Setelah Tono pergi, Eni meraih kunci-kunci itu. Rupanya Tono memberikan juga kunci cadangannya.
Tania keluar lagi dari kamarnya. Kali ini perutnya benar-benar sakit. Tania langsung ke kamar mandi.
"Aah...lega," ucap Tania setelah keluar dari kamar mandi.
"Bi, bagaimana dengan rumah yang Tania minta untuk ditempati paman dan bibi?" tanya Tania pada bibinya yang sedang memegangi kunci calon kiosnya.
"Dia janji akan memberikannya setelah kalian menikah nanti. Termasuk surat-suratnya," sahut Eni.
"Kenapa nanti? Kan Tania bilang, dia harus memberikannya sebelum ijab?" tanya Tania lagi.
"Mungkin dia takut kalau kamu mengingkari kesepakatan kalian," sahut Eni.
"Licik sekali dia," gerutu Tania.
Tania menghela nafasnya. Dasar bandot tua. Tidak mau rugi.
"Tenang saja, Bibi akan menagihnya lagi nanti," sahut Eni.
"Bi, Tania takut," ucap Tania lirih.
"Tenang saja, Bibi akan selalu ada di dekatmu," sahut Eni.
Dalam hati, Eni kasihan sekali pada keponakannya ini. Diletakannya kembali kunci-kunci itu.
Eni pada dasarnya tak butuh semua harta benda itu, jika tidak membuat keponakannya bahagia.
Eni menyetujui keputusan Tania, hanya saja dia takut suaminya dipenjarakan.
Eni merengkuh kepala Tania dan mendekapnya erat.
"Sekali lagi maafkan kami Tania. Kami tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu. Kami malah menjerumuskanmu ke dalam permasalahan kami," ucap Eni sambil menangis tersedu-sedu.
Tania pun tak bisa membendung air matanya. Dia ikut menangis sesenggukan.
"Bi. Apa Tania salah jika Tania mencintai Rendi? Tania juga ingin menikmati sisa waktu Tania bersama Rendi?" tanya Tania setelah puas menangis.
Eni menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Sayang. Kamu tidak salah. Keadaan yang salah. Apa Rendi sudah tau semuanya?" tanya Eni.
Giliran Tania yang menggeleng lemah.
"Bagaimana Tania akan memberitahukannya, Bi? Rendi pasti akan kecewa dan meninggalkan Tania. Tania belum siap berpisah dengan Rendi," sahut Tania, lalu kembali menangis.
Kali ini Tania menangisi cintanya yang hanya akan berumur tidak lebih dari seminggu. Mengenaskan sekali!
Tania juga menangisi kekecewaan Rendi jika nanti tahu semuanya.
"Nanti saja memberitahukannya kalau kamu memang belum siap. Biar saja semua berjalan seperti ini. Walaupun tidak benar, tapi Bibi akan membela dan melindungimu. Bibi sangat paham perasaanmu, Sayang."
Eni membelai kepala Tania lagi. Hatinya sangat hancur melihat keponakan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri, menangis tersedu-sedu.
"Rendi akan ke sini lagi?" tanya Eni. Tania mengangguk.
Eni hanya ingin melihat keponakannya bahagia, sebelum hari yang akan sangat menghancurkannya.
"Mungkin selepas maghrib, Bi. Rendi akan mengajak Tania berkumpul dengan teman-teman," jawab Tania.
"Pergilah. Nikmati sejenak kebebasanmu. Bibi akan mengijinkanmu. Bibi juga akan melindungi dan membelamu. Bersiaplah. Ini sudah sore" ujar Eni dengan penuh pengertian.
Tania beranjak dari tempat duduknya. Dia berdiri lalu mengecup kedua pipi Eni yang sudah tidak kencang lagi.
"Terima kasih, Bi." Lalu Tania menuju ke kamarnya. Dia mau bersiap mandi.
Di pangkalan angkot, Danu memarkirkan angkot barunya. Dia menemui kawan-kawannya yang biasa bergantian narik angkot butut.
"Wah, angkot baru nih?" celetuk Sulis, salah seorang teman Danu. Lalu dia menelitinya dengan seksama.
"Beneran baru lho!" serunya. Danu tersenyum bangga.
"Angkot siapa, Bro?" tanya Sulis.
"Angkot gue lah," sahut Danu sambil melempar-lemparkan kunci angkotnya.
"Punya duit dari mana lu?" tanya Herman. Teman Danu yang lainnya.
