Dua hari kemudian Nala sudah diperbolehkan pulang, Rendy sedari kemarin sudah kembali ke Jakarta karena ia tidak bisa cuti lama.
“Pelan-pelan” tuntun Ray agar Nala duduk di kasurnya
“Udah gih pulang, lu sejak pulang ke Bandung kan belum ketemu ibu” ucap Nala
“Iya bentar lagi, lagian juga ibu pasti belum sampe rumah” Jawab Ray
“Loh emang kemana?” Nala mendongkakan kepalanya
“Ngurus dokumen untuk pensiunnya ke RS” ucap Ray sambil membukakan sepatu Nala
“Hmmm..” Nala hanya mengangguk
“Ray, kapan balik ke Singapur lagi?” Tanya Sinta sambil meletakan makanan untuk Nala
“Mungkin akhir pekan kak” senyumnya, Sinta pun tersenyum dan berlalu keluar kamar. Ray mengambil piring untuk menyuapi Nala
“Apa sih Ray, gua bukan bayi” tolak Nala
“udah ah diem orang masih sakit. Ayo makan” paksa Ray
“kepala gua yang sakit bukan tangan gua, udah sini” Nala mengambil piring lalu memakan makananya
“Udah pulang sana” sambungnya.
“Hmmm… yaudah gua pulang tapi nanti setelah lu minum obat” jawabnya sambil menyiapkan obat Nala
“Taro aja disitu tar gua minum”. Cuek Nala
Ray menatap Nala dengan tatapan kesal dan meletakan obatnya begitu saja lalu berdiri siap pergi
“Loh mau kemana?” Nala menatap Ray
“Pulang” jawabnya lalu menghilang dibalik pintu
Nala menarik napasnya panjang lalu membuangnya, betapa dirinya sesak selama tiga hari ini harus 24 jam bersama Ray.
“Ga ngerti apa gua makin pusing dia disini” sandarnya lemas pada sisi kasur
“Iya sekarang geger otak, tar lama-lama kena serangan jantung gua karna ga bisa santuy nih jantung” protesnya sambil memegang dadanya megecek detak jantungnya yang tidak karuan.
***
Dimalam hari Nala duduk termenung pada kursi di halaman rumahnya.
“Assalamualaikum..” suara yang begitu lembut menyapa Nala
“Wa’alaikumsallam…” Nala mengalihkan pandangan keasal suara
“Loh mas Tama?” jawab Nala terkejut mendapati Tama ada disampingnya
“Hai Nal” senyum Tama menganggkat tangannya
“Hai, silahkan duduk mas, apa mau di dalam?” bingung Nala
“Disini aja Nal, adem” senyum Tama memperlihatkan barisan gigi putihnya
“Gimana Nal? bagaimana keadaanmu?” lanjutnya
“Alhamdulillah sudah baik mas, maaf ya saya belum bisa masuk kerja” jawab Nala sungkan
“Jangan mikirin kerjaan Nal, fokus sehat dulu jangan sampai seperti kemarin kamu maksain masuk malah makin parah kan” tatap Tama yang entah sangat merindukan gadis itu.
Nala dan Tama saling bertatapan beberapa detik sampai keduanya tersadar dan salah tingkah sendiri.
“Hmm.. terima kasih mas atas pengertiannya selama ini” Nala mencoba mencairkan suasana
“Yaa.. sama-sama Nal” Jawab Tama yang tak kalah tegang
“Nal, ada yang ingin aku sampaikan..” Tatap Tama
“Mungkin, waktunya tidak tepat tapi aku tidak mau lagi menunda karena ini sangat menyesakan untukku” Tama mulai menstabilkan detak jantungnya dan memberanikan diri mengulurkan kotak kecil ditangannya kepada Nala
“Ini sebuah kalung yang begitu manis, saat melihatnya aku tersenyum mengingat kamu.” Tama mencoba menarik napas untuk sedikit menenangkan diri sebelum melanjutkan ucapannya.
“Nala, seandainya ada kesempatan untukku bisa lebih dari sekedar teman kerja, walaupun mungkin hanya sedikit kesempatan itu, maukah kamu mempertimbangkan perasaan hatiku Nal?” Tama menatap lekat mata Nala dengan perasaan tulusnya
“Mas..” tiba-tiba jantung Nala berdegup tidak beraturan
entah apa yang harus Nala katakan saat ini. Sungguh dia tidak menyangka Tama akan mengungkapkan isi hatinya, tapi kebaikan dan ketulusan hati Tama selama ini memang selalu mengganggu fikiran Nala.
