Memperbaiki Masa Lalu
Chu yao tersedak, memuntahkan darah segar kesekian kalinya. Tubuhnya lunglai.
Terjerembab di lantai gubuknya yang sudah dipenuhi cairan berwarna merah di mana-mana.
Ya, itu adalah darahnya yang menyembur keluar dari kerongkongan nya.
Racun pelebur tulang begitu dahsyat mencabik-cabik organ dalam dan mematikan setiap persendiannya.
Air matanya menetes menyesali semua kebodohan yang telah dilakukannya.
Seandainya waktu bisa diputar, dia akan memperbaiki jalan hidupnya dan membalas dendam kepada orang-orang yang telah membuatnya menderita.
Sekali lagi Chu Yao memuntahkan darah. Kali ini darah hitam disertai hembusan nafas terakhirnya. Chu Yao meninggal. Mayatnya tergeletak begitu saja. Sendirian.
***
Hening. Perlahan tapi pasti terdengar suara sesenggukan di telinga Chu Yao. Sesekali suara perempuan itu memanggil dengan sebutan nona.
"Nona! Akhirnya nona sadar!" Ucap sang gadis berpakaian pelayan ketika mata Chu Yao terbuka.
Kepala Chu Yao begitu sakit hingga tubuhnya bergetar dan basah oleh keringat. Tangannya mengepal menahan sakit.
Dia memejamkan mata. Mengingat kembali semua ingatan yang berkeliaran di kepalanya.
"No, nona... Saya akan panggilkan bibi Hui! " Gadis itupun segera menghilang sebelum sempat mendapat persetujuan Chu Yao.
Mata Chu Yao memandang sekeliling.
"Tunggu! Aku kenal tempat ini!
Ini adalah kamarku. Kamar di paviliun dingin dibelakang kediaman jendral Chu yang tersembunyi. " Kata Chu Yao dalam hati.
Perlahan dia bangkit dari tempat tidur dan lagi-lagi rasa sakit muncul di pelipis kiri kepalanya.
Dia meraih cermin yang terdapat di meja riasnya. Diapun tersentak kaget.
Bukankah dia tinggal di gubuk reyot di desa Liba dan meninggal di sana?
Ada apa ini?
Mengapa wajahnya nampak lebih muda dan terdapat perban melingkar di kepalanya?
Belum sempat memikirkan jawabannya, derap langkah kaki terdengar saling beradu. Chu Yao duduk melirik ke arah pintu.
"Nonaaa.. Syukurlah nona sudah siuman.. Syukur laaahh... " Raung seorang perempuan paruh baya berusia sekitar 40 tahunan.
Chu Yao terbengong-bengong melihat kedatangannya beserta sang gadis dan seorang pria tua seusia sang bibi.
"Nona.. Apakah nona baik-baik saja?" Tanya si pria paruh baya.
Chu Yao terdiam. Situasi dan kondisi ini begitu familiar di memorinya. Situasi ini sama ketika dia terluka akibat ulah Chu Ling, adik tirinya yang selama ini pura-pura baik didepannya.
Dia ingat siapa mereka.
"Bibi Hui, paman Tong, Xier. " Eja Chu Yao.
Ketiga orang itu tersenyum sumringah meski air mata masih mengalir di pipi mereka.
"Bibi dan paman akan menyiapkan makanan dan obat untuk nona. Tunggu sebentar. " Pinta Bibi Hui.
Chu Yao mengangguk kemudian siluet bibi dan paman Tong menghilang.
Chu Yao melirik Xier dan bertanya, " Tanggal berapa sekarang?"
"Tanggal 22 bulan x tahun xxxx. " Ucap Xier.
Deg!
Bukankah tahun tersebut usianya masih 17 tahun. Chu yao menepuk-nepuk pipinya. Meyakinkan diri bahwa semua ini bukanlah mimpi.
"Aduh! " Chu Yao mengernyit ketika rasa sakit akibat tepukan itu terasa nyata.
"No, nona..jangan menyakiti diri." Xier gelagapan kebingungan dengan tingkah Chu Yao. Jangan-jangan nona nya semakin tidak waras.
Chu Yao tersenyum lebar. Ternyata Tuhan tetap adil terhadap dirinya. Di kehidupan ini takkan lagi terulang dengan kisah yang sama. Chu Yao akan memperbaiki segalanya.
Tiba-tiba Chu Yao teringat seseorang.
" Mo Yan! Mo Yan dimana?!"
Xier menggigit bibir dan menjawab, "pengawal Mo di aula keadilan."
Chu Yao mengerti dengan perubahan raut wajah Xier. Aula keadilan merupakan tempat hukuman untuk orang-orang yang bersalah di kediaman jendral Chu. Bisa dipastikan keadaan Mo Yan saat ini sangat tidak baik-baik saja.
Chu Yao menyambar baju,membuka laci meja riasnya dan menyelipkan sesuatu di lengan bajunya. Dia pun bergegas keluar kamar.
"ikuti aku!" Perintah Chu Yao.
"Nona mau kemana?"tanya Xier ragu.
"Ke aula keadilan."
Xier terperanjat mendengar jawaban Chu Yao.
"Untuk apa nona?" Xier tetap kebingungan.
Biasanya meski bawahannya dihukum, sang nona tidak berani ikut campur. Sang nona bahkan mengunci diri di kamar sampai mendapat ijin keluar dari nyonya kediaman.
Kali ini apakah nona Chu Yao berniat menyelamatkan pengawal Mo.
Xier tidak berani berharap banyak dan tetap mengiringi langkah kaki sang majikan dibelakang.
Meski rasa sakit masih terasa ditubuh Chu Yao namun raut wajahnya yang pucat itu tetap terlihat tenang.
Chu Yao membuka pintu aula dan berjalan berwibawa di setiap lorong.
Para pelayan yang lewat terheran-heran melihat kedatangan Chu Yao.
"Dimana Pengawal Mo? " Tanya Chu Yao kepada 2 orang pelayan pria yang berjaga di sekitar lorong.
Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum mengejek.
"Untuk apa nona kesini? Apakah luka di dahi itu menyebabkan kerusakan di otak nona?"
Kedua pelayan itu tertawa menghina.
"Pergilah non. Disini bukan tempat untuk bermain!" Ucap mereka hendak mendorong tubuh Chu Yao.
Namun sebelum tangan mereka sampai ke tubuhnya, sayatan belati sudah menancap di perut salah satu pelayan tersebut.
Si pelayan tewas seketika. Xier memekik ketakutan. Salah satu pelayan yang hidup gemetar dan wajahnya begitu pucat. Mereka tak menyangka jika nona mereka yang bodoh dan lugu itu berani membunuh pelayan dengan muka datar.
"Dimana?" Tanya Chu Yao sekali lagi dengan dingin sambil mencabut belati yang telah menancap di perut pelayan yang tewas tadi.
Si pelayan ketakutan dan menunjuk kedalam.
"Kau tunggu disini! " Perintah Chu Yao pada Xier yang terduduk lemas, "jika ada yg mengganggumu, bilang padaku!" Xier mengangguk pelan.
Chu Yao berjalan kedalam ruang penyiksaan dan mengambil sebuah pedang yang tergantung di dinding.
Langkahnya pelan namun tegas.
Semakin dekat semakin terdengar suara tawa, ejekan dan hinaan yang didengar Chu Yao. Para penyiksa itu tidak boleh diberi ampun.
"Bodoh sekali kau, setia pada orang idiot tak berguna."
"Betul! Padahal jika kau pintar sedikit dan menerima tawaran nyonya untuk menjadi pengawal nona kedua Chu, pasti masa depanmu cerah. Dasar Dungu! "
Tawa mereka pecah sambil menyiram wajah Mo Yan. Mo Yan tetap tak bergeming. Dia berlutut tegap dengan mata terpejam. Tubuhnya penuh dengan luka.
Topeng perak yang menutupi sebagian wajahnya kini memiliki bercak merah. Darah yang sudah hampir mengering yang berasal dari luka di kepalanya.
Tangan Chu Yao mengepal gagang pedang dengan kuat. Rasa kesal dan sakit menyelimuti perasaannya.
Mengapa Mo Yan tidak melawan saja. Luka pada dirinya bukan kesalahan Mo Yan. Dirinya lah yang memerintahkan Mo Yan untuk tetap berada di paviliun dingin ketika Chu Ling memanggilnya.
Dia terlalu takut dan tidak menyukai gerak gerik Mo Yan yang dingin itu. Dia tidak memahami sifat Mo Yan. Baginya Mo Yan bertindak selalu kasar terhadap orang lain.
Pun, pengaruh Chu Ling begitu besar padanya. Dia terperdaya. Dia terlalu naif dalam mempercayai hubungan darah. Dia kira yang memiliki hubungan darah itu takkan pernah berkhianat, dan dia salah besar.
Meskipun tidak secara langsung, di kehidupan lalu dia telah membunuh semua orang yang tulus kepadanya. Akibat kebodohannya lah orang-orang itu mati. Di kehidupan kali ini dia pastikan setiap orang jahat membayar kompensasi deritanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments