Hosshh hosshhh
Seorang gadis berlari cepat sambil sesekali menoleh ke belakang. Peluh tampak membanjir membasahi wajah dan pakaiannya yang kumal. Dengan kondisi panik, gadis tersebut terus berlari sambil menarik sebuah gerobak tua yang berisi barang-barang bekas hasil memulung.
"Ya Tuhan, tolong aku. Jangan biarkan aku tertangkap oleh mereka," ujarnya dengan tubuh gemetar. Malam yang sepi tak membuatnya berhenti untuk melarikan diri.
Namanya Ilona. Dia berusia dua puluh tahun. Sebagai seorang yatim piatu yang hidup di jalanan, Ilona menyambung hidup dengan cara menjadi pemulung. Sebenarnya dulu Ilona tidak hidup di jalanan, melainkan di sebuah panti asuhan. Namun karena terus di bully, ia memutuskan untuk hidup mandiri di luar panti.
Tetapi sayangnya nasib baik enggan berpihak. Alih-alih mendapat kehidupan yang jauh lebih baik, Ilona malah harus berakhir sebagai pemulung yang tinggal bersama seorang nenek renta. Namun lagi-lagi nasib baik tak berpihak kepadanya. Setahun yang lalu neneknya sakit keras. Demi bisa membawa sang nenek berobat ke dokter, Ilona terpaksa meminjam uang dari seorang rentenir. Di awal meminjam jumlah uangnya tidaklah besar, dan sekali lagi Ilona bernasib buruk. Hanya dalam waktu satu bulan ia diminta mengembalikan pinjaman sebanyak lima kali lipat dari pinjaman awal. Belum juga masalah hutang terpecahkan, Ilona kembali diterpa badai di mana sang nenek akhirnya meninggal dunia akibat sakit yang dideritanya.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pepatah ini sangat cocok dengan nasib yang Ilona jalani sekarang. Akibat menunggak bayaran, jumlah yang harus Ilona kembalikan bertambah menjadi semakin besar. Hal ini menyebabkan Ilona harus bermain kejar-kejaran dengan para bandit yang diutus si rentenir untuk menangkapnya.
"Aku harus ke mana sekarang?" gumam Ilona mulai kelelahan. Seharian ini dia belum makan. Ditambah kini dirinya tengah membawa banyak barang. Hal ini menyebabkan langkah Ilona menjadi lemah. Dia butuh istirahat.
(Ah, ada mobil. Sebaiknya aku bersembunyi dulu di sana. Lumayanlah untuk mengumpulkan tenaga. Kebetulan juga tempatnya sedikit gelap. Semoga saja mata para bandit itu tidak bisa menemukan keberadaanku)
Tanpa pikir panjang Ilona segera bersembunyi di belakang mobil yang entah milik siapa. Dia lalu menempatkan gerobak di tempat yang gelap dengan harapan tak akan terlihat oleh para bandit.
(Siapa dia? Apa yang tengah dilakukannya di belakang mobilku? Sedang menguntitkah?)
Karl diam memperhatikan seseorang yang tengah berjongkok di belakang mobilnya. Dia yang baru saja menemui seseorang dibuat terheran-heran saat orang tersebut tiarap di tanah ketika beberapa pria muncul tak jauh dari sana.
"Sial! Kita kehilangan jejak gadis itu lagi. Arggghhh!"
"Bagaimana ini, bos?!"
"Cari lagi. Tikus itu pasti bersembunyi tak jauh dari sini. Ayo!"
(Oh, bandit ternyata)
Drrtt drrttt
Ponsel di saku celana Karl bergetar. Awalnya Karl enggan menjawab. Akan tetapi ponsel itu tak henti bergetar hingga akhirnya dia pun menjawab panggilan tersebut.
"Ada apa?"
["Paman Karl, Ayah bilang Paman mau datang ke rumah. Kenapa belum muncul? Apa mobil Paman sedang mogok karena kehabisan bensin?"]
"Sebentar lagi Paman akan sampai di sana. Kau ingin Paman belikan apa?" tanya Karl sembari tersenyum kecil. Ternyata keponakannya yang menelpon.
["Emm terserah Paman saja. Ibu bilang Justin tidak boleh meminta-minta. Tidak baik."]
Karl mengobrol dengan keponakannya sambil terus memperhatikan orang yang bersembunyi di belakang mobilnya. Jika dilihat dari gelagatnya, sepertinya orang tersebut tak berniat jahat. Untuk memastikan, Karl memutuskan untuk mendekat setelah menyudahi panggilan. Tak lupa dia memastikan dulu kalau para bandit telah pergi dari sana.
Sreeettt
"Yakk ... hmmpptt!!"
Ilona kaget setengah mati saat seseorang tiba-tiba membekap mulutnya dari belakang. Apa-apaan ini. Apa mungkin dirinya tertangkap oleh salah satu bandit?
Menuju ke tempat yang lebih gelap, Karl baru melepaskan bekapan mulutnya kemudian mendorong orang tersebut hingga jatuh tersungkur ke tanah. Dia lalu mengibaskan tangan, agak geli saat tangannya basah terkena keringat.
"Siapa kau?" tanya Ilona sambil berusaha untuk bangun. Kakinya gemetar, takut pada pria yang tengah berdiri di hadapannya.
"Seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulutku. Bukan dari mulutmu," sahut Karl dingin. Dia lalu menyipitkan mata. "Siapa kau?"
"Aku?" Ilona menunjuk dadanya sendiri. Memberanikan diri, dia melangkah maju ke depan agar bisa melihat rupa dari pria tersebut. "Oh, ternyata aku salah. Kau bukan bagian dari para bandit itu, kan?"
Tak ada jawaban. Sadar kalau pria di hadapannya adalah seorang cabul, dengan cepat Ilona mundur ke belakang lalu menggunakan tangan untuk menutupi bagian dada. Dia waspada.
"Kau penguntit?" tanya Karl agak aneh melihat sikap manusia di hadapannya.
"Jangan sembarangan menuduh ya. Untuk apa aku menguntit pria cabul sepertimu? Tidak ada kerjaan sekali!"
"Apa kau bilang? Pria cabul?"
"Ya, kau pria cabul. Kenapa memang?"
Karl mendengus kasar. Orang ini sungguh keterlaluan. Berani sekali menyebut dirinya sebagai pria cabul. Harus diberi pelajaran.
"M-mau apa kau?"
Ilona menelan ludah. Dia panik sendiri saat pria cabul ini berjalan maju ke arahnya. Berpikir kalau pria tersebut hendak melecehkannya, Ilona bersiap untuk berteriak. Akan tetapi yang terjadi berikutnya membuat Ilona pasrah. Alih-alih menyentuhnya, pria ini malah menarik gerobak kemudian hendak membuangnya. Sontak Ilona panik, kemudian memohon pada pria tersebut agar tidak merusak satu-satunya harta yang dia miliki.
"Tuan, tolong jangan sentuh gerobakku. Aku mohon,"
"Kenapa? Takut?"
"Itu adalah satu-satunya sumber mata pencaharianku. Kalau sampai rusak, aku mau makan apa," sahut Ilona sambil memasang wajah memelas. Dirinya miskin dan tak punya apa-apa. Kalau gerobak itu sampai rusak, maka matilah dia.
"Apa peduliku?" Karl acuh tak acuh. Sedetik setelah itu tiba-tiba satu pemikiran melintas di kepalanya.
(Sepertinya gadis ini bisa kujadikan sebagai hiburan)
"Kau bisa mendapatkan kembali gerobakmu asal bersedia melakukan sesuatu untukku. Bagaimana?"
"Sesuatu apa?" tanya Ilona tak paham.
"Belikan hadiah untuk keponakanku. Kalau hasilnya memuaskan, gerobak ini bisa kau dapatkan kembali. Jika tidak, maka jangan salahkan aku kalau gerobak tua ini hancur berkeping-keping," jawab Karl penuh nada mengancam.
Ilona termangu diam. Dia bingung memikirkan bagaimana cara membeli hadiah yang diinginkan oleh pria ini di saat dirinya saja tak punya uang untuk sekedar membeli makan.
"170893. Beli hadiah itu dengan ini," ucap Karl sembari melemparkan sebuah black card ke tanah. "Satu jam. Terlambat satu menit saja, maka kau akan tahu akibatnya."
Rasa perih menjalar memenuhi hati dan pikiran Ilona saat dirinya memungut kartu tersebut dari tanah. Sakit sekali. Kalau bukan demi gerobaknya, Ilona tak akan sudi menerima perlakuan yang begitu rendah. Tapi kembali lagi pada fakta tentang dirinya yang hanya seorang miskin. Terpaksa Ilona menerima perlakuan ini meski hatinya sangat sakit.
***
"
"Memang apa salahnya jika berbelanja menggunakan pakaian seperti ini? Kan yang digunakan untuk membayar bukan bajuku, tapi uang," ucap Ilona sambil menatap lama ke arah toko mainan yang baru saja dimasukinya. "Manusia sungguh aneh. Hanya karena perbedaan status kalian tega menghina orang lain dengan begitu kejam. Aku tahu aku ini miskin, tapi setidak layak itukah aku berbelanja di toko kalian? Aku manusia, sama seperti kalian juga. Mengapa tega?"
Flashback
"Nona, kenapa kalian tidak mengizinkan aku untuk masuk ke dalam?" tanya Ilona sambil menggeretakkan gigi. Ini adalah toko kelima yang menolak kehadirannya. Padahal dia datang untuk berbelanja, bukan untuk meminta-minta.
"Maaf, kami tidak bisa membiarkan seorang pengemis masuk ke dalam toko. Pelanggan lain bisa terganggu jika sampai mencium aroma tubuhmu yang begitu menyengat," jawab salah satu karyawan sambil melayangkan tatapan yang begitu sinis.
"Aku bukan mau mengemis, tapi aku ingin membeli mainan."
"Memangnya kau punya uang?"
"Aku punya."
Ilona segera menunjukkan kartu pemberian pria cabul itu. Walau tak terima dengan hinaan karyawan ini, Ilona harus bisa mendapatkan mainan. Jika tidak, maka gerobaknya akan dihancurkan. Jadi sesakit apapun hinaan orang-orang ini semampu mungkin Ilona akan berusaha untuk menahan.
"Hei, bukankah kartu itu hanya dimiliki oleh beberapa orang saja di negara kita? Lalu bagaimana bisa gadis itu memilikinya? Jangan-jangan dia adalah orang kaya yang sedap menyamar. Aduhhh, bisa gawat ini!"
"Tidak usah panik. Kau perhatikan saja wajahnya. Aku sih lebih percaya kalau gadis ini baru menjual tubuhnya demi mendapatkan kartu itu. Atau mungkin dia adalah seorang pencuri. Makanya dengan berani datang berbelanja ke toko kita. Benar tidak?"
"Iya juga sih. Tapikan gadis itu tahu nomor pin dari kartu tersebut. Masa iya pemiliknya yang memberitahu? Berarti bukan mencuri itu namanya."
"Alah, sudah jangan ribut. Daripada kita sibuk menerka-nerka yang tidak jelas lebih baik kita tanyakan saja barang apa yang mau dibeli. Anggap kita cari aman di kedua belah pihak. Yang pertama supaya tidak di pecat bos, lalu yang kedua agar keinginan gadis ini tetap terpenuhi. Dengan begitu kita tidak akan disalahkan jika terjadi sesuatu ke depannya nanti."
"Ya sudah terserah kau saja."
Ilona merasa sangat terhina sekali mendengar bisik-bisik para karyawan tersebut. Mungkin jika dilakukan dengan pelan, hatinya tidak akan sesedih sekarang. Masalahnya mereka berbisik dengan suara yang cukup kuat sehingga Ilona bisa mendengar semua pembicaraan mereka. Orang miskin yang terhina, sungguh miris nasib Ilona saat ini. Di depan mata dia dipermalukan, tapi tak memiliki daya untuk melawan. Sebenarnya Ilona berani-berani saja memarahi mereka, tapi kembali lagi pada titik di mana dia akan semakin dihina jika terlalu banyak bicara. Pasrah lebih baik, walaupun sakit.
"Ekhmm! Mainan apa yang ingin kau beli?" tanya si karyawan cetus. Dia bicara sambil menutup hidung agar tidak mencium aroma sampah yang begitu menyengat.
"Mainan," jawab Ilona lirih.
"Ya pastilah kau ingin membeli mainan. Secara, yang kau datangi bukan toko pakaian. Jadi sudah pasti mainanlah yang ingin kau beli. Bagaimana sih. Sudah bau, bodoh pula. Cepat katakan mainan apa yang kau inginkan. Kami sibuk!"
(Sabar Ilona, sabar. Demi gerobakmu tetap aman, jaga emosi. Oke?)
"Bungkuskan mainan paling mahal yang dijual di toko kalian. Untuk anak laki-laki," ucap Ilona dengan sengaja memesan mainan yang paling mahal. Supaya cepat beres dan dia bisa segera pergi dari sana. Berpura-pura menjadi orang sabar itu tidak enak lho. Membuat dada sesak.
"Cihh, hasil dari menjual diri saja sombong. Awas ya kalau uangmu sampai tak cukup untuk membayar. Aku akan langsung melaporkanmu pada polisi!"
"Jangan banyak bicara kau. Dari tadi aku sudah diam. Jadi jangan memancingku untuk membuat kekacauan di sini ya. Mengerti!"
Si karyawan berdecih sinis kemudian masuk ke dalam toko. Sedangkan Ilona, dia memilih untuk duduk saja. Perut lapar, ditambah harus menghadapi hinaan dari banyak orang, membuat hidup Ilona terasa semakin miris.
"Ayah, Ibu. Sebenarnya apa tujuan kalian melahirkan aku ke dunia ini kalau hanya untuk ditinggalkan? Aku lelah, aku muak selalu menjadi bahan cemoohan orang-orang. Memang aku miskin dan tidak punya apa-apa, tapi pantaskah aku dihinakan? Kalau saja bisa memilih, aku juga tidak ingin terlahir seperti ini. Tapi bagaimana lagi. Tuhan beserta kalian berdua memberiku takdir yang begitu pahit. Adakah cara untuk keluar dari kehinaan ini?" ratap Ilona sambil menahan tangis. Rasanya ingin sekali menyerah, tapi percuma. Karena sebanyak apapun Ilona mencoba mengakhiri hidup, Tuhan tak pernah mengizinkannya untuk mati.
(Seandainya ada pria kaya yang mau menikahiku, aku bersumpah akan kembali lagi ke toko ini dan melemparkan gepokan uang ke wajah para karyawan itu. Hatiku sakit sekali, Tuhan. Teganya mereka merendahkanku yang miskin ini.)
Brukkkk
Ilona terlonjak kaget saat sebuah bungkusan besar terjatuh tepat di atas pangkuannya. Segera saja dia menatap garang pada karyawan yang tengah berdiri angkuh di hadapannya.
"Apa-apaan kau!"
"Cepat pergi dari sini. Orang-orang mulai tak nyaman dengan bau yang kau bawa. Sana pergi!" usir si karyawan dengan kejamnya. Setelah itu dia melemparkan kartu ke wajah si pemulung yang tengah memelototkan mata padanya. "Lain kali kau jangan datang ke sini lagi. Ada banyak toko mainan di tempat lain. Datang ke sana saja!"
"Nona, mulutmu benar-benar sangat keterlaluan. Ingat, suatu hari nanti aku pasti akan datang kembali ke toko ini lalu menyumpalkan banyak uang untuk membungkam mulutmu yang angkuh itu!" geram Ilona sambil menahan sesak di dada. Karyawan ini sungguh sangat keterlaluan sekali. Kata-katanya begitu menusuk hati.
"Jangan bermimpi terlalu tinggi. Orang miskin sepertimu mana mungkin mampu menyumpal mulutku dengan uang. Aku akan bersujud dan mencium kedua kakimu jika kau bisa membuktikan ucapan sampahmu itu. Tahu!"
"Baiklah. Kau tunggu saja nanti. Saat ini aku memang berada di bawah, tapi masa depan orang siapa yang bisa menebak. Aku harap kau tidak akan melupakan janjimu yang akan bersujud dan mencium kedua kakiku jika ucapanku benar menjadi kenyataan!"
"Tentu saja tidak. Aku ini orang berpendidikan. Tidak sepertimu yang mungkin membaca saja tidak bisa. Haha. Pergi sana. Muak aku bicara terlalu lama denganmu. Pergi!"
Dengan perasaan yang tercabik-cabik Ilona akhirnya pergi dari sana. Secara perlahan air mata mulai turun membasahi wajah, hingga membuatnya berhenti melangkah kemudian berbalik menatap ke arah toko mainan.
(Tak ada yang bisa memainkan waktu selain Tuhan. Jika memiliki kesempatan, tolong izinkan aku untuk menagih janji dari orang yang telah menghinaku dengan begitu kejam. Sekali ini saja. Bisakah?)
***
Bruukkk
Ilona jatuh tersungkur saat kakinya tak sengaja menginjak plastik basah. Dia lalu menoleh ke belakang untuk memastikan apakah anak buah rentenir itu masih mengejarnya atau tidak.
"Brengsek! Kenapa mereka masih mengejarku sih. Bukannya tadi mereka sudah pergi ya!" kesal Ilona sambil buru-buru bangun.
Sungguh sial sekali nasib Ilona malam ini. Masalah seolah datang bertubi-tubi. Pertama, Ilona harus bertemu dengan pria cabul yang menyebalkan. Lalu kedua Ilona dipaksa berbelanja mainan dengan gerobaknya sebagai pertaruhan. Dan yang ketiga, ini adalah yang paling menyebalkan. Lagi-lagi Ilona buron dengan anak buah rentenir yang datang untuk menagih hutang.
Memang bukan salah mereka jika mengejarnya. Salahnya sendiri karena meminjam uang pada bos mereka. Mau bagaimana lagi, namanya juga kepepet. Malam itu Ilona terpaksa meminjam uang dari rentenir agar bisa membawa neneknya pergi berobat ke dokter. Jumlah awalnya tidak terlalu besar, tapi karena bunganya yang kelewat tinggi Ilona diminta untuk mengembalikan lima kali lipat dari jumlah awal pinjaman. Gila bukan? Dengan statusnya yang hanya seorang pemulung dari mana Ilona bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Makanya sekarang dia bertaruh dengan nyawa akibat terus diburu oleh anak buah rentenir yang dia hutangi. Hmmm.
"Mampus, aku lupa di mana lokasi pria cabul itu sedang menunggu. Bagaimana ini?" panik Ilona sambil menatap barang belanjaan di tangannya. Sambil terus menoleh ke belakang, Ilona mengingat-ingat di mana lokasi pertemuan mereka tadi. "Apapun caranya aku harus segera kembali ke sana. Kalau tidak, maka tamatlah riwayat gerobakku. Mau makan apa aku kalau gerobak itu sampai rusak. Fokus, Na. Ingat di mana tadi kau bertemu dengan pria itu. Fokus!"
Karena terlalu sibuk memikirkan alamat di mana pria cabul itu menunggu, Ilona sampai tak sadar kalau salah satu bandit berhasil menemukan keberadaannya. Saat dirinya hendak melewati jalan menikung, tiba-tiba saja ada tangan besar yang menarik kerah bajunya dari belakang. Orang tersebut kemudian menariknya pergi dari sana.
"Hmmmppttttttt!"
"Diam, bodoh!"
(Hah? Suaranya seperti tidak asing.)
Malam ini entah mengapa Karl bersikap ceroboh. Dia meninggalkan mobilnya dalam keadaan tidak terkunci. Dan tadi setelah dia masuk dan meminum sebotol air, tubuh Karl tiba-tiba berubah menjadi panas sekali. Karl bingung, tidak tahu mengapa suhu tubuhnya berubah seperti itu.
Khawatir diracuni, Karl memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Namun saat dalam perjalanan dia tak sengaja melihat si gadis pemulung tengah berlarian menghindari kejaran beberapa bandit. Awalnya Karl ingin menonton saja, tapi kondisi tubuhnya sedang tidak memungkinkan. Karl lalu memutuskan untuk menolong gadis ini. Tujuannya? Tidak tahu. Tubuhnya seperti ada yang menggerakkan.
"K*parat! Cepat sekali tikus kecil itu pergi. Perasaan tadi aku melihatnya sedang berjalan ke arah sini. Kenapa tiba-tiba hilang?" umpat salah satu bandit dengan penuh emosi.
"Ayo berpencar. Aku yakin dia pasti masih ada di sekitar sini. Kalau malam ini kita kembali gagal membawa pulang uang darinya, bos akan menghabisi kita semua. Ayo cepat bergerak!"
"Ayo!"
Bulu kuduk Ilona berdiri semua saat dia mendengar hembusan nafas yang begitu kuat di samping telinga. Posisinya sekarang tengah berada dalam pelukan pria yang memintanya untuk membeli mainan. Namun, ada yang aneh di sini. Tubuh pria ini gemetar hebat dan deru nafasnya tidak beraturan. Membuat Ilona jadi cemas sendiri.
"K-kau, tolong aku," lirih Karl dengan mata yang mulai mengabut.
(Manusia ini bodoh apa bagaimana sih. Bagaimana aku bisa bicara kalau mulutku saja masih dibungkam. Apa aku gigit tangannya saja ya?)
"Argghhhh, sakit bodoh!"
Plaaakk
Reflek, Karl menempeleng kepala si gadis pemulung karena terkejut tangannya digigit. Sedetik setelah itu timbul satu debaran aneh saat matanya tak sengaja melihat cetakan bra akibat baju si gadis pemulung yang basah karena keringat. Karl ... gairah. Karl butuh dipuaskan. Sekarang.
"A-apa yang sedang kau lihat?" tanya Ilona gugup. Cepat-cepat dia menutup bagian dadanya yang tengah menjadi obyek pemandangan pria cabul di hadapannya. "Jangan macam-macam kau ya. Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau tidak segera mengalihkan pandangan!"
"Tolong aku. Panas,"
"Haaaa?"
"Panas. Tolong aku," rintih Karl mulai lepas kontrol. Segera dia menarik tangan si gadis kemudian memaksa agar menyentuh juniornya. "Aku butuh tubuhmu. Pleaseee,"
Ilona cengo. Tubuhnya kaku seperti batang kayu saat tangannya dipaksa menyentuh benda tumpul yang begitu keras. Gila, apa-apaan pria cabul ini? Mau memperkosanya apa bagaimana?
"Please. Apapun. Kau boleh meminta apapun padaku setelahnya. Tapi sekarang tolong bantu aku. Aku ... sakit," ucap Karl kembali memohon.
Sungguh, ini terlalu memalukan. Seorang Karl Wufien Ma memohon pada gadis pemulung agar membantunya meredakan gairah n*fsu yang begitu membakar. Jika hal ini sampai dilihat oleh orang lain, bisa dipastikan kalau Karl akan menjadi bahan olok-olokan. Bayangkan saja. Dengan segunung uang yang dimilikinya Karl malah lebih memilih untuk memohon pada gadis gelandangan ini alih-alih menyewa seorang p*lacur. Sangat aneh.
"T-Tuan, a-aku bukan wanita panggilan. Le-lebih baik kau cari orang lain saja. Ya?"
"Aku ingin sekarang," sahut Karl.
"Aku bantu carikan orangnya. Oke?"
Dengan sangat terpaksa Karl menganggukkan kepala. Dia lalu menarik tangan gadis ini dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Walau dalam kondisi yang tidak baik, Karl masih terus berusaha berkendara dengan benar demi mencari wanita yang bisa memuaskannya.
"Haus sekali," gumam Ilona sambil melihat-lihat apakah di dalam mobil ada minuman atau tidak. Kerongkongannya terasa kering sekali setelah berlarian tadi.
(Wahh, ada botol minuman di sini. Tidak apa-apalah sisa sedikit. Yang penting bisa membasahi tenggorokan untuk sementara waktu!)
Glukk glukk glukk
Tanpa membuang waktu lagi Ilona segera meneguk habis sisa minuman yang ada di dalam botol. Karl yang mendengar seperti ada suara air tertelan segera menoleh ke samping. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati botol minuman yang tercampur dengan obat perangsang telah habis diminum oleh gadis yang duduk di sebelahnya.
"Ahhh, segar sekali rasanya. Fyuhhh," ucap Ilona sambil menyeka bibir. Merasa diperhatikan, dia menolehkan kepala ke samping. Kedua alisnya saling bertaut saat mendapati pria cabul itu tengah menatapnya dengan pandangan yang sangat aneh. "Ada apa? Kenapa menatapku seolah aku ini adalah seorang kuntilanak?"
"Kau, kenapa meminum air dari botol itu?" tanya Karl terbata. Ini petaka. Apa yang akan terjadi setelah ini?
"Memang kenapa? Pelit sekali. Ini bahkan hanya air minum biasa. Betapa kejamnya jika dipermasalahkan."
Karl diam saja. Dalam hati dia mulai menghitung mundur. Menunggu detik-detik gadis ini akan menggeliat kepanasan seperti yang tengah dia rasakan sekarang.
(Sepuluh ... sembilan ... delapan ... tujuh .... )
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!