“Jika kamu butuh waktu, tidak perlu memaksakan untuk menjawab sekarang” Tama meraih tangan Nala untuk menerima kotak itu
“Aku pamit yaa.. Assalamualaikum” senyumnya sambil bejalan mundur dan melambaikan tangan pada Nala.
Ray yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari mereka hanya menatap Nala nanar. Ia pun berbalik arah kembali kedalam rumahnya.
Beberapa saat, Nala terdiam menatap kalung dengan liontin hati kecil berwarna silver ditangannya. Hatinya saat ini tengah bimbang, tidak dipungkiri selama dua tahun bekerja dengan Tama hatinya mulai goyah karena perhatian dan kasih sayang yang Tama berikan meskipun Nala kerap bersikap acuh dan membantahnya.
Ditempat lain, Ray terduduk dikursi belajarnya dikamar. Ia menatap cincin bermahkotakan berlian berbentuk hati kecil.
“Ray, boleh ibu masuk nak?” ketukan pintu membuyarkan pikirannya
“Ya bu? masuk aja ga dikunci” gegasnya menaruh kotak cincin kedalam laci meja
“ibu ga ganggu kan Ray?” senyum ibu seraya duduk dikasur menghadap Ray
“engga lah bu, itu apa?” Ray menatap kotak persegi berukuran sedang yang tengah dipegang ibu
“Hmmm.. ini, barang-barang yang ayahmu berikan untuk kamu". Ibu pun terdiam sejenak
"Ray, boleh ibu bicara hal yang serius padamu nak?” ibu menatap Ray dengan sendu yang dibalas dengan anggukan bingung Ray
“Ray, ayah sangat menyayangimu mungkin lebih dari menyayangi ibu. Sepanjang usianya ia habiskan untuk bekerja keras agar membuatmu bangga menjadi anaknya. Ia pasti saat ini juga sangat bangga menjadi ayahmu nak melihatmu menjadi dokter sepertinya” seraya tersenyum
Ray hanya diam berusaha mencerna kata-kata ibunya.
“Ray, ibu tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi ibu hanya menyampaikan amanah terakhir dari mendiang ayahmu. Ibu percaya kamu akan mengambil keputusan dengan bijak dan apapun keputusanmu ibu akan mendukungmu nak.” Lanjut ibu sambil memberikan kotak itu pada Ray.
Ray membuka kotak itu, terdapat beberapa foto dirinya dan orangtuanya sewaktu ia kecil dan beberapa lembar poto sang ayah dengan beberapa orang yang asing baginya.
“ini siapa bu?” Tanya Ray sambil memperlihatkan foto itu
“lihatlah dulu semua nak”
Ray meraih satu buah amplop yang berisikan surat sang ayah untuknya, beberapa saat ia membaca surat yang mencantumkan tahun dimana kala itu usia Ray masih enam tahun. Wajah Ray memerah dan mulai berkaca-kaca setelah selesai membaca.
“Apa maksud ayah bu?” tatapnya menuntut penjelasan ibu
“Maafkan ayah dan ibu nak” ibu mulai meneteskan air mata dan memegang tangan Ray yang gemetar
“Ayah melakukan itu karena dulu ia pernah hutang budi kepada sahabatnya sampai ia melakukan nazar seperti itu” ibu mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan
“Saat kamu berumur enam tahun, kamu sakit keras dan pada hari operasimu, ayah tidak sanggup jika harus mengoperasi anaknya sendiri yang kemudian ia serahkan pada sahabat baiknya. Pada saat itu kemungkinan keberhasilan operasimu hanya kecil, lalu ia berkata jika kamu selamat dan kembali sehat ia berjanji setelah kamu dewasa akan menjaga putri dari sahabatnya itu. Ayah memintamu untuk menikahi putrinya”
Penjelasan sang ibu ibarat petir digurun pasir bagi Ray, ia terdiam mencerna semua yang terjadi.
“Ray, ibu tahu siapa yang kamu cintai selama ini nak” tatap ibu
Ray menatap ibu nya dengan tidak percaya
“Maafkan ayah, mungkin dulu ia tidak berpikir kalau kamu juga akan jatuh cinta dengan seseorang dan memiliki kehidupanmu sendiri. Tapi, seandainya ibu boleh meminta padamu, bolehkah ibu pinta kamu coba bertemu dengan putri sahabat ayahmu sebelum kamu mengambil keputusan?” genggaman ibu semakin kuat pada Ray
Ray menarik napas panjang dan mencoba menenangkan dirinya.
“siap dia bu?” jawabnya pelan
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments