#15

Entah kenapa kepala Adelia terasa pusing dan suara Laras semakin menghilang didengarnya

BRUUGGH!!

Adelia terjatuh dilantai. Laras dengan panic berteriak dan meminta bantuan beberapa perawat didekatnya untuk menolong Adelia.

Satu jam kemudian,

Adelia tersadar dengan selang infus yang sudah terpasang ditangannya.

“Del..” Ray dengan sigap mengecek kondisi Adelia

“Mas Ray..” lirih Adelia

“Ya Del, kamu butuh sesuatu?” Tanya Ray

“Bagaimana ayah? Apakah sudah sadar? Aku ingin kesana”

Dengan sekuat tenaga Adelia mencoba untuk bangun dari bangkarnya.

“Del ayahmu baik-baik saja, tolong istirahat dulu disini sebentar lagi, habis itu kamu bisa jaga ayahmu lagi” cegah Ray

“engga mas, aku takut terlambat. Aku takut kalo aku tidur nanti ayah kenapa-kenapa” tangis Adelia

Adelia mencoba untuk melepaskan jarum infus ditangannya dengan paksa hingga berdarah. Ray mencoba untuk menenangkan Adel yang sudah mulai berontak dan mencoba bangkit.

Dalam tidurnya, Adelia bermimpi bahwa sang ayah telah dinyatakan meninggal dunia dan dia tidak ada disampingnya saat itu. Adelia tampak begitu hancur dan rapuh, gadis yang begitu ceria dan bersinar yang selalu membuat suasana kerja teman-temannya menjadi lebih hidup kini redup.

Adelia menangis mencurahkan semua perasaan sesaknya dalam pelukan Ray. Mungkin saat ini hanya Ray yang bisa membuatnya lebih tenang.

Hingga beberapa saat Adelia pun terbaring sambil menatap langit-langit kamar, Ray membantunya untuk memasangkan kembali selang infus.

“Dokter Ray ini..” Laras membawakan makanan untuk Adelia. Ia menatap Adel kemudian pergi dengan wajah yang begitu sedih

“Del, makan dulu yaa..” Ray menyendokan bubur dan menyodorkannya pada Adelia yang masih saja menatap langit kamar

“Tolong aku mas, tolong aku..” lirih Adelia

Suara yang begitu lirih dengan air mata yang mengalir di sudut matanya.

Ray menurunkan sendok dan menggenggamnya dengan erat. Ia menunduk dan memejamkan matanya.

“Aku tidak bisa menyakitimu Del..” ucap Ray pelan

“Kehilangan ayah dengan tidak melakukan diinginan terakhirnya, tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu mas..” suara Adel terbata menahan tangisnya

Ray semakin erat menggenggam sendoknya

“Baiklah..” ucap Ray, dengan pelan Ray mengangkat wajahnya menatap Adelia

“Maafkan aku mas, maafkan aku” Adelia sudah tidak mampu lagi menahan tangisnya mendengar jawaban Ray. Saat ini, bukan rasa bahagia bahwa ia akan menikah dengan pria yang sangat ia cintai tetapi, rasa bersalah dan sakit yang begitu besar terhadap Ray, keegoisannya saat ini pasti akan menyakiti banyak orang terutama Ray, tapi hanya ini jalan yang ia miliki.

“Del, ayahmu Del..” dengan tergesa dan nafas tersenggal Laras masuk mengejutkan Adelia dan Ray.

“Ayahmu sudah sadar Del!!” lanjutnya dengan senyum mengembang.

Adelia langsung mengambil infusnya dan segera berjalan setengah berlari dituntun oleh Ray dan Laras menuju ruang perawatan sang ayah.

Didalam ruang perawatan nampak bu Rani menggenggam tangan sang ayah sambil tersenyum, walaupun masih sangat lemah namun pak Harun melambaikan tanggannya pada Adelia seolah menyuruhnya untuk mendekat.

“Kamu kenapa nak?” Bu Rani nampak terkejut melihat lengan Adelia terpasang selang infus.

“Adel tidak apa-apa bu” seyumnya

“Ayaahh…” Adelia langsung memeluk ayahnya dan menangis dalam pelukan

Pak Harun hanya mengelus elus punggung sang putri semata wayangnya dengan berlinang air mata.

“Ayah jangan tinggalin Adel Yah.. Adel mohon..” lirih Adelia

Flashback off

***

Bandung,

Nala terdiam menatap keluar jendela kamarnya, sudah tidak ada lagi air mata yang ia keluarkan. Baginya saat ini mungkin sudah akhir dari ceritanya dan Ray. Sesakit dan sehancur apapun hatinya saat ini, dia tidak ingin lagi membuang waktunya seperti selama ini.

“Yaa.. dunia akan baik-baik saja, aku hanya terlalu bodoh selama ini” tepisnya dalam hati.

Esok harinya di kantor Nala,

“Selamat pagi semuanyaaa…” suara Dwi menggelegar mengisi seluruh ruangan. Seperti biasa gayanya yang nyeleneh selalu menjadi pusat perhatian teman-teman kerjanya.

“Halloo Nalaku sayaang..” sapanya dengan mengedipkan mata didepan Nala

“Brisik Wi, kasian kuping orang-orang bisa budek semua” Jawab Nala sambil tidak lepas dari layar monitor komputernya.

“Issh.. Issh.. Issh.. tau ga ini ruangan kalo gada gua tuh udah kaya kuburan, sepiiiiii bangeet.. bersyukurlah ada gua. Hahaha..” Dwi pun beranjak kemejanya dan mulai mengeluarkan lipstick dan membetulkan rambut coklatnya.

“Selamat pagi” suara Tama mengejutkan Dwi yang sedang asik dengan cerminnya

“Eh mas Tama, makin ganteng aja mas. Pagi juga..” jawab Dwi sambil nyengir

“Pagi mas..” sapa Nala sambil tersenyum tipis.

Tama pun tersenyum lalu masuk kedalam ruang kerjanya.

Nala mengambil beberapa berkas lalu menuju ruangan Tama.

“Permisi mas, ini laporan yang minggu lalu mas Tama minta”

“Oya silahkan duduk Nal” Tama pun beberapa saat mengecek laporan yang Nala berikan. Selesai berdiskusi, Tama sedari awal menyadari bahwa Nala sedang tidak baik-baik saja.

“Kalau begitu nanti sore saya berikan revisinya ya Mas, saya permisi” Nala bangkit dari duduknya

“Kamu baik-baik aja Nal?” Tama memberanikan diri untuk bertanya

Nala terkejut dengan pernyataan Tama, apakah wajahnya terlihat sendu?. Ia langsung mengedip-ngedipkan matanya lalu berbalik kearah Tama.

“Kenapa mas?” senyumnya

“are you okay Nal?”. Tatap Tama

“Ya.. aku baik-baik aja mas.. permisi” Nala langsung buru-buru berjalan kemeja kerjanya

Dwi yang melihat tingkah aneh Nala langsung memangku tangannya dan menatap Nala

“Apaan Wii..?” Tanya Nala

“Aneh aja.. ngapa lu kaya abis liat hantu?.. tapi gua yakin gua bakal betah kalo ada hantu seganteng mas Tama” senyumnya sambil berbalik melihat kearah Tama.

“eh Wi, emang ada yang aneh sama muka gua?” Tanya Nala lagi

Dwi mengerenyutkan dahinya sambil menatap Nala

“Apa yaa?.. mascara lu luntur atau lu gak mandi Nal? Itu muka bengep amat, baru sadar gua” ucap Dwi spontan

“Ah serius mascara gua luntur?” Nala langsung mengambil cermin dimeja Dwi dan membetulkan riasannya agar terlihat lebih baik.

Pukul 17.30 Dwi pamit pulang terlebih dulu meninggalkan Nala yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Revisi udah selesai, tinggal kirim email.” Nala bermonolog

Nala kemudian merapikan barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. Dia mampir keruangan Tama untuk konfirmasi email yang sudah ia kirimkan.

“Permisi mas, saya sudah kirimkan email revisian laporan yaa..” senyum Nala

“Okay Nal, makasih yaa..” senyum Tama mengembang

“Sama-sama mas, saya permisi pulang duluan ya” pamit Nala

“Mau barengan Nal?” ucap Tama

“Makasih mas, tapi saya mau mampir kerumah kak Dimas dulu ada keperluan” tolak Nala halus

“oh gitu, yasudah hati-hati ya Nal” tatap Tama

Nala pun berlalu meninggalkan Tama yang masih menatap punggungnya sampai menghilang.

Ingin rasanya bisa berlama-lama dengan Nala tapi dia selalu merasa dinding pembatas yang Nala buat begitu tinggi untuknya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!