"Pada mau tau aja!" sahut Danu, lalu berjalan menuju ke sebuah warung kopi yang ada di pangkalan itu.
"Kopi satu, Bu!" seru Danu kepada ibu penjual kopi.
"Bisa beli angkot baru, pesen kopi cuma satu," ucap Herman sambil menoyor kepala Danu.
"Duit gue habis buat bayar angkot itu, dodol!" sahut Danu.
Kedua temannya tertawa terbahak-bahak. Sambil terus meledek Danu.
"Terus kalau duit lu abis, lu mau dorong tuh angkotnya?"
"Udah, gue sewa aja. Entar duit sewanya buat traktir kopi gue!"
Mereka terus saja meledek Danu.
"Ijin trayeknya belum keluar, kampret!" teriak Danu.
" Lagian minggu depan gue mau...mantu," lanjut Danu lagi, perlahan.
"Mantu? Yang bener, Bro?" tanya Sulis. Telinganya di dekatkan ke mulut Danu.
Danu menjauhkan dengan tangannya.
"Budeg lu ya?" ucap Danu.
"Gue kagak budeg! Cuma gue heran aja. Bukannya anak lu baru aja lulus SMA?" tanya Sulis lagi.
"Iya," sahut Danu pelan. Dia jadi sedih ingat Tania yang masih di bawah umur terpaksa harus menikah demi mambayar hutangnya pada rentenir.
"Bentar lagi punya cucu dong lu?" tanya Herman, membuat hati Danu makin perih.
"Gue pulang dulu deh." Danu lalu berdiri.
"Eh, kopi lu gimana tuh? Belum juga jadi!" seru Sulis.
"Buat elu aja!" Lalu Danu meninggalkan uang lima ribu perak di meja warung kopi itu.
"Kenapa tuh orang?" tanya Sulis pada Herman.
Herman hanya mengangkat bahunya. Dia juga tidak mengerti kenapa Danu tiba-tiba pulang.
Tidak biasanya Danu baper saat mereka ledekin.
Danu melajukan angkotnya perlahan. Otaknya kacau gara-gara teringat keponakannya.
Danu sangat menyayangi Tania yang diasuhnya sejak kecil. Dan baru saja menginjak remaja, terpaksa dia serahkan pada si bandot tua, akibat kesalahan dia dan istrinya.
"Maafkan Paman, Tania. Paman tidak bermaksud menjualmu," ucap Danu dalam hatinya.
Sebutir air bening menetes dari matanya. Danu mengusap dengan tangannya.
Saat ini, Danu ingin pulang ke rumahnya. Dia ingin bertemu keponakannya.
Dia janji tak akan memarahinya lagi. Dia akan membebaskan Tania satu minggu terakhir ini.
Danu sampai di rumah, menjelang maghrib. Dia melihat Tania yang sudah berdandan rapi.
Danu hanya menatap keponakannya saja. Tak berani lagi melarangnya. Seperti janjinya tadi di jalanan, dia akan membebaskan Tania satu minggu ini.
Eni yang melihat Danu sedang menatap keponakannya, bersiap akan melawan kalau suaminya marah-marah lagi pada Tania.
Tapi ternyata dugaannya salah. Danu melangkah lunglai dan masuk ke kamarnya.
Eni dan Tania saling berpandangan.
"Paman kenapa, Bi?" tanya Tania.
"Mana Bibi tau. Mungkin pamanmu capek. Capek nongkrong. Seharian kerjaannya cuma nongkrong dengan teman-temannya di pangkalan."
"Kenapa paman tidak menarik angkotnya?"
"Ijin trayeknya belum keluar. Lagi pula Bibi masih sering memintanya mengantar ke sana kemari."
"Bi, acaranya nanti tidak perlu di ramaikan. Sederhana saja. Tania malu, Bi. Bagaimana kalau teman-teman sekolah Tania tau? Apalagi Tania menikah dengan orang yang umurnya jauh di atas Tania."
Eni hanya mengangguk. Tapi sebenarnya Eni menginginkan acara yang meriah. Kapan lagi Eni bisa mengadakan hajatan.
Apalagi semua biaya akan ditanggung oleh Tono. Eni tinggal minta saja uangnya.
Tono pasti akan mengabulkan keinginannya, asal dia bisa menikahi keponakannya.
Eni menemani Tania menunggu Rendi di ruang tamu. Eni memang sudah berjanji akan selalu menemani Tania.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments