Rendi datang setelah maghrib. Tania yang sudah rapi menyambut pujaan hatinya dengan senyum mengembang.
Eni pun ikut menyambut kedatangan cowok ganteng yang menawan hati keponakannya itu.
"Selamat malam Tania, Tante," sapa Rendi.
"Malam juga ganteng." Eni menyerobot menjawab salam dari Rendi.
"Masuk. Duduklah. Maaf tempatnya kotor," tambah Eni, mempersilakan Rendi.
"Ah sama saja. Tante apa kabar?" tanya Rendi dengan sopan.
Eni yang juga sudah berdandan rapi, duduk di sebelah Tania.
"Baik. Mau minum apa?" tanya Eni. Matanya tak lepas memandang wajah ganteng Rendi, yang menurut Eni persis seperti pemeran sinetron yang sedang booming di salah satu stasiun televisi.
"Tidak usah repot-repot, Tante. Nanti kami juga mau keluar. Saya ijin mengajak Tania ya, Tante. Kumpul sama teman-teman sekolah," ucap Rendi, sekalian meminta ijin pada Eni.
"Oh iya. Tidak apa-apa," sahut Eni.
Tania hanya diam saja. Dia malah memperhatikan bibinya yang over akting di depan Rendi.
"Om kemana, Tante?" tanya Rendi, karena dari tadi hanya melihat mereka berdua.
"Dia...e...Eh, lagi kurang enak badan. Jadi dari tadi tidak keluar," jawab Eni gelagapan.
Sebenarnya dia pun khawatir suaminya keluar dan membuat masalah lagi dengan Rendi.
"Oh. Sudah diminumin obat, Tan?" tanya Rendi lagi.
Jangan diminumin obat, minumin ctm saja biar dia tidak bangun, batin Eni karena takut suaminya berulah.
"Sudah kok, tadi," sahut Eni.
Danu yang mendengar pembicaraan mereka, merutuki istrinya yang terdengar ganjen. Apalagi mengatakan kalau dirinya sedang tidak enak badan. Padahal dia baik-baik saja, cuma perasaannya yang tidak baik-baik saja.
Ah, dasar istri ganjen! Aku kan juga mau menemui anak lelaki itu. Aku pingin lihat apa kegantengannya bisa menyaingiku, sampai istriku memujinya terus. Gerutu Danu dalam hati.
"Kalau begitu, saya pamit dulu Tan. Ijin ngajak Tania," pamit Rendi pada Eni.
"Oh iya. Silakan. Pulangnya jangan malam-malam ya," sahut Eni.
"Iya, Tan. Pulangnya tidak malam-malam kok," sahut Rendi. Tapi pagi. Batin Rendi.
Tania mengambil tas kecilnya di kamar.
"Bi, Tania ijin pergi dulu ya," pamit Tania, lalu mencium pipi kanan dan kiri bibinya. Biar kayak orang-orang kaya.
"Iya, Sayang. Hati-hati di jalan," sahut Eni, lalu mengelus rambut keponakannya.
Tania naik ke boncengan motor Rendi.
"Peluk dong. Kan sudah dapat ijin dari Tantenya," ucap Rendi. Dengan malu-malu tapi mau Tania memeluk pinggang Rendi.
Rendi menarik tangan Tania agar pelukannya makin erat.
"Gini kan enak. Anget," ucap Rendi sambil tertawa.
Rendi melajukan motor sportnya pelan. Satu tangannya memegangi tangan Tania, seakan takut Tania lepas.
"Kita kemana, Ren?" tanya Tania.
"Maunya kemana?" Rendi malah balik nanya.
"Lho katanya mau nongkrong sama teman-teman?" Tania bertanya lagi.
"Males ah. Entar digangguin mereka lagi. Mending nongkrongin kamu saja," jawab Rendi, lalu tertawa lagi.
Rendi sangat bahagia bisa dengan mudah mengajak keluar Tania, yang dì sekolah terkenal susah di dekati.
"Ke pantai saja, yuk. Enak di sana. Sepi." Tania hanya mengangguk yang jelas tidak bisa dilihat oleh Rendi.
"Ok, diam berarti setuju," ucap Rendi lagi. Lalu melajukan motornya ke arah pantai yang lumayan jauh.
"Pegangan yang erat! Aku mau ngebut!" seru Rendi. Lalu ngegas motornya, membuat tubuh Tania tersentak maju dan mendarat mulus di punggung Rendi.
Tania memeluk erat pinggang Rendi. Hingga mereka sampai di pantai.
Rendi mulai menurunkan kecepatan motornya. Lalu mencari tempat parkir.
"Ayo." Rendi menggandeng tangan Tania menuju ke pinggiran pantai.
Karena malam minggu, pantai cukup ramai oleh pasangan muda mudi.
"Kita ke sana, yuk," ajak Rendi menunjuk tempat yang agak sepi.
Disana ada sebuah gubug yang tak terpakai. Rendi mengajak Tania duduk di sana.
"Pesan minuman apa, Mas?" tanya seorang perempuan setengah tua, yang ternyata pemilik gubug itu.
"Air mineral saja, Bu. Kamu minum apa, Ayang?" tanya Rendi pada Tania.
Tania tergetar mendengar panggilan sayang dari Rendi.
"Sama, air mineral," sahut Tania.
Lalu si ibu itu pergi mengambilkan pesanan mereka.
Rendi memeluk bahu Tania, lalu menciumnya. Tania salah tingkah. Matanya menatap lurus ke depan. Dia juga malu, kalau ada yang melihat mereka.
Tak lama si ibu pemilik gubug datang. Dia memberikan dua botol kecil air mineral.
"Ada lagi?" tanya si ibu itu, yang membuat Rendi bete. Karena hasratnya pada Tania yang sudah di ubun-ubun, terganggu.
"Sudah, Bu. Sudah cukup," ucap Rendi lalu memberikan lembaran lima puluhan, agar si ibu itu segera menyingkir.
"Ambil kembaliannya. Jangan ganggu kami dulu ya," ucap Rendi dengan keki.
Si ibu mengangguk sambil tersenyum senang, karena dua botol kecil air mineralnya laku lima puluh ribu.
"Sering-sering saja begini. Aku bisa cepat kaya," gumam si ibu itu sambil melangkah pergi.
Rendi membukakan satu botol minumannya untuk Tania dan satu lagi untuknya.
"Minumlah. Biar enak nyiumnya," ucap Rendi sambil tertawa.
"Ih, apaan sih." Tania mendorong sedikit bahu Rendi, lalu mengambil botol air mineral itu dan meneguknya.
"Yang, kamu udah pernah ciuman belum?" tanya Rendi.
"Sudah," jawab Tania malu-malu.
Rendi menatap Tania tajam. Dia pikir Tania masih polos. Ternyata sudah pernah berciuman.
"Oh," sahut Rendi, lalu melepaskan bahu Tania.
Rendi sedikit kecewa dengan jawaban Tania. Apa dia juga sudah tidak perawan lagi? tanya Rendi pada dirinya sendiri.
"Kamu sudah pernah pacaran?" tanya Rendi lagi. Tania menggeleng.
Tidak pernah pacaran tapi pernah berciuman? Jangan-jangan Tania pemain juga seperti dirinya dan cewek-cewek yang pernah dikencaninya.
"Kalau belum pernah pacaran, lalu kamu ciuman dengan siapa?" tanya Rendi kepo.
"Dengan...kamu kan? Tadi di parkiran sekolah dan di bioskop. Kamu lupa?" tanya Tania, matanya memandang tajam ke arah Rendi.
Rendi menepuk jidatnya sendiri. Alamak! Ternyata aku yang pertama buat Tania.
Rendi kembali bersemangat. Karena selama ini, cewek-cewek yang dikencaninya sudah lihay. Pantes saja dia hanya diam saja saat aku cium, bisik hati Rendi kegirangan.
"Mau aku cium lagi?" bisik Rendi di telinga Tania.
Tania tertunduk malu. Dia hanya *******-***** kedua telapak tangannya sendiri.
Rendi menghadap ke arah Tania. Sementara Tania masih menatap lurus ke arah pantai.
Rendi meraih dagu Tania dan menghadapkan padanya. Mata mereka saling beradu.
Tania menatap tajam mata Rendi. Dalam hati Tania sangat sedih.
Tania sangat mencintai Rendi, dan sangat menginginkannya. Tapi sebentar lagi Tania akan menjadi milik laki-laki lain. Laki-laki yang tak pernah dicintainya, bahkan sangat jauh dari bayangannya.
"Kenapa?" tanya Rendi lirih.
Suara Rendi membuat hati Tania semakin sakit. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi dia belum siap kehilangan Rendi.
"Tidak apa-apa," sahut Tania lirih. Air mata mengalir dari sudut mata Tania.
"Kenapa menangis?" tanya Rendi, lalu menghapus air mata Tania.
Tania memeluk Rendi dengan erat. Lalu menangis di dada bidang Rendi.
"Kenapa, Ayang?" Rendi membelai punggung Tania dengan lembut.
"Ren, aku ingin bercerita padamu. Tapi...aku belum siap kehilanganmu." Tania semakin mengeratkan pelukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments