Malam berlanjut. Setelah seharian pingsan, Ilona akhirnya tersadar. Dia meringis sambil memegangi kepalanya yang berdenyut kuat. Pusing.
"Akhirnya kau sadar juga, Na. Bagaimana? Enak tidak mencicipi ujung kematian?"
Sebelah alis Ilona terangkat ke atas. Dia lalu menatap tajam pada seorang wanita tua yang baru saja bicara. Sialan sekali pemulung satu ini.
"Apa lihat-lihat? Mau marah?"
"Bibi, pantaskah seorang tua sepertimu bicara seperti itu pada yatim piatu sepertiku?" ucap Ilona sedikit mendramatisir keadaan. "Aku ini baru saja tersadar dari pingsan. Berbelas kasihlah sedikit."
"Jangan akting. Aku tahu kau berniat membuatku merasa bersalah. Iya, kan?"
"Ck,"
Ilona berdecak. Dia lalu meringis lebar saat terdengar bunyi keroncongan dari perutnya. Sambil mengusap perut, Ilona menatap wanita tua yang tengah bersedekap tangan sambil memasang ekpresi yang sangat sinis.
"Makanan ada di atas meja."
"Tahu saja kalau aku sedang lapar. Hehehe,"
"Aku tidak tuli, Ilona. Sejak masih pingsan tadi perutmu tak berhenti berbunyi kalau mau tahu."
"Oh, benarkah?"
Tahu kalau Ilona masih lemah, wanita tersebut membantu mengambilkan makanan. Setelah itu dia dengan penuh kasih menyuapinya, melupakan sejenak hubungan mereka yang tiada hari tanpa bertengkar.
"Aku perhatikan akhir-akhir ini kau lebih banyak mengurung diri di gubuk. Ada apa? Seseorang mengancammu kah?"
"T-tidak," jawab Ilona tergagap. "Aku sedang kurang enak badan. Makanya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Sekalian ingin menghindari anak buah si rentenir itu."
"Masa?"
"Hei, kenapa kau jadi sok tahu begini pada hidup orang. Aku tidak suka ya!"
"Ilona, kita memang bukan keluarga. Akan tetapi aku sedikit menyayangimu. Setiap hari kita bertengkar, tapi bukan berarti aku tidak peduli padamu. Katakan saja. Aku tahu kau menyimpan satu masalah yang cukup pelik dihidupmu. Iya, kan?"
Makanan yang masuk lewat tenggorokan Ilona rasanya seperti berubah menjadi kerikil tajam. Benar, ucapan wanita ini sangat benar kalau dia tengah merahasiakan satu masalah yang cukup menekan mental.
(Apa tidak apa-apa kalau aku berbagi cerita tentang kejadian memalukan itu? Tapi bagaimana jika nanti cerita ini malah menyebar dan di ketahui oleh banyak orang? Akukan malu. Para pemulung di sini pasti akan men-capku sebagai gadis murahan yang asal melepas kesucian pada pria asing. Aku tidak mau begitu. Aku takut.)
"Hmmm, ya sudah kalau memang kau berat untuk mengatakan. Aku tidak memaksa. Tetapi di sini kau harus tahu kalau hidup tidak akan berhenti di satu titik saja. Kau harus bangkit, Ilona. Jangan terpuruk oleh masalah yang tengah membebani pundakmu sekarang. Mengerti?"
"Kenapa kau begitu baik padaku? Padahal selama ini aku sangat galak padamu," tanya Ilona lirih.
"Karena kita sama-sama tak mempunyai keluarga. Kau dan aku, kita adalah yatim piatu yang miskin dan tak berharga. Namun, itu bukan fakta yang harus membuat kita menyerah. Biarlah miskin harta, asal kita jangan miskin hati nurani."
"Aku sudah tidak suci lagi sekarang."
Hening. Kepala Ilona tertunduk dalam setelah mengatakan hal tersebut. Ya malu, ya takut, kedua rasa ini bercampur aduk menjadi satu.
"Ini terjadi karena ketidaksengajaan. Malam itu saat aku sedang dikejar-kejar bandit, pria itu menolongku. Awalnya dia memintaku untuk melayaninya, tapi aku langsung menolak. Lalu aku menyarankan untuk mencari wanita lain yang bisa dipakai karena posisinya saat itu dia sedang dalam pengaruh obat perangsang. Pria itu setuju. Kemudian kami masuk ke dalam mobil. Karena kehausan setelah berlarian, aku asal meminum air yang ada di sana. Dan sialnya air tersebut adalah sisa air yang diminum olehnya. Akhirnya kami ... kami ....
"Sudah, jangan diteruskan lagi. Aku sudah bisa menebak seperti apa endingnya," ucap si wanita memotong cerita Ilona. Dengan tatapan iba, dia mengelus rambut Ilona penuh sayang. "Aku tahu kau tidak bersalah dalam hal ini. Semua itu terjadi karena ketidaksengajaan. Benar?"
"Iya benar. Kami sama-sama dalam pengaruh obat saat melakukannya."
"Ya sudah, lupakan. Sekarang aku tanya. Sejak kejadian itu apa kau sudah datang bulan?"
"Hari ini adalah yang pertama." Senyum manis terbit di bibir Ilona. Dia kembali mengunyah makanan sambil terus berbincang. "Setelah dua minggu kucing-kucingan dengan tanggal, akhirnya hari ini aku bisa bernafas lega. Aku tidak hamil."
"Syukurlah. Lalu setelah ini rencanamu apa? Ingin menuntut pertanggungjawaban dari orang itukah?"
Ilona menggeleng. "Orang seperti kita mana mungkin dianggap sekalipun aku datang dengan membawa kehamilan. Pria itu orang kaya, Bibi. Siapalah aku. Hanya seorang pemulung yang tidak punya apa-apa. Jadi percuma saja mencarinya. Lebih baik aku memikirkan hidupku ke depannya daripada mengejar sesuatu yang tidak mungkin ku dapat!"
Terdengar helaan nafas panjang dari mulut si wanita setelah mendengar penuturan Ilona yang menolak mencari tanggung jawab. Gadis ini memang tidak hamil, tapi ia telah kehilangan satu-satunya hal paling berharga di hidupnya. Miris sekali. Terlahir sebagai orang miskin membuat mereka harus rela menelan kenyataan pahit di mana keadilan hanya akan berpihak pada mereka yang beruang. Hmmm.
"Bibi, rencananya besok aku mau pergi ke kota untuk mencari kerja. Gerobakku hilang entah kemana. Aku tak lagi memiliki kendaraan untuk menarik barang bekas. Menurutmu bagaimana?" tanya Ilona meminta pendapat. Tekadnya sudah bulat untuk pergi dari tempat ini.
"Ke kota?"
"Iya. Dengar-dengar di sana sangat mudah untuk mencari kerja. Kerja apapun tak jadi masalah asal aku bisa terbebas dari kejaran para preman dan bisa melupakan kejadian naas itu. Aku tidak mau terus terpuruk, Bi."
"Tapi Ilona, dengan siapa kau akan tinggal di sana?"
Ilona diam sejenak. Benar juga. Kenapa dia tidak terpikir ke arah sana ya? Ya ampun, kendala lagi. Kenapa sih hidupnya selalu saja ada masalah yang menghambat. Menyebalkan sekali.
"Oh, begini saja. Nanti aku akan mencari temanku dulu yang tinggal di kota. Untuk sementara kau bisa tinggal di rumahnya sampai kau mendapatkan pekerjaan dan menyewa rumah. Bagaimana?"
"Bibi, kau sungguh baik sekali."
"Ini tidak gratis, Ilona."
"Ck, aku sudah tahu kau akan bicara seperti ini. Dasar tukang hitung-hitungan."
"Namanya juga orang miskin, Na. Beda cerita kalau aku adalah orang kaya. Seberapa banyak uang yang keluar aku pasti tidak akan mempermasalahkan."
"Iya-iya aku tahu. Lagipula tadi aku hanya bercanda saja kok. Hehe,"
"Kau ini."
Ilona dan bibi pemulung masih terus berbincang membicarakan rencananya yang ingin mencari kerja di kota. Sebenarnya Ilona takut, tapi dia harus tetap melangkah maju demi masa depan yang lebih baik. Siapa tahu di sana dia bisa menemukan kebahagiaan yang tak pernah di dapatnya di tempat ini. Kan nasib tidak siapapun yang bisa menebak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Fahmi Ardiansyah
yg pasti mereka sellu saling mengasihi.meskipunvtrlihat galak itu semata untuk melindungi diri sendiri.
2024-10-27
0
Kamiem sag
😪
2023-12-06
0
Wirda Lubis
lanjut
2023-09-12
0