Satu Malam Bersama CEO Arogan
Hosshh hosshhh
Seorang gadis berlari cepat sambil sesekali menoleh ke belakang. Peluh tampak membanjir membasahi wajah dan pakaiannya yang kumal. Dengan kondisi panik, gadis tersebut terus berlari sambil menarik sebuah gerobak tua yang berisi barang-barang bekas hasil memulung.
"Ya Tuhan, tolong aku. Jangan biarkan aku tertangkap oleh mereka," ujarnya dengan tubuh gemetar. Malam yang sepi tak membuatnya berhenti untuk melarikan diri.
Namanya Ilona. Dia berusia dua puluh tahun. Sebagai seorang yatim piatu yang hidup di jalanan, Ilona menyambung hidup dengan cara menjadi pemulung. Sebenarnya dulu Ilona tidak hidup di jalanan, melainkan di sebuah panti asuhan. Namun karena terus di bully, ia memutuskan untuk hidup mandiri di luar panti.
Tetapi sayangnya nasib baik enggan berpihak. Alih-alih mendapat kehidupan yang jauh lebih baik, Ilona malah harus berakhir sebagai pemulung yang tinggal bersama seorang nenek renta. Namun lagi-lagi nasib baik tak berpihak kepadanya. Setahun yang lalu neneknya sakit keras. Demi bisa membawa sang nenek berobat ke dokter, Ilona terpaksa meminjam uang dari seorang rentenir. Di awal meminjam jumlah uangnya tidaklah besar, dan sekali lagi Ilona bernasib buruk. Hanya dalam waktu satu bulan ia diminta mengembalikan pinjaman sebanyak lima kali lipat dari pinjaman awal. Belum juga masalah hutang terpecahkan, Ilona kembali diterpa badai di mana sang nenek akhirnya meninggal dunia akibat sakit yang dideritanya.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pepatah ini sangat cocok dengan nasib yang Ilona jalani sekarang. Akibat menunggak bayaran, jumlah yang harus Ilona kembalikan bertambah menjadi semakin besar. Hal ini menyebabkan Ilona harus bermain kejar-kejaran dengan para bandit yang diutus si rentenir untuk menangkapnya.
"Aku harus ke mana sekarang?" gumam Ilona mulai kelelahan. Seharian ini dia belum makan. Ditambah kini dirinya tengah membawa banyak barang. Hal ini menyebabkan langkah Ilona menjadi lemah. Dia butuh istirahat.
(Ah, ada mobil. Sebaiknya aku bersembunyi dulu di sana. Lumayanlah untuk mengumpulkan tenaga. Kebetulan juga tempatnya sedikit gelap. Semoga saja mata para bandit itu tidak bisa menemukan keberadaanku)
Tanpa pikir panjang Ilona segera bersembunyi di belakang mobil yang entah milik siapa. Dia lalu menempatkan gerobak di tempat yang gelap dengan harapan tak akan terlihat oleh para bandit.
(Siapa dia? Apa yang tengah dilakukannya di belakang mobilku? Sedang menguntitkah?)
Karl diam memperhatikan seseorang yang tengah berjongkok di belakang mobilnya. Dia yang baru saja menemui seseorang dibuat terheran-heran saat orang tersebut tiarap di tanah ketika beberapa pria muncul tak jauh dari sana.
"Sial! Kita kehilangan jejak gadis itu lagi. Arggghhh!"
"Bagaimana ini, bos?!"
"Cari lagi. Tikus itu pasti bersembunyi tak jauh dari sini. Ayo!"
(Oh, bandit ternyata)
Drrtt drrttt
Ponsel di saku celana Karl bergetar. Awalnya Karl enggan menjawab. Akan tetapi ponsel itu tak henti bergetar hingga akhirnya dia pun menjawab panggilan tersebut.
"Ada apa?"
["Paman Karl, Ayah bilang Paman mau datang ke rumah. Kenapa belum muncul? Apa mobil Paman sedang mogok karena kehabisan bensin?"]
"Sebentar lagi Paman akan sampai di sana. Kau ingin Paman belikan apa?" tanya Karl sembari tersenyum kecil. Ternyata keponakannya yang menelpon.
["Emm terserah Paman saja. Ibu bilang Justin tidak boleh meminta-minta. Tidak baik."]
Karl mengobrol dengan keponakannya sambil terus memperhatikan orang yang bersembunyi di belakang mobilnya. Jika dilihat dari gelagatnya, sepertinya orang tersebut tak berniat jahat. Untuk memastikan, Karl memutuskan untuk mendekat setelah menyudahi panggilan. Tak lupa dia memastikan dulu kalau para bandit telah pergi dari sana.
Sreeettt
"Yakk ... hmmpptt!!"
Ilona kaget setengah mati saat seseorang tiba-tiba membekap mulutnya dari belakang. Apa-apaan ini. Apa mungkin dirinya tertangkap oleh salah satu bandit?
Menuju ke tempat yang lebih gelap, Karl baru melepaskan bekapan mulutnya kemudian mendorong orang tersebut hingga jatuh tersungkur ke tanah. Dia lalu mengibaskan tangan, agak geli saat tangannya basah terkena keringat.
"Siapa kau?" tanya Ilona sambil berusaha untuk bangun. Kakinya gemetar, takut pada pria yang tengah berdiri di hadapannya.
"Seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulutku. Bukan dari mulutmu," sahut Karl dingin. Dia lalu menyipitkan mata. "Siapa kau?"
"Aku?" Ilona menunjuk dadanya sendiri. Memberanikan diri, dia melangkah maju ke depan agar bisa melihat rupa dari pria tersebut. "Oh, ternyata aku salah. Kau bukan bagian dari para bandit itu, kan?"
Tak ada jawaban. Sadar kalau pria di hadapannya adalah seorang cabul, dengan cepat Ilona mundur ke belakang lalu menggunakan tangan untuk menutupi bagian dada. Dia waspada.
"Kau penguntit?" tanya Karl agak aneh melihat sikap manusia di hadapannya.
"Jangan sembarangan menuduh ya. Untuk apa aku menguntit pria cabul sepertimu? Tidak ada kerjaan sekali!"
"Apa kau bilang? Pria cabul?"
"Ya, kau pria cabul. Kenapa memang?"
Karl mendengus kasar. Orang ini sungguh keterlaluan. Berani sekali menyebut dirinya sebagai pria cabul. Harus diberi pelajaran.
"M-mau apa kau?"
Ilona menelan ludah. Dia panik sendiri saat pria cabul ini berjalan maju ke arahnya. Berpikir kalau pria tersebut hendak melecehkannya, Ilona bersiap untuk berteriak. Akan tetapi yang terjadi berikutnya membuat Ilona pasrah. Alih-alih menyentuhnya, pria ini malah menarik gerobak kemudian hendak membuangnya. Sontak Ilona panik, kemudian memohon pada pria tersebut agar tidak merusak satu-satunya harta yang dia miliki.
"Tuan, tolong jangan sentuh gerobakku. Aku mohon,"
"Kenapa? Takut?"
"Itu adalah satu-satunya sumber mata pencaharianku. Kalau sampai rusak, aku mau makan apa," sahut Ilona sambil memasang wajah memelas. Dirinya miskin dan tak punya apa-apa. Kalau gerobak itu sampai rusak, maka matilah dia.
"Apa peduliku?" Karl acuh tak acuh. Sedetik setelah itu tiba-tiba satu pemikiran melintas di kepalanya.
(Sepertinya gadis ini bisa kujadikan sebagai hiburan)
"Kau bisa mendapatkan kembali gerobakmu asal bersedia melakukan sesuatu untukku. Bagaimana?"
"Sesuatu apa?" tanya Ilona tak paham.
"Belikan hadiah untuk keponakanku. Kalau hasilnya memuaskan, gerobak ini bisa kau dapatkan kembali. Jika tidak, maka jangan salahkan aku kalau gerobak tua ini hancur berkeping-keping," jawab Karl penuh nada mengancam.
Ilona termangu diam. Dia bingung memikirkan bagaimana cara membeli hadiah yang diinginkan oleh pria ini di saat dirinya saja tak punya uang untuk sekedar membeli makan.
"170893. Beli hadiah itu dengan ini," ucap Karl sembari melemparkan sebuah black card ke tanah. "Satu jam. Terlambat satu menit saja, maka kau akan tahu akibatnya."
Rasa perih menjalar memenuhi hati dan pikiran Ilona saat dirinya memungut kartu tersebut dari tanah. Sakit sekali. Kalau bukan demi gerobaknya, Ilona tak akan sudi menerima perlakuan yang begitu rendah. Tapi kembali lagi pada fakta tentang dirinya yang hanya seorang miskin. Terpaksa Ilona menerima perlakuan ini meski hatinya sangat sakit.
***
"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Fahmi Ardiansyah
sabar Ilona entar kmu yg akan menang
2024-10-27
0
Fahmi Ardiansyah
knpa sellu mengancamnya karl.
2024-10-27
0
reza indrayana
awal SJ SDH Miris nich cerita....😥😥😥
2024-02-29
0