulan lagi?" ucap Danu membela diri.
"Kamu yakin, dalam waktu satu bulan bisa melunasi semuanya?" tanyanya.
Danu hanya menatap nanar ke depan. Entah apa yang dilihatnya.
"Lebih baik kamu menyerah sekarang! Berikan anak gadismu padaku, maka aku akan memberimu uang dua kali lipat dari hutangmu. Enak kan?"
Tania yang mendengar hanya bisa meneteskan air matanